Keping Satu

10.2K 771 31
                                    

Bahagia atas nikmat Tuhan yang terjadi padaku. Seorang gadis 16 tahun yang begitu beruntung.

Saat pengumuman seleksi Paskibraka Nasioanal. Nama dan fotoku muncul di sana, bersama satu lagi temanku dari SMA Negeri 1 Yogyakarta, Abiyosa Pratama Jati.

Menjadi perwakilan putri Daerah Istimewa Yogyakarta sangat membahagiakan untukku. Tak pernah ku sangka sebelumnya.

Pembicaraan bersama ayah malam hari beberapa tahun silam membuatku semakin yakin untuk membuktikan bakti ku pada negara ini.

Seperti keinginan ayah, beliau ingin aku bersinar seperti namaku. Bersinar dan membaktikan diriku pada negara Indonesia tercinta ini.

Senyumku tak luntur sedikitpun hari ini. Setelah berbulan-bulan karantina lusa saat yang kami tunggu bagi pasukan pengibar bendera di istana.

Menjadi pengibar bendera pusaka seperti mimpi untukku. Apalagi posisiku adalah dambaan setiap pelajar  di Indonesia.

"Calla, sun block saya ada di kamu?" Aku mengerjab tiap kali berbicara dengan Fadly, perwakilan dari Kalimantan Barat. Tubuhnya terlalu tinggi untukku yang sudah tinggi.

"Enggak, Adiba yang bawa." Ucapku. Memang tadi aku melihat Adiba membawa sunblock milik Fadly yang mempunyai SPF 32.

Kini kami sedang bersiap gladi bersih pengibaran sang merah putih di istana tiga hari lagi. Dengan semangat membara aku merapihkan kembali rambut pendek ku.

Kalau kata Daffa adikku, aku seperti polwan yang akan menilang siapa saja yang mencuri hatiku. Alah anak itu, sudah seperti tahu saja pikiran orang dewasa.

Bersama Adiba dan Fadly aku berjalan ke arah Monas. Karena beberapa tahun ini merah putih akan kirab dari Monas hingga istana. Tentu di iringi dengan drumband kebanggaan akademi militer. Genderang Suling Canka Lokananta.

"Call kenapa ya, perasaan kamu udah panas-panas tapi kok masih tetap putih aja." Aku terkekeh, Adiba perempuan manis dengan lesung pipi di kanan kirinya mengejek ku putih.

"Aduh, Gatau ya. Bawaan lahir kali ya. Aku juga heran, padahal udah di panas-panasin malah jadinya merah." Keluhku.

"Ssssst, arah jam dua." Aku mengikuti arah pandang yang di maksud oleh Adiba. Bisa-bisanya saat aku menjelaskan kulit dia malah memperhatikan para taruna yang tengah memukul alat.

"Apa sih Dib, kaya gitu aja di lihatin." Diba memutar bola mata jengah.

"Kamu tuh ga pernah lihat cowok ganteng sih Call." Aku terkekeh.

"Karena menurut aku, cowok ganteng itu ya kaya ayahku itu." Kini Diba menonjok pipiku dengan jarinya.

Tak lama kami benar-benar siap, dan harus fokus. Seperti refreshing untuk kami yang sudah di karantina selama dua minggu bisa melihat drumband. Secara tidak langsung, karena kami tetap harus fokus latihan langkah tegap dan berbagai posisi.

Saat ini aku sedang berlatih menjadi posisi pembawa baki. Entah nanti siapa yang akan bertugas. Jadi kami siap di tugaskan pada posisi apapun.

Saat aku berhenti, kini di depanku melintas drumband yang begitu terkenal. Mataku menangkap sosok dengan mata elang seperti milik ayah. Bukan Bang Dipta tetanggaku yang berada di sini bukan.

Matcha GreenteaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang