Let me take a moment to be emotionally constipated karena ada message vid dari seungwoo buat VICTON. Aku soft, tapi keras lagi DPR bilang tetap bakal disahin RKUHP. Pusing hambaaaa
Anyway, enjoy. Soalnya siapa tau nanti aku matiin akun karena tulisan aku bisa rawan wkwk
-
Edsel
Gue mungkin lagi sial betul hari ini. Setelah salat tadi, ponsel gue justru hilang. Gue pikir awalnya gue yang salah taruh, ketinggalan di dekat tempat wudu atau jatuh di karpet. Tapi, gue nggak bisa menemukan ponsel gue di mana pun.
Awalnya gue sempat meminta bantuan dari penjaga setempat, tapi setelah beberapa menit mencari, ternyata tidak ada. Saat dihubungi, nomor gue bahkan sudah tidak bisa dihubungi. Sudah nggak aktif. Ponsel gue raib.
Kejahatan memang tidak memandangi waktu dan tempat sih. Tapi, masa iya, sih, di musala banget nih gue kehilangan ponsel?
Pada akhirnya, gue tidak punya pilihan selain mengikhlaskan dan kembali ke rumah sakit dengan barang yang hilang.
Ini bukan pertanda buruk, kan? Tapi entah kenapa, gue resah sendiri.
Melirik arloji, nampaknya Adara sudah menunggu gue cukup lama, hampir 20 menit lebih. Tadinya gue mau mampir ke minimarket atau kantin rumah sakit, tapi kalau begitu gue malah hanya membuat Adara semakin menunggu. Lebih baik gue datang dulu.
Tapi memangnya gue ditunggu, ya?
Gue bahkan nggak bisa mengajak pikiran sendiri untuk menghibur si pemilik tubuh—gue sendiri. If this is not pathetic, then I don’t know what is this.
Gue belum berani menggolongkan diri sebagai orang yang betul-betul beriman, karena toh nggak ada yang punya ukuran keimanan yang mutlak. Tapi gue percaya bawah gue sungguh-sungguh berdoa, berharap apa yang gue sampaikan dapat dijamah. Gue percaya bahwa tiap doa akan memiliki jawabannya. Gue berdoa untuk Saka, untuk Adara, untuk persahabatan kami. Tapi gue nggak berdoa untuk diri gue sendiri.
Karena jika tiap doa sudah disiapkan jawabannya oleh Yang Maha Kuasa, gue merasa belum siap untuk menerima jawaban, yang bahkan seolah sudah ada di depan mata.
Stupid, indeed.
Mencari ruangan dokter yang menangani Saka, gue menemukan Adara tidak lagi sendiri. Sudah ada Saka juga Tante Anita.
“Oh, Edsel. Sudah selesai salat?”
Gue mengangguk sambil tersenyum kecil dan mendekat. “Maaf lama, Tante. Sudah selesai sama dokternya?”
“Sudah, Alhamdulillah.” Giliran Tante Anita yang mengangguk.
Setelah mendekat gue sadar, mata Tante Anita kelihatan agak merah, seperti baru saja menangis. Tapi tidak hanya itu. bukan hanya Tante Anita yang kelihatan menangis. Adara juga. Bahkan terlihat jelas dengan pipinya yang kelihatan basah, dan Saka yang sejak tadi mengelus pundaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Manipulasi Rasa & Enigma Rasa
Romance[Manipulasi Rasa: COMPLETED] [Enigma Rasa: Soon] Tiga rumah berderet membuat Adara mengenal Saka dan Edsel. Sekian tahun berlalu, jalinan berlabel sahabat terbentuk. Satu janji dibuat bersama untuk mempertahankan hubungan yang ada. Tapi, katanya seb...