Namanya juga hidup selalu berputar, jatuh, bangkit. Bahkan bisa juga jatuh lagi tanpa bangkit.
Kalau kata orang hidup itu akan indah pada waktunya. Iya pada waktunya kalau usaha. Kalau enggak, yang nggak akan indah.
Kalau kata temenku, usaha tanpa doa itu sombong. Dan kalau sudah doa tapi tanpa ada usaha namanya malas. Dan kali ini memang benar.
Sudah dua bulan sejak kejadian gila memilukan itu. Dan sudah dua bulan juga rasanya semuanya harus baik-baik saja.
Seperti tidak ada hari Sabtu pilu yang membiru. Puas saat dua taruna itu harus menanggung dosa besar yang ia lakukan.
Kata ayah tidak usah lagi khawatir akan mereka berdua. Tinggal aku usaha untuk bahagia lagi, dan hari ini aku sudah kembali bahagia.
Menjalani kehidupan normal anak sma tanpa cinta. Cukup menatap ke depan, ada banyak hal yang harus ku capai.
Ada ayah bunda yang sedang berjuang mati-matian untukku. Dan aku tak ingin lagi terpuruk karena keadaan.
Aku harus bersinar seperti namaku. Cahaya senja yang penuh cinta. Memancarkan cinta.
Tidak boleh peduli dengan kata orang yang bermacam menyakiti hatiku. Ada yang bilang aku pelakor. Ada yang bilang aku kasihan. Ada pula yang tidak bilang apa-apa.
Berita putusnya aku dan Elang begitu cukup cepat menyebar. Hingga kini aku sengaja menghilang dari kehidupan sosial media yang fana.
Aku terlalu muak melihat foto diriku bersama Elang yang lalu. Membuatku muak sakit dan Malu tentunya.
"Calla ngelamun. Itu di panggil ke kepala sekolah" aku mengangguk. Berjalan menyusuri koridor sekolah.
"Permisi pak." Ucapku sambil mengetuk pintu.
"Masuk Calla." Aku masuk ke dalam ruangan Kramat ini. Duduk di sofa yang biasanya digunakan untuk menerima tamu.
"Jadi Calla, tim debate sekolah kita di undang untuk mengikuti perlombaan di Akademi Kepolisian Semarang. Saya mau kami ikut ke dalam tim inti." Aku kaget.
"Tapi pak. Saya kan sudah kelas tiga." Jawabku.
"Hira tidak bisa ikut ke Semarang karena harus final OSN biologi. Jadi bapak minta kamu yang menggantikan posisi Hira. Nggak main-main lomba ini. Antar SMA se Indonesia." Aku menggeleng.
"Sepertinya saya nggak bisa Pak." Jawabku. Aku malas dengan lomba ini. Jelas akan melibatkan taruna-taruna yang membuatku engap.
"Alasannya?" Tanya pak Yahya.
"Karena saya sudah kelas tiga pak. Saya harus fokus ke ujian. Dan beberapa materi harus saya kejar karena final debate kemarin di Jakarta." Ucapku dengan penuh penekanan.
Sebenarnya tidak masalah untuk menggantikan Hira jika tidak di lingkungan Akpol itu.
"Saya mohon Calla pertimbangkan lagi keputusan ini." Aku mengangguk.
"Besok saya kabari lagi pak. Tapi sepertinya keputusan saya tidak berubah." Aku permisi keluar melanjutkan membaca novel di perpus. Jam terkahir ini kosong mata pelajaran biologi.
Ayah
Ayah ngga bisa jemput. Ada tamu dari Jakarta. Om Bima yang jemput ya 👍Lagi-lagi ayah tidak jadi menjempuku, alamat gagal Drive true McD lagi.
Hilih nggak jadi beli es krim dong yah.
Ayah janji padahal sama mbak 😭Bel pulang sekolah berbunyi, aku segera ke kelas mengambil tas.
"Mbak Calla." Aku menoleh. Ada Kaisha dan Julian kelas sebelas. Aku sudah tahu kemana arah pembicaraan mereka nantinya.
"Iya?" Jawabku.
"Bantuin kita ya mbak. Hira nggak bisa banget. Dan kami cuman bisa cocok sama mbak Calla kalau buat argumen." Aku menggeleng.
"Sama yang lain coba deh Kai. Aku nggak bisa, takutnya udah TO dan aku nggak bisa maksimal nanti." Jawabku mencari alasan.
"Mbak please help me. Ini terkahir janji deh mbak. Mbak nggak kasihan sama kita? Janji mba jadi first speaker. Bisa ya mbak Calla. Sekalian ke Semarang liburan Lo." Aku menggeleng.
"Tolong dong mbak Calla. Masa mau mematahkan harapan kami. Yang lain juga nggak percaya diri. Cuman mbak Calla satu-satunya harapan kami. Ya mbak Calla. Janji ini yang terakhir." Wajah Julian mengiba.
"Aku fikir lagi. Aku pulang dulu ya dek." Mereka menganguk.
"Kami tunggu kabar baiknya mbak Calla." Aku meninggalkan mereka. Pasti kelas sudah sepi karena sudah banyak yang pulang.
"Nih tas mu Call." Belum sampai kelas aku sudah bertemu Namira yang membawakan tasku.
"Thankyou. You are the best sister." Candaku sambil menoel pipinya. Kami berjalan bersama menuju gerbang. Mataku menyipit saat melihat seorang berbaju ketat di depan gerbang.
"Duluan ya Call." Teriak Namira yang melambaikan tangan ke arahku.Elang
Iya dia Elang. Aku segera berbalik namun aku kalah cepat dengan gerakan matanya yang melihatku.
"Calla tunggu." Ucapnya. Jantungku berdegup kencang tidak beraturan. Rasa sakit kembali hadir. Bahkan bayangam hari Sabtu itu sangat jelas terputar dihatiku.
Aku langsung berlari menghindarinya. "Calla kasih aku waktu lima menit untuk menjelaskan semuanya." Aku berhenti.
"Nggak butuh penjelasan Lang. Secinta apapun kamu sama aku sekarang aku nggak peduli. Aku udah kecewa sama sikap kamu. Aku udah maafin kamu, tapi kalau untuk kita kaya dulu ataupun berteman lagi. Aku nggak bisa, maaf. Silahkan lanjutkan hidupmu lagi." Ucapku langsung meninggalkan Elang. Elang mengejarku. Sampai aku melihat ada mobil dinas berhenti di depan gerbang.
"Mau apa kamu gangguin Calla lagi. Awas kamu Macem-macem sama Calla." Ucap Om Bima. Aku yang sudah masuk ke dalam mobil bernafas lega. Lagian kenapa dia bisa di sini padahal bukan hari pesiar.
Om Bima masih menunjuk wajah Elang dengan jarinya. Memancarkan amarah yang tertunda mungkin.
Aku membuka jendela. "Om ayo. Panas." Teriakku.
Om Bima mengangguk, langsung masuk ke balik kemudi. Elang menggedor-gedor jendela. Sial kenapa adegan ini seperti di sinetron.
"Mbak dia masih ganggu mbak ya? Kalau iya bilang sama om. Nanti om habiskan dia sekalian." Aku terkekeh.
"Perut om makin bulet nanti. Udah nggak usah. Dia nggak naik tingkat aja aku udah seneng. Kaya sia-sia aja hidup dia kemarin. Aku udah baik-baik aja om." Ucapku pura-pura baik pada om Bima.
"Halah. Om hidup di dunia lebih dulu. Om tahu mana yang udah bener nggak papa sama yang pura-pura baik-baik saja. Iya kan." Aku hanya tersenyum simpul. Masih membayangkan wajah Elang tadi.
"Kok puter balik?" Tanyaku.
"Ayah nunggu di kantor Mbak. Nggak usah mengalihkan pembicaraan. Mbak harus move on ya. Jangan pukul rata semua taruna itu sama dengan Elang. Hidup mbak Calla kan berdampingan sama yang namanya kacang hijau. Kalau mbak Calla menutup hati. Apa kabar ayah , om Bima , om Reza, bang Dipta dan teman-teman yang lain." Aku melihat om Bima dengan serius.
Mungkin memang aku harus berdamai dengan hatiku.
🍵🍵🍵
Selamat membaca
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha Greentea
Teen FictionMatanya begitu tajam, membuatku selalu memikirkan tentang dia,dia dan dia. Waktu begitu cepat berlalu, melambai begitu saja. Mengajak dengan ramah. Sampai kita benar-benar bertemu.. Merajut rasa yang mulai tumbuh. Kamu ada, datang pada waktu yang...