Hari yang kami tunggu tiba, tujuh puluh empat tahun yang lalu. Jam ini para tokoh kemerdekaan sedang berjuang untuk merdeka.
Begitupun kami, aku duduk di dekat Audia perwakilan Sumatra Utara sedang di make up. Rambutku di beri hairspray agar tegak dan tidak berjalan kemana-kemana.
Nanti pukul tujuh akan di umumkan siapa yang bertugas. Akan menjadi hal yang mendebarkan bagiku, bagi semuanya yang bertugas hari ini.
"Call, ayah kau datang?" Tanya audia dengan logat daerahnya.
"Iya, sudah sampai Jakarta semalam. Menginap di rumah Opa Uyutku." Aku hanya menebak. Dan pasti benar, karena hari ini semua akan berkumpul. Menyambut hari bahagia bagiku.
"Eh Gak pimpin upacara kah di Batalyon?" Aku terkekeh. Tentu tidak untuk tahun ini. Hari ini Special, di istana merdeka Jakarta melihat anak tercinta.
"Enggak, ada yang lain. Hari ini khusus untukku lah." Sahutku bangga.
Tepat pukul tujuh, kami sudah siap. Berjajar rapi istirahat di tempat. Pandangan tetap lurus ke depan. Dan senyum tak pernah luntur sedikitpun.
Aku masuk ke dalam daftar pasukan pengibar pagi ini bersama tiga puluh empat pasukan yang lain. Bangga tentunya menjadi bagian dari pengibaran.
Kini satu persatu nama sudah di panggil untuk pasukan delapan. Aku masih berdebar menunggu nama di panggil.
"Abiyosa Pratama Jati D.I Yogyakarta, pembentang bendera merah putih." Aku bertepuk tangan keras. Akhirnya, Abi si tinggi yang hitam. Menjadi pembentang duplikat bendera pusaka.
Aku menunduk, merapalkan doa, di sampingku ada Adiba dan Khaza yang menunggu giliran di panggil.
Jadilah manusia bersyukur Call, apapun posisinya harus di syukuri.
"Cinta Calla Senja, D.I. Yogyakarta. Pembawa baki bendera merah putih." Aku mencerna betul kata-kata tadi. Seperti ingin melompat tapi tidak bisa. Ingin berkata tapi tidak mampu. Aku langsung bersyukur atas nikmat Allah ini.
Dalam hati selalu ku rapalkan doa. Aku bisa, aku mampu menjadi pembawa baki. Aku bisa aku mampu. Jantung ini rasanya ingin terlepas. Sudah berulang kali menarik nafas.
Sampai dengan masuk ke dalam area istana merdeka pukul sembilan. Sekelibat saat berjalan aku bisa melihat Ayah dan Bunda di barisan depan. Bersama Daffa. Aku bisa mendengar teriakan Daffa.
"You Can do it mbak Calla. Semangat." Suntikan semangatnya memang melebihi apapun. Ini memang yang ku tunggu.
Banyak kamera yang menyorot wajahku. Aku yakin kini wajahku menghiasi seluruh layar kaca di Indonesia bahkan negara lain. Uti, akung, opa, dan oma pasti dengan bangga di rumah melihatku. Aku yakin itu.
"Semangat ya Calla." Aku mengangguk mantap saat Kak Tashya menepuk pundakku.
Masih menunggu rombongan RI satu berada di tempat. Hingga nanti akan tiba detik-detik proklamasi dan waktunya pengibaran bendera tiba.
Aku kembali memejamkan mata, meresapi kalimat ayah beberapa tahun silam. "Cintailah negara ini dengan darahmu. Jadilah bersinar seperti nama yang ayah berikan untukmu." Saat membuka mata, semua rasa gugup hilang bergantikan rasa percaya diri. Bahwa aku, Cinta Calla Senja bisa bersinar untuk Indonesia.
Kini saatnya. Di sampingku ada tentara yang membawa senjata. Aku begitu bangga berdiri di sini. Rasanya pasti bunda menangis di sana. Saat dengan lantang namaku di sebutkan.
Pembawa baki upacara pengibaran Bendera Pusaka, Cinta Calla Senja, kelahiran Surakarta, 8 Juli 16 Tahun lalu.
Putri dari pasangan. Kolonel Angkasa Yudha, SE, MM dan Savanya Sabina, SE.
Kami berjalan tegap, tak hentinya aku tersenyum. Ini cinta bakti Calla pada Indonesia Yah. Semoga Ayah dan Bunda bangga di sana, mendengar nama Calla di sebut, membuat nama ayah dan bunda terpanggil di istana.
Indonesia, terima lah sembah baktiku. Tunggu baktiku selanjutnya, bersama Daffa adikku.
Hingga kini, aku sampai pada saatnya. Menaiki satu persatu tangga, menghadap orang nomor satu bangsa ini. Menerima duplikat bendera merah putih. Rasanya ada bongkahan berlian yang harus ku jaga agar tetap utuh.
Di depanku kini sudah ada orang nomor satu bangsa ini. Membawa merah putih yang akan di berikan padaku.
Aku tetap tersenyum, selanjutnya satu per satu tangga ku turuni dengan hati-hati.
Jalan di tempat, mengikuti alur barisan ku selanjutnya. Saat sudah siap dan rapi lurus. Kami kembali melangkah. Membawa merah putih di depan tiang yang menjulang gagah berani.
Arkana mengambil bendera dari baki yang ku bawa. Dengan tegap ia kembali ke depan tiang. Abiyosa dan Reyhan sudah menunggu untuk mengibarkan bendera merah putih.
"Bendera siap." Teriak Abi. Dengan lantang laki-laki itu bersuara. Kumandang lagu Indonesia raya mengalun merdu. Menemani pagi ini di
Istana. Rasanya seperti terlempar pada puluhan tahun yang lalu. Para tokoh kemerdekaan yang berjuang untuk Indonesia merdeka. Tidak mudah bagi mereka mengorbankan nyawa dan juga keluarga.Hiduplah Indonesia Raya.
Tepat saat lagu berhenti, Merah putih berkibar dengan berani di langit Jakarta. Indonesia, benar-benar merdeka hari ini.
Kami kembali ke barisan, setelah ini kami akan bergabung dengan tim penurunan bendera. Selama perjalanan, kami tersenyum puas. Semua terlaksana dengan baik. Bahkan banyak dari kami menitihkan air mata.
Sama seperti aku saat ini, semua sudah selesai. Kami sudah melaksanakan tugas mulia ini dengan baik. Selanjutnya, Bagi paskibraka boleh bertemu dengan orang tuanya yang datang. Aku berlari mencari ayah dan bunda. Dari kejauhan aku melihat bunda melambaikan tangannya. Ah bunda, kapan bunda tidak terlihat muda. Bunda selalu muda.
"Terimakasih Bun, untuk doa yang tiada henti untuk Calla." Aku langsung bersujud di kaki bunda setelah memeluknya. Bunda, surgaku. Beliau membantuku bangkit.
"Bunda bangga sekali mbak, kamu benar-benar menepati janjimu malam itu. Semoga baktimu pada Indonesia tidak hanya sampai di sini." Aku mengangguk, kembali memeluk bunda sekali lagi. Aku beralih pada ayah.
"Terimakasih untuk hari itu Yah, telah menyadarkan Calla arti Indonesia." Ayah kini memelukku lebih erat. Mengusap punggungku. Bertemu dengan ayah bunda dan Daffa semua rasa lelah hilang.
"Ayah bangga dengan putri ayah. Tetap seperti ini mbak. Sampai esok cintailah Indonesia." Aku mengangguk, tunggu bakti Calla Yah.
"Daffa bangga punya Mbak Calla, semoga nanti Daffa juga bisa menjadi seperti mbak." Aku gemas dengan anak SMP ini. Aku juga memeluknya, rindu tidak bertemu, cukup membelenggu.
"Jangan hanya seperti mbak Dek. Kamu harus bisa lebih baik lagi dari mbak. Indonesia membutuhkan baktimu nanti. Mbak tunggu ya dek." Daffa mengangguk mantap.
"Iya mbak, kita sama-sama buat ayah dan bunda bangga." Aku kembali mengacak rambut Daffa. Lalu memeluk bunda. Acara ini bebas sampai nanti jam setengah satu.
"Kita ambil foto ya Bun." Ucapku. Daffa segera mengeluarkan polaroid yang ku pesan untuk di bawa. Memeluk ayah dan Bunda dengan senyum yang begitu lebar.
Selanjutnya Daffa meminta tolong seseorang untuk memfoto kami. Banyak gaya yang kami ambil, termasuk foto di depan istana yang akan kuingat sepanjang masa.
Fokusku terhenti lagi, saat melihat mata elang melintas di depanku. Dia yang tak bisa membuat ku tidur. Dan mungkin malam nanti akan lagi tidak bisa tidur.
🌵🌵🌵
Oh mata elang. Siapa kamu sebenarnya 🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha Greentea
Teen FictionMatanya begitu tajam, membuatku selalu memikirkan tentang dia,dia dan dia. Waktu begitu cepat berlalu, melambai begitu saja. Mengajak dengan ramah. Sampai kita benar-benar bertemu.. Merajut rasa yang mulai tumbuh. Kamu ada, datang pada waktu yang...