SEPULUH

10.3K 570 5
                                    

SEPULUH

Pian mengekor kemana'pun langkah kaki Syasa melangkah, membuat Syasa semakin menekuk wajahnya kesal. Ia masuk ke kamar mandi, dan ingin buang air kecil, Pian akan ikut masuk, dan melihat kegiatannya.

Kegelapan sudah menyapa bahkan sekarang sudah jam delapan malam tapi sepertinya Syasa masih terlihat sibuk, lebih tepatnya pura-pura sibuk agar ia tidak berkomunikasi dengan suaminya. Jelas, Syasa masih marah pada suaminya. Tapi sepertinya, Pian tidak peka, dan menganggap hanya angin lalu tentang kelakuan brengseknya kemarin yang mengabaikan puluhan panggilan penting dari dirinya.

Syasa tersenyum pahit di kala matanya memandang kearah wajah tak berdosa suaminya, malah wajah tampan itu terlihat kesal. Disini, seharusnya ia yang marah bukan sebaliknya.

Dengan kaki yang menghentak kasar, Syasa berlari kecil meninggalkan Pian di dapur menuju kamar mereka. Rangga sudah terlelap pukul tujuh malam tadi.

"Jangan ikuti aku!"ucap Syasa penuh tekanan disela aksi kaburnya dari suaminya.

Pian tidak suka melihat isterinya yang main kucingan sedari tadi. Mereka bukan anak remaja lagi, apalagi ucapan sinis Syasa barusan membuat harga diri Pian terluka. Seharusnya ia yang memegang kendali, bukan Syasa. Syasa harus tau posisinya, dia hanya anak angkat, dan dia telah menjadi hak miliknya dan harus patuh sama dia sebagai suaminya.

"Syasa!"Geram Pian menahan amarah dengan kedua tangan yang mengepal kuat.

Dengan langkah seribu Pian mengejar Syasa. Pintu kamar hampir tertutup, dan di kunci dari dalam tapi dengan cepat Pian menahannya.

Syasa dengan kesal membuka lebar pintunya membuat Pian hampir terjerembab ke depan. Kemarahan yang mengepul di hati Pian semakin besar untuk Syasa.

"Keluar!"Usir Syasa kasar sambil membaringkan tubuhnya kasar diatas ranjang, dan menutupi penuh tubuhnya dengan selimut.

Pian terkekeh dengan mata yang telah memerah menahan amarah melihat kelakuan Syasa. Syasa sudah sangat berubah, tidak seperti Syasa kecil yang selalu menurut padanya dulu.

"Nggak salah, sayang? Ini rumahku, dari mana coba kamu dapat uang banyak untuk beli rumah semahal ini."ucap Pian dengan nada ejeknya dengan langkah pelan menuju tempat dimana Syasa berada.

"Ini kamarku, ah kamar kita berdua."Ucap Pian lagi.

Syasa mencengkram selimutnya begitu kuat. Syasa menyesali, kenapa ia harus sebatang kara di dunia ini. Sehingga ia mendapat perlakuan tak senonoh sedari kecil hingga saat ia telah memiliki anak seperti sekarang ini.

"Buka selimutnya."Pian mencoba menarik lembut ujung selimut yang di cengkram kuat oleh Syasa.

"Nggak mau. Kamu pergi dulu, aku muak melihat wajahmu, kak."Ucap Syasa datar di balik selimutnya.

"Jangan buat batas sabar aku habis! Buka selimutnya."ucap Pian dengan nada yang sedikit mengancam. Tapi tetap tidak mendapat respon dari Syasa.

Pian bingung, apa sih, salahnya? Padahal sedari tadi pagi semuanya terlihat baik-baik saja? Kenapa malam ini Syasa berulah. Di perlakukan dengan baik malah membangkang dan besar kepala.

Tanpa bisa di tahan lagi, Pian menarik kasar selimutnya membuat tangan Syasa sakit, dan tubuhnya tergulir ke samping.

Pian menyesal karena barusan berbuat kasar pada Syasa.

"Maaf. Aku sudah kasar."ucap Pian menyesal.

Mendengar permintaan maaf suaminya, membuat air mata Syasa akhirnya mengalir tanpa bisa di tahan lagi.

Pian bingung melihat Syasa yang menangis.

"Ada apa lagi? Kenapa menangis tanpa sebab?"tanya Pian tajam.

"Aku sudah minta maaf barusan."

Syasa tidak menjawab, perempuan itu hanya menatap sinis kearah Pian dengan air mata yang mengalir deras.

"Perempuan dengan segala kebodohannya. Kalau aku ada salah, bilang, Sya. Aku bukan peramal yang bisa nebak apa yang kamu rasakan? Kalau begini semua masalah nggak akan selesai!"ucap Pian frustasi dengan kedua tangan besarnya yang menjambak kasar rambutnya sendiri.

"Kenapa nggak sadar juga?"lirih Syasa pelan.

"Kamu itu banyak salah sama aku dan Rangga, kak."pekik Syasa tertahan.

"Bilang, jangan diam kayak gini."bentak Pian sedikit keras.

Syasa membeku mendengarnya. Pian menjambak rambutnya lagi melihat tatapan mata Syasa yang kosong kearahnya. Salah lagi, kan. Nggak salah kalau Pian menyimpulkan, kalau wanitalah yang membuat hubungan itu hancur bahkan membuat seseorang pisah dari sebuah ikatan karena keterdiamannya, kadang.

"Kayaknya kita harus nambah anak. Biar kamu, dan Rangga nggak kesepian. Kita pergi ke rumah sakit besok. Cek kapan masa subur kamu biar kita bisa buat adik untuk Rangga."Ucap Pian tajam sembari mengangkat pantatnya dari ranjang ingin segera beranjak agar emosinya tidak meluap ke permukaan.

"Semoga anak kita Rangga, nggak usil kelewatan kayak tadi kalau dia punya adik. Satu lagi, Bisa nggak, sih, kamu didik anak."Ucap Pian sinis mengingat betapa jailnya Rangga terhadap dirinya. Padahal segalanya Pian kasih untuk anaknya itu. Mainan yang ia beli dan berikan adalah mainan , dan berkelas. Apalagi yang kurang? Nenek kakek? Nanti itu, tunggu dia siap lahir batin. Malu dia kalau mama, dan papanya tau kalau ia telah menikah dengan Syasa, wanita yang selalu ia benci dan tindas dulu, dan dia pernah bersumpah pada kedua orang tuanya, jijik dia kalau suka apalagi memperistri Syasa. Pian sedikit menyesal akan segala ucapannya dulu. Ternyata menjadi bumerang untuk dirinya sendiri di akhir.

Dengan langkah lebar, Pian meninggalkan Syasa yang membatu di tempatnya untuk menuju kamar anaknya. Niat ingin melakukan ibadah batal, moodnya jatuh sampai ke dasar jurang.

"Punya anak?"Bisik Syasa masih dengan tatapan kosongnya.

Ia takut, Pian akan tau, kalau ia menyuntik KB sekali tiga bulan selama dua tahun berlalu. Makanya ia tidak hamil-hamil dua tahun belakangan ini, walau Pian sudah berusaha maksimal.

Entah apa yang akan ia dapat kalau suaminya itu tau kalau ia telah menipunya selama dua tahun ini.

****

Wajah Lila dan Mike terlihat menegang setelah kedua pasangan itu mendapat telepon penting dari sahabat mereka yang berada di Bandung.

"Mas, Saka..."bisik Lila lirih.

Mike mengangguk lesu dengan kedua tangan yang menarik lembut pinggang Lila agar mendekat kearahnya.

Saka bukan lagi sahabat bagi keduanya tapi lebih dari itu. Saka bagaikan saudara yang lahir dari rahim yang sama dengan Mike.

"Dia pasti bisa melalui semua ini."bisik Mike dengan raut yang yakin agar Lila tidak terlalu cemas.

SUAMIKU KAKAKKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang