"Karena..."
"Apa Kak?" tanya Cella, mulai kesal karena Leo terus menggantungkan kalimatnya.
"Karena aku cinta sama kamu, Cell." Akhrinya. Setelah bertahun-tahun Leo menahan kalimat itu.
"Cinta? Cinta?! Kenapa harus cinta, sih? Siapa, sih itu cinta? Nyusahin hidup gue banget." Batin Cella.
Cella terdiam. Wajahnya masih kesal. Dan tambah kesal saat Leo menyatakan cinta padanya.
"Kenapa?" tanya Cella memelankan suaranya.
"Karena aku cinta kamu. Sudah bertahun-tahun aku tunggu momen ini, Cell." Leo berusaha meraih tangan Cella tapi Cella menghindar.
Cella terdiam. Matanya berair. Kesal? Iya. Marah? Iya. Pada dirinya sendiri. Cella selalu berpikir apa yang sudah dia lakukan sampai Leo mengatakan itu padanya.
Cella sudah pernah dijatuhkan oleh yang namanya Cinta. Oleh sahabat dan cinta pertamanya sendiri. Sakit? Pasti.
Trauma semenjak dijatuhkan oleh Cinta masih membekas sampai sekarang.
Karena Cinta Cella kehilangan cinta pertamanya.
Karena Cinta dia harus berkorban.
Karena Cinta pengorbanannya sia-sia.
Karena Cinta dia kehilangan sahabatnya.
Karena Cinta orang-orang membencinya.
Karena Cinta dia dikhianati.
Karena Cinta dia dipermalukan.
Karena Cinta semuanya berantakan.
Kenapa?
Cella mulai menangis. Dia kesal pada dirinya sendiri. Dia marah pada dirinya sendiri. Dia kecewa pada dirinya sendiri.
Kenapa dia tidak bisa memiliki hidup yang normal saja?
Cella takut dijatuhkan lagi. Cella takut ditinggalkan lagi. Cella takut kehilangan orang yang dia sayang.
Nafas Cella mulai tidak beraturan. Memori buruk tentang masa lalunya seakan muncul lagi di otaknya dan tidak bisa hilang. Berkali-kali Cella berusaha memikirkan yang lain. Tapi seakan memorinya yang lain hilang dan tersisa kenangan buruk itu.
Kenangan bagaimana Cella harus berkorban walau disia-siakan. Bagaimana dia dijatuhkan oleh sahabatnya sendiri, ditinggalkan cinta pertamanya. Sampai menjadi badut sekolah yang dibenci seluruh orang.
Harga dirinya jatuh, kepercayaan dirinya hilang. Hanya air mata dan rasa takut yang menemaninya setiap hari. Takut bertemu orang, bertatap muka dengan orang.
Karena hanya pandangan jijik, benci dan hina yang Cella terima setiap hari. Teman-temannya pergi, sahabatnya menjadi musuhnya. Apalagi sekarang?
Apa Cella harus kehilangan sahabat masa kecilnya?Lalu apa? Kenapa masalah terus datang? Kenapa Cella tidak bisa hidup dengan normal? Tanpa dihantui rasa takut.
Semua itu karena apa? Cinta.
"Cell, kamu jangan nangis. Aku tahu apa yang lagi kamu pikirkan." Leo berusaha meraih tangan Cella tapi ditepis oleh Cella sendiri.
Nafas Cella terdengar berantakan. Wajahnya memerah dan basah karena air mata.
Leo bisa melihat ketakutan yang sedang Cella alami.
Dari kejauhan, Nael datang karena melihat Cella menangis.
"Kenapa Cella?" tanya Nael pada Leo.
"Bukan urusan lo." Jawab Leo dingin.
Kening Nael berkerut, "Bukan urusan gue? Urusan dia, urusan gue juga!"
"Lo siapa, hah?!" Bentak Leo.
"Lo sendiri siapa?!" Balas Nael.
Cella terduduk di tanah secara tiba-tiba. Membuat Leo dan Nael panik. Memori kenangan buruk Cella terus berulang di otaknya.
"Kamu mau,kan? Jadi pacarku?" Tanya Viki dengan senyum di wajahnya.
Cella mengangguk bersemangat, "Iya!"
"Cella, kamu kenapa?" tanya Leo.
"Cell, lihat aku." Minta Nael.
"Cella, gue suka sama Viki." Kata Vanya dengan senyuman lebar di wajahnya sambil melihat Viki yang sedang bermain basket di lapangan.
"Cella! Lihat aku!" Nael mulai panik dan mulai menggoyangkan tubuh Cella.
"Minggir lo!" Leo mendorong Nael.
"Apa-apaan lo?!" Bentak Nael.
"Lo pengkhianat, Cell! Gue benci sama lo!" Vanya berlari meninggalkan Cella yang terus memanggil dan mengejarnya.
"Nggak usah nyentuh Cella." Minta Leo dengan tatapan dingin.
"Apa hak lo?" tanya Nael tak kalah dingin.
"Lo sendiri punya hak apa?!" Bentak Leo.
"Sudah jelas lo yang buat Cella sampai kayak gini." Nael menunjuk tepat di wajah Leo.
"Nggak usah asal nuduh lo!"
"Gue lihat sendiri!"
"Oh dia yang namanya Cella? Masih kecil aja genit."
"Pantas aja dia dibenci, sombong, sih."
"Masih kecil aja sudah sok tebar pesona."
"Baguslah Viki putus sama Cella. Rugi Viki pacaran sama Cella, cewek nggak benar kok dipacari."
"Cewek nakal, ya? Gue dengar dia hobi tebar pesona."
"Sok cantik, sih. Kena karma kan!"
"Mending lo pergi!" usir Leo.
"Lo yang pergi!" Balas Nael.
"Gue lebih berhak jaga Cella!"
"Bisa nggak, sih lo berhenti menomor satukan hak?"
"Kenapa? Takut kalah sama gue?"
"Lo kenapa, sih?" tanya balik Nael.
"Karena gue cinta sama dia!" teriak Leo.
"Masih kecil sudah sok main CINTA-CINTA'AN, sih."
"Gue CINTA sama Viki, Cell." Vanya tersenyum lebar saat melihat Viki bermain basket di lapangan.
"Aku CINTA sama kamu,Cell." Viki mengelus pelan rambut Cella.
"Maaf, Cell. Ini yang lo mau, kan? Gue sudah jatuh CINTA sama Vanya." Viki tersenyum lebar pada Cella walau dia tahu Cella sedang merasakan sakit hati yang teramat dalam.
Sebuah cahaya putih terang menyilaukan mata Cella. Gelap. Semuanya gelap. Hanya cahaya putih itu yang terlihat. Perlahan Cella melangkah mendekat ke cahaya putih itu. Dia takut gelap, Cella butuh cahaya untuk keluar dari kegelapan. Keluar dari rasa takutnya.
"Cella!" Leo berteriak saat melihat Cella tak sadarkan diri.
Berkali-kali Leo menepuk-nepuk pipi Cella untuk membuat perempuan itu sadar. Tapi percuma.
"Kita harus bawa Cella pulang. Sekarang!" Ajak Nael. Nael juga sama khawatirnya dengan Leo.
Leo langsung menggendong Cella, berlari meninggalkan taman di ikuti Nael dari belakang. Tak peduli sepeda motor mereka yang masih tertinggal di taman. Cella nomor satu sekarang.
__________________________________
_____________________
KAMU SEDANG MEMBACA
TRAUMATIC. [THE END]#ODOC #ODOCTheWWG
Teen Fiction"Aku benci...tidak, aku takut jatuh cinta. Lagi." Cella benci pacaran. Dia tidak percaya dengan cinta, baginya itu semua hanya omong kosong belaka. Pada akhirnya, akan jatuh lagi, patah hati lagi. Dia menolak semua cinta yang datang padanya. Membuat...