Kai menatap ragu ponselnya. Nama sang peneleponlah yang membuatnya ragu. Telepon dari wanita ini selalu membuat perasaan Kai campur aduk. Ia terus mencoba mengabaikannya, namun suara getaran ponselnya yang beradu dengan permukaan meja terdengar begitu bising di tempat sesepi ini. Tidak ada lagi orang yang berkeliaran di area Fantasic Room pada dini hari ini.
Pada akhirnya Kai menyerah. Mengembuskan napas kencang sebelum menjawab panggilan tersebut. "Ada apa, Lien?"
"Bisa kamu video call dengan Jou?" Tanpa kata sapaan sedikitpun, wanita itu langsung mengatakan tuJerome utamanya.
Benar saja dugaan Kai. Panggilan dari Lien akan selalu menyangkut urusan Jourell. "Kenapa? Baru dua hari yang lalu saya video call dengan Jou."
Wanita itu berdecak tidak suka. "Apa salahnya menghubungi dia lebih sering, Kai?"
Kai melirik jam di tangannya. Pukul 03.00 waktu Jakarta, berarti pukul 22.00 waktu Groningen. "Tapi ini sudah malam. Waktu tidurnya sudah lewat."
"Itulah masalahnya! Jou tidak mau tidur sejak tadi." Nada bicara Lien otomatis naik tanpa disadarinya.
"Apa dia mencari saya?"
"Kai, dengar!" ujar Lien tidak sabar. "Jou belum bisa mengungkapkan apa yang dirasakannya. Tapi apa salahnya kamu menenangkannya saat dia sedang gelisah seperti ini? Dia butuh kamu, Kai! Kalau kamu tidak bisa ada di sisinya secara langsung, setidaknya kamu bisa hadir dengan cara yang lain!"
Kai mengacak rambutnya dengan kesal. "Matikan sambungannya! Saya akan video call sekarang."
Di sisi yang lain, Jill meringis sendiri. Ia tidak bermaksud menjadi pendengar gelap di tempat gelap ini. Ia bahkan tidak tahu sejak kapan pria yang tengah berbicara di telepon dengan nada frustasi itu muncul di Fantastic Room. Yang Jill tahu, ia hanya sendirian di sini sejak sekitar satu jam yang lalu.
Jill berdoa dalam hatinya agar pria itu cepat pergi, agar dirinya juga bisa segera keluar dari sini. Ia ingin pulang sesegera mungkin setelah menyelesaikan materi In-Time Noon untuk meeting pagi nanti.
Namun nyatanya doa Jill sama sekali tidak terkabul, karena beberapa saat kemudian, suara pria tadi kembali terdengar.
"Halo, Jagoan!" Kai berusaha memasang wajah cerianya untuk menyambut bocah kecil di layar ponselnya.
Bocah kecil berusia tiga tahun itu melambai padanya dengan wajah penuh senyum. Mata jernihnya terlihat begitu berbinar. Ada perasaan sesak yang Kai rasakan dalam hatinya demi melihat sebentuk wajah kecil yang dicintainya itu.
"Jou ..., kenapa belum tidur? Kata Mommy, Jou nggak mau tidur, ya?"
Bocah kecil itu menggeleng lesu.
"Jou, tidur ya .... Ini udah malam," bujuk Kai.
Bocah kecil itu kembali menggeleng. Perlahan matanya yang tadi berbinar kini nampak redup. Sudut hati Kai semakin terasa nyeri. Seharusnya ia ada bersamanya. Seharusnya ia memeluknya.
Sekuat mungkin Kai mengendalikan suaranya agar terdengar tetap tenang. "Kenapa? Jou sedih?"
Seketika air mata mengalir deras di pipi Jourell. Tangis tanpa suara yang dikeluarkannya membuat Kai ikut menangis dalam hati.
"Shh! Jangan nangis, Sayang ...," bujuknya. "Jou kangen Daddy?"
Jourell yang masih saja menangis mengangguk berkali-kali.

KAMU SEDANG MEMBACA
COOL Single Daddy
ЧиклитBOOK THREE OF SINGLE DADDY THRILOGY Jillian Christabelle Law adalah sosok naif yang penuh kasih. Jill tidak pernah takut bermimpi tinggi, juga tidak pernah takut mencintai. Hatinya yang luas memiliki cukup ruang untuk mencintai sebanyak dibutuhkan. ...