Bab 21

7 1 0
                                    

Cella sibuk mengerjakan tugas sekolahnya di meja makan malam hari itu. Tugas matematika, pelajaran yang paling Cella benci. Pelajaran matematika paling memeras otak dan tenaga. Banyak waktu terbuang hanya karena matematika. Sejak jam enam sore sampai sekarang jam sembilan malam, Cella belum selesai mengerjakan tugas matematikanya.

Di dapur, papa dan mama Cella sibuk memasak untuk pesanan kue dan menyiapkan bahan-bahan untuk sarapan besok pagi ataupun untuk makan siang.

Malam ini, kegiatan keluarga Cella cukup padat. Mungkin karena hampir mendekati masa liburan, banyak tugas mulai menumpuk. Dari Cella yang mulai kejatuhan banyak tugas dan ulangan harian sampai kedua orang tuanya yang sering bekerja lembur.

Suara ketokan pintu membuyarkan konsentrasi Cella dalam menghitung diamter suatu lingkaran.
"Siapa, sih? Udah malam juga." Batin Cella.

Cella tidak beranjak dari tempatnya, dan kembali fokus mengerjakan tugas matematikanya. Dia juga berpikir itu hanya halusinasi saja karena kedua orang tuanya tidak menunjukan reaksi.

Beberapa saat kemudian, ketokan pintu terdengar lagi. Kini kedua orang tua Cella juga mendengar.

"Kamu buka sana, Cell. Mama sama papa masih sibuk." Minta Mama Cella yang sedang menakar tepung untuk kue pesanan.

"Cella masih kerja tugas, Ma." Jawab Cella. Sebenarnya, dia juga terlalu malas untuk berdiri dan pergi ke pintu depan.

"Ayo Cella, Papa sama Mama masih sibuk." Kali ini Papa Cella yang angkat bicara.

Dengan terpaksa Cella bangkit berdiri, lalu menuju pintu depan. Dengan rasa malas dan wajah kesal, Cella membuka pintu.

"Siapa, sih malam-malam ke ru-" Cella mematung di tempat saat melihat Leo berdiri di depannya.

Jantung Cella kembali berdetak kencang. Setiap dia berada di dekat Leo atau Nael, jantungnya akan berdetak kencang seperti sebuah sinyal untuk segera menjauh.

"Hai." Sapa Leo dengan senyum tipis di wajahnya.

"Siapa, Cell?" tanya Mama Cella dari arah dapur.

"Kak Leo, Ma." Jawab Cella, meninggikan suaranya agar dapat di dengar mamanya.

"Suruh masuk aja." Minta mamanya.

Cella melirik ke arah Leo, secara tidak langsung bertanya pada Leo apakah dia mau masuk atau tidak? Dengan cepat Leo menggeleng.

"Nggak, Ma. Kak Leo cuma mau kasih formulir anggota OSIS buat tahun depan." Jawab Cella, membuat alasan. Setelah itu, mamanya tidak menjawab atau bertanya lagi.

Cella menutup pintu rumah, membuatnya hanya berdu dengan Leo di teras.
Keadaan menjadi canggung untuk beberapa saat. Sampai Leo mau angkat bicara.

"Itu, aku mau tahu jawaban kamu soal... Itu yang kemarin." Leo nampak malu-malu.

Begitu juga dengan Cella, dia benci situasi seperti ini. Situasi dimana dia harus membuat pilihan tanpa dia tahu apa resikonya.

"Tentang apa, ya Kak?" Cella pura-pura lupa.

"Itu, tentang pernyataan cintaku?" Jawab Leo.

Detak jantung Cella makin lama makin kencang. Jika malam itu sangat sunyi, mungkin Leo bisa mendengar suara detak jantung Cella. Beruntung pada malam hari itu sedang agak ramai dengan kendaraan berlalu lalang.

"Em... Soal itu, aku..." Cella nampak ragu-ragu juga merasa takut dalam waktu yang bersamaan.

Leo diam, menunggu Cella melanjutkan kalimatnya.

"Aku... Takut." Kata Cella.

"Takut kenapa?" tanya Leo tak paham dengan maksud Cella.

"Aku takut, bakal terjadi kayak dulu lagi. Aku..." Cella menahan kalimatnya.

"Cell, itu sudah masa lalu. Kita buat lembar baru lagi. Ya?" tanya Leo dengan ekspresi penuh harapan.

"Tapi, itu... Aku... Takut, Kak." Kata Cella lagi.

Dia takut akan kehilangan Leo. Leo sudah menjadi temannya bahkan seperti kakak sendiri bagi Cella. Karena mereka berdua sudah bersama sejak masih menggunakan popok. Cella tidak mau kehilangan sahabat masa kecilnya atau kehilangan kakak laki-lakinya. Itu terlalu menyakitkan dan menyeramkan untuk dibayangkan.

"Aku nggak akan ninggalin kamu, Cell. Aku janji." Leo meraih tangan Cella.

Beberapa saat kemudian, Cella menarik kembali tangannya.
"Kak Viki dulu juga bilang gitu, tapi dia ni-"

"Cell, Viki sama aku beda. Aku jauh lebih kenal kamu daripada dia. Aku hampir tahu semua tentang hidupmu, Cell." Leo kembali meraih tangan Cella, berusaha membuat perempuan di depannya ini percaya dan menaruh harapan padanya.

"Tapi aku masih takut, Kak." Kata Cella lagi, kembali dia menarik tangannya.

Wajah Leo berubah kecewa saat Cella menarik tangannya, "Cell, kamu percaya sama aku. Aku nggak akan ninggalin kamu. Kamu ingat di saat rumor-rumor buruk tentangmu menyebar? Semua nggak mau berteman sama kamu. Tapi aku? Aku mau, Cell. Aku selalu terima kamu apa adanya. Aku sudah suka kamu sejak kita umur duabelas tahun, Cell."

Cella terdiam. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Apa kata Leo memang benar. Tapi ada sesuatu di dalam hati Cella yang mengatakan kalau Leo bukan jawaban untuk hatinya.

"Kamu hanya perlu percaya sama aku, Cell. Kita mulai lembar baru, cerita baru. Aku janji akan buat kamu bahagia, Cell." Leo kembali berusaha membuat Cella yakin pada cintanya.

"Tapi, Kak. Aku..."

"Aku kenapa? Kamu takut? Aku nggak akan ninggalin kamu, Cell. Aku janji. Seumur hidupku. Percaya sama aku."

"Tapi buat aku, Kak Leo itu..."

"Apa? Katakan, Cell. Aku butuh jawaban."

"Kak Leo... Sudah seperti kakak kandung aku sendiri. Aku hanya menganggap Kak Leo sebagai seorang Kakak. Nggak lebih." Akhirnya Cella bisa mengeluarkan kalimatnya yang dari tadi terus berhenti di ujung lidahnya.

Leo terdiam. Wajahnya nampak kecewa. Dia ditolak secara tidak langsung oleh Cella. Dia merasa usahanya selama ini sia-sia jika Cella hanya menganggapnya sebagai kakak saja.

"Aku takut Kak Leo marah atau kecewa sama aku. Tapi memang itu adanya. Maaf, Kak." Cella menundukan kepalanya.

Leo tersenyum tipis, lalu mengelus kepala Cella sampai membuat perempuan mungil di depannya itu kembali mengangkat kepalanya.
"It's okay. Namanya juga hidup. Pasti pernah ditolak."

"Tapi Kak Leo..."

"Nggak apa, Cell. Berarti aku kurang berusaha. Atau memang takdirku hanya jadi temanmu. Teman." Leo menekankan kata terakhir yang cukup menusuk di hatinya.

"Kamu harus bahagia, ya? Aku akan tetap jadi malaikat penjagamu, kok." Leo tersenyum.

"Kalau gitu, aku pamit pulang dulu, ya. Titip salam buat mama, papamu. Good night little Angel." Leo melambaikan tangannya kepada Cella. Lalu dengan segera berjalan menuju mobilnya yang diparkirkan di depan halaman rumah Cella.

Cella masih mematung di tempat. Beruahaa berpikir apa yang dia lakukan sudah benar atau tidak. Karena yang Cella rasakan sekarang adalah kehilangan seorang Leo.

Tidak hanya Leo yang merasakan sakit hati malam itu. Cella juga merasakannya. Merasakan kehilangan seseorang, dan rasa takut yang mulai memenuhi diri Cella.

___________________________
_________________

TRAUMATIC. [THE END]#ODOC #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang