Bab 26

7 1 0
                                    

"It's ok. Lo sudah berusaha. Itu pilihannya. Lo harus kuat." Rio berusaha mengembalikan semangat Leo.

Malam itu, setelah bertanya pada Cella tentang perasaannya untuk kedua kalinya, Leo langsung pergi ke rumah Rio untuk menceritakan segalanya.

Leo meremas rambutnya. Dia tak percaya dengan semuanya. Tapi dia harus percaya dan harus bisa menerimanya.

"Lo boleh marah, kesal atau kecewa. Tapi jangan terus-terusan. Lo harus bangkit. Lo pasti bisa. Banyak cewek di luar sana. Tuhan masih jaga jodoh lo." Rio kembali memberi saran.

"Gue masih nggak nyangka. Gue kira selama ini Cella punya rasa yang sama kayak gue." Leo mengangkat wajahnya. Menyandarkan dirinya pada sandaran sofa.

"Lo harus kuat. Lo harus bangkit." Rio memberi saran.

Leo tersenyum kecil. Kecewa? Iya, pasti. Tapi Leo sadar, dia tidak boleh seperti ini terus. Ini hidup. Ada naik dan turun. Ada bahagia dan sedih. Semua harus bisa di terima dengan ikhlas. Senang atau tidak. Mau atau tidak Leo menerima semuanya, dia harus mau. Ini proses yang Tuhan berikan, untuknya agar bisa berubah menjadi lebih baik lagi.

Leo tiba-tiba bangkit berdiri, mengambil dua pasang sarung tinju yang ada di atas meja belajar Rio. Satu pasangnya dia lemparkan pada Rio.

"Lo benar, gue harus bangkit. Tapi gue butuh pelampiasan. Ring tinju lo masih berfungsi'kan?" tanya Leo kemudian dengan segera keluar dari kamar Rio menuju ke halaman belakang. Dimana ring tinju pribadi milik keluarga Rio berada. Dulu Rio dan kakak laki-lakinya sangat menyukai Boxing oleh karena itu, Papa Rio membuat ring tinju itu untuk anaknya. Tapi bertambahnya umur Kakak laki-laki Rio, ring tinju itu jadi jarang di gunakan. Karena kesibukan masing-masing. Mungkin hanya di gunakan beberapa kali saat Leo bermain ke rumah Rio atau Papa Rio yang mengajak anaknya untuk bermain.

"Bangkit, sih bangkit. Tapi nggak gue juga jadi pelampiasan emosi lo." Rio segera menyusul Leo ke halaman belakang.

***

Di malam yang sama, Cella duduk di bangku teman dekat rumahnya. Sendirian. Dia berencana untuk mencari udara segar dan mencoba menjernihkan pikirannya dari semua masalah yang ada. Tapi hasilnya, dia malah menangis. Dia merasa hubungannya dengan Leo makin merenggang. Dia masih merasakan sesak yang sama saat bersama Leo tadi.

"Cella?" panggil seseorang.

Refleks Cella langsung menghapus air matanya dan melihat siapa yang memanggil namanya. Itu Nael, yang kini duduk di samping Cella.

"Nggak apa nangis aja. Aku juga sudah lihat kamu nangis tadi." Kata Nael.

Cella tertawa kecil kemudian menggeleng, "Nggak, Kak. Malu."

"Buat apa malu? Semua orang juga butuh nangis. Aku aja juga pernah nangis di depan kamu'kan?" tanya Nael.

Cella mengangguk kemudian menundukan kepalanya untuk kembali menangis. Melampiaskan semua emosinya.

Nael duduk di samping Cella, menunggu perempuan itu berhenti menangis. Setelah itu, baru dia berani untuk mengajak Cella bicara. Sembari menghibur perempuan itu.

Cella mengangkat kepalanya setelah beberapa saat menangis. Dia merasa cukup untuk pelampiasan emosinya malam itu.

"Sudah merasa lebih baik?" tanya Nael.

Cella mengangguk, "Iya."

"Kalau boleh tahu, kenapa kamu nangis?" tanya Nael, akhirnya.

Cella terdiam sebentar. Berpikir apakah dia bisa menceritakan masalahnya ini kepada Nael atau tidak? Dan apakah dia siap?

Setelah berpikir beberapa saat, Cella yakin dengan pilihannya. Dia menceritakan semuanya. Menceritakan semua masalahnya dengan Leo. Nael mendengarkan setiap kalimat dalam cerita Cella dengan seksama. Nael tidak memotong pembicaraan Cella sama sekali. Walau Cella sempat menangis lagi di tengah cerita, Nael tetap menunggu Cella sampai tenang dan melanjutkan ceritanya.

"Cepat banget si Leo. Gue aja nggak tahu dia sudah nembak Cella sampai dua kali." Batin Nael sambil mendengarkan cerita Cella.

Setelah beberapa menit bercerita, akhirnya Cella berhenti. Ceritanya berhenti waktu kejadian tadi sore pulang sekolah. Dimana Nael melihat Cella menabraknya sambil menangis.

"Jadi itu kenapa gue tadi lihat Cella nangis di lorong." Batin Nael.

Cella mengatur nafasnya, sambil beberapa kali menghapus air matanya yang terus-terusan membasahi pipinya.

"Maaf, Kak." Kata Cella sambil terus menghapus air matanya.

"It's ok. Lampiaskan aja semua emosimu. Nggak ada yang melarang, kok." Kata Nael.

Cella tertawa kecil. Tawa yang di rindukan oleh Nael sejak dia melihat Cella menangis.

"Kamu sudah merasa jauh lebih baik sekarang?" tanya Nael. Diberi anggukan yakin oleh Cella.

Nael tersenyum lega, senang bisa melihat perempuan yang di cintai ya tersenyum lagi.

"Oh ya, Kak. Terimakasih waktu itu sudah bawa aku ke UKS." Kata Cella dengan senyum yang mulai melebar di wajahnya.

Nael mengangguk, "Iya, sama-sama. Untung aja aku bolos pelajaran waktu itu. Jadi bisa tahu kamu lagi sakit."

Cella tertawa, "Loh, Kak Nael bolos pelajaran?"

"Iya. Kalau nggak, nggak mungkin aku bisa bawa kamu ke UKS." Jawab Nael.

"Nggak baik, Kak." Kata Cella sambil menggelengkan kepalanya.

"Nggak baik buatku, tapi baik buatmu'kan?" tanya balik Nael dibalas tawa oleh Cella. Tawa yang ingin Nael lihat.

Suasana kini berubah hening. Hanya suara jangkrik dan beberapa kali suara kendaraan yang terdengar.

Di dalam hati Nael, ada satu hal yang ingin sekali dia tanyakan pada Cella. Tapi masih ada rasa ragu dalam dirinya. Terutama saat mendengar cerita dari Cella barusan tentang Leo. Rasa ragunya seakan makin besar.

Nael terdiam, berusaha menyiapkan mentalnya untuk mengatakan isi hatinya. Dan siap menerima apapun jawaban Cella. Seperti Leo.

"Cella." Panggil Nael, akhrinya.

"Iya?" Cella menoleh ke arah Nael.

"Kamu menolak Leo karena hatimu belum siap?" tanya Nael, memastikan.

"Bukan. Tapi memang aku menganggap Kak Leo sebagai kakak. Nggak lebih." Jawab Cella.

Nael terdiam sebentar untuk beberapa saat. Benar-benar menyiapkan mentalnya sematang mungkin.

"Kalau gitu, apa sekarang hatimu sudah siap?" tanya Nael.

"Eh?" Cella terkejut. Jujur, dia tidak menyangka topik pembicaraan berakhir seperti ini.

"Apa hatimu siap kamu buka? Atau sudah kamu buka? Buat aku?" tanya Nael langsung pada intinya.

Jantung Cella berdetak sangat kencang. Tapi kali ini berbeda, dia tidak merasakan rasa sesak atau takut sama sekali. Tapi rasa senang.

"Jadi ini rasanya jatuh cinta?" batin Cella.

Beberapa saat kemudian, setelah Cella berpikir. Cella mengangguk dengan senyuman lebar di wajahnya.

"Iya."

___________________________
______________________

TRAUMATIC. [THE END]#ODOC #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang