TUJUH

11.6K 664 18
                                    

TUJUH

Dengan wajah yang lesu, dan langkah lemas. Rangga kembali menuju kearah ranjang dimana ada tubuh mamanya yang tengah terlelap diatas sana. Ponsel mahal papanya bahkan tidak di pungut oleh anak itu. Hatinya sakit mendengar ucapan kesal, dan geram laki-laki di sebarang sana. Benarkan suara laki-laki dan perempuan tadi adalah mama dan papa, papanya? Tapi kenapa jahat sekali? Suara laki-laki yang menurut Rangga adalah kakeknya tadi bagaikan suara kucing hutan yang kelaparan. Persis papanya, ih! Kenapa sih, papanya harus papa Pian. Rangga mau tukar tambah papanya biar nggak keluyuran terus.

Dengan sangat hati-hati Rangga menaiki ranjang empuk mama, dan papanya yang juga menjadi ranjangnya juga apabila papanya absen datang kerumah. Kalau papanya masih sekolah, Rangga yakin papanya tidak akan naik kelas karena bolos terus.

Aish! Matanya terasa panas, dan perih. Rangga jelas tau apa maksud dari ucapan kakeknya tadi. Umurnya sudah delapan tahun, kakeknya mengira dia adalah pencopet bahkan gembel.

Walau sudah Rangga tahan sebisa mungkin air matanya, tetap air matanya yang menang. Air matanya meluruh dengan mulus tanpa malu-malu dari kedua matanya. Ekspresinya terlihat begitu pahit sekaligus lucu dengan bibir bawah yang memoncong begitu maju kedepan dan kedua mata yang menyipit.

"Rangga anak papa atau bukan, sih, mama?"tanya Rangga sendu pada wajah lelap Syasa yang terlihat pulas.

Rangga kecil bingung, kadang papanya begitu terlihat sayang padanya, tapi laki-laki itu banyak lebih terlihat acuh bahkan cuek padanya. Rangga juga tidak melihat ada foto pernikahan mama, dan papanya yang terpajang di rumah.

Melihat kelopak mata mamanya yang mengkerut, Rangga dengan cepat menghapus jejak bulir air matanya yang mengalir di pipinya.

Sebisa mungkin, Rangga menampilkan wajah ceria dengan senyuman manis yang tersungging indah di kedua bibirnya, dengan tangan yang menopang di dagu.

Rangga terlihat seperti orang dewasa yang tengah menanti kekasih hatinya bangun tidur. Dengan tatapan penuh cinta dan puja yang terlihat jelas.

"Mama...Rangga mau tukar tambal Papa. Rangga juga mau minta Papa baru."celetuk Rangga spontan membuat Syasa terlonjak dari baringannya dengan mata yang melebar.

****

Setelah berhasil menguasai dirinya akan pertanyaan bertubi yang dilontarkan oleh mamanya. Pian menarik nafasnya panjang, dan menghembuskannya perlahan. Mata tajamnya memandang penuh sesal kearah mama, dan papanya terlebih mamanya. Pian tau, apapun yang ia lakukan, pintu maaf selalu terbuka lebar untuk dirinya dari papanya.

"Maaf, Ma. Sebenarnya Syasa sudah dari enam bulan yang lalu balik ke sini."Ucap Pian dengan kepala yang menunduk dalam.

Tangan mungil, dan lentik Lila terlihat mengepal kuat. Mike dengan sabar mengelus lembut bahu isterinya yang naik turun karena rasa amarah, takut, dan gelisahnya terhadap Syasa.

"Kenapa nggak bilang dari dulu kalau adikmu telah kembali disini?"lirih Lila sedih. Ia telah berhasil menguasai dirinya agar tidak lepas kontrol.

"Syasa mau mandiri, Ma. Aku sebagai kakak tentu saja mendukungnya. Tenang saja, Ma. Syasa selalu aku kontrol di setiap bulannya walau aku benci setengah mati padanya."Ucap Pian dengan bersungut-sungut, dan tangan yang mengepal erat.

Pian begitu lihay dalam mengucap dusta. Mike yang terlalu sayang pada anak tunggalnya itu terlihat percaya saja akan setiap ucapan anaknya, dan memandang tuduh kearah isterinya yang terlalu suudzon terhadap anak kandung mereka. Sejujurnya dalam hati kecil, tidak ada gairah dan keinginan untuk mengasuh anak orang, apalagi itu adalah anak dari mantan isterinya yang pengkhinat, dan pencipta dosa besar untuk dirinya dulu terhadap Lila.

"Jangan bohong kamu, nak. Ayo jujur, sepertinya kamu menyembunyikan sesuatu."tuduh Lila dengan raut yang masih tidak percaya.

Seketika Pian menunduk dalam mendengar ucapan tuduhan dari mamanya, Lila seketika merasa bersalah. Setaunya anaknya memang jarang berbohong bahkan nyaris tidak pernah dulu, tapi siapa tau sekarang'kan? Manusia bisa berubah.

"Sumpah, Ma. Pian nggak bohong. Syasa ada di Indonesia tapi Syasa belum ingin bertemu dengan mama dan papa. Dasar anak pungut itu, memang keterlaluan."sungut pian lagi.

"Mama jangan khawatir, Pian akan membujuk Syasa nanti agar mau tinggal dengan kita lagi."Ucap Pian dengan nada yakin.

Lila memandang dalam kearah anaknya, sepertinya anaknya tidak berbohong. Lila akhirnya mengangguk.

Cup

Satu kecupan mendarat di pipi kiri Lila. Siapa lagi kalau bukan Mike dalangnya. "Awas, ya. Curiga lagi sama anak kita, bakal ada hukuman untuk kamu."Ancam Mike serius.

Lila hanya mendengus. Pian terlihat menghembuskan nafasnya lega. Tapi itu hanya beberap saat sebelum pertanyaan serius kembali terlontar oleh mulut mamanya.

"Rangga siapa? Kenapa ponsel kamu ada sama dia? Dia juga tau kalau kami adalah kakek neneknya."Tanya Lila penasaran. Mike juga ikut menanti jawaban anaknya, jawaban dari mulut anaknya akan ia percaya 100%. Semoga saja tadi memang adalah gembel yang merangkap jadi pencopet.

Pian terlihat meneguk kasar ludahnya berkali-kali. Ia seketika gugup tapi ia masih bisa menguasai dirinya.

"Dia...dia anak panti asuhan."Ucap Pian susah payah dengan tubuh yang bergetar merinding seakan ada aliran listrik yang menyetrumnya.

Maafkan, Papa, Rangga!

Tbc

Ebook Suamiku kakakku ready di playbook atau playstore.  Mau baca cepat bisa beli dan donlod di sana

SUAMIKU KAKAKKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang