27

9K 489 2
                                    

DUA PULUH TUJUH

Shasa memandang memincing kearah suaminya. Suaminya terlihat aneh dan berbeda dari kemarin-kemarin. Lebih banyak diam, dan tatapannya terlihat redup. Apa yang terjadi, sih? Setiap di tanya jawabannya selalu sama, tidak apa-apa.

Karena kesal melihat suaminya yang melamun. Shasa mengalihkan pandangannya kearah Rangga yang tengah asik bermain dengan anak lainnya di taman, tepatnya bermain bola setelah mereka menjelajahi kuliner dan bermain permainan anak-anak di mall, dan sore harinya menghabiskan waktu di taman alun-alun kota yang ramai di sore hari seperti ini.

Pian mengajak Shasa dan anaknya jalan-jalan sepenjang hari, sebagai ganti karena tidak jadi liburan ke Malasya sebagaiman di janjikan oleh laki-laki itu beberapa minggu yang lalu. Rangga awalnya menolak, tapi Pian dengan pintar menambah waktu liburan menjadi dua minggu. Satu minggu berkeliling Malasya, dan satu minggu berkeliling Indonesia membuat Shasa maupun Rangga dengan senang hati akhirnya setuju akan batalnya liburan mereka yang seharusnya besok lusa mereka berangkat.

Karena suaminya masih saja melamun, Shasa dengan kasar menyimpan teh botol yang baru di minumnya di atas kursi panjang taman, membuat Pian terkejut dan reflek memandang kearahnya.

"Ada apa?"Tanya Pian bingung melihat wajah bete dan kesal Shasa.

Shasa mendengus, dan membuang pandangannya tidak ingin memandang kearah Pian.

"Ada apa? Ayo katakan?"desak Pian bingung bahkan laki-laki itu menggaruk bagai orang kebingungan kepalanya. Pikirannya tengah kalut dan kacau, dan rasanya kepalanya ingin pecah karena masalah yang di hadapinya saat ini.

"Kamu ada masalah!"Tuduh Shasa dengan suara lirihnya.

Mendengar suara lirih isterinya membuat tubuh Pian seketika menegang kaku.

"Jangan simpan sendiri. Kalau kakak menganggap aku adalah isteri kakak, tolong berbagi lah dengan aku masalahmu, kak."Mohon Shasa pelan.

Suaminya benar-benar berubah. Suka diam, dan menjadi pendiam. Salah sedikit saja biasanya suaminya itu akan marah padanya, tapi saat ini suaminya itu sepertinya tidak ada semangat hidup. Tatapannya redup seperti orang kebingungan, dan seperti orang yang menyimpan masalah besar yang tidak menemukan jalan keluar masalahnya. Bukan hanya suaminya yang aneh tadi pagi, tapi mamanya juga. Selalu mandang dia diam-diam dengan tatapan yang tidak di suka oleh Shasa. Tatapan iba dan menyesal. Ada apa sebenarnya?

Apa iyah, masalah perjodohan konyol itu untuk laki-laki yang telah memiliki isteri seperti suaminya. Itu tidak jadi, di batalkan, kata suami dan mamanya tepat pada malam pertemuan itu juga.

Lantas apa masalahnya?

"Aku nggak ada masalah apa-apa, Sayang. Ini kepala aku sedikit pusing. Aku nggak nyimpan rahasia atau hal yang buruk. Kamu jangan salah paham."Pian merapatkan tubuhnya dengan tubuh Shasa.

Shasa menghembuskan nafasnya panjang. Dia masih sedikit tidak percaya dengan ucapan suaminya barusan.

"Maaf. Kalau aku mendiamkanmu barusan. Kepalaku pusing tapi sekarang nggak lagi setelah tatap wajah kamu lama barusan."Ucap Pian lagi dengan senyuman manisnya kali ini.

Shasa bukannya percaya, tapi Shasa malah semakin curiga, mendengar ucapan lirih, dan lelah suaminya. Walau laki-laki itu tersenyum begitu manis. Tapi senyumannya terlihat seperti di paksakan.

"Terserah!"Ucap Shasa kesal. Apa susahnya berbagi masalah, siapa tau dia bisa membantu suaminya, walau sedikit dalam menemukan jalan keluarnya.

Shasa membuang pandangannya lagi. Membuat Pian diam-diam menghela nafasnya lelah. Tapi sedetik kemudian, ada senyum misterius yang muncul di bibir kering laki-laki itu.

Dengan pelan, tangan besarnya merogoh sesuatu kedalam kantong celana levisnya. Bibirnya tersenyum lebar di kala cincin berkilau mungil telah berhasil keluar dari sana.

Shasa kaget di kala suaminya menarik lembut tangannya, dan jarinya di lewati oleh benda kecil yang lembut memasuki jari manis tangan kirinya. Seketika Shasa menutup mulutnya haru, melihat jari tangannya telah melingkar cincin yang manis dan cantik di sana.

Sontak Shasa segera memandang kearah suaminya yang tengah tersenyum begitu manis kearahnya.

"Hadiah permintaan maaf, batalnya liburan kita."bisik Pian manis.

Seketika seluruh rasa kesal yang mengepul di dadanya untuk sang suami, raip entah kemana, berganti dengan rasa penuh cinta, dan sayang yang berkali lipat.

"Maka---"

"MAMA! PAPA! AYO KITA PERGI, RANGGA DI KEJAR, MA. BOLANYA KEMPES."ucapan panik Rangg,a memotong ucapan Shasa yang ingin berterima kasih pada Pian.

Dan benar saja, tiga orang laki-laki yang berumur sekitar sepuluh tahun, tengah berlari mengejar Rangga di belakang sana, karena bola mereka kempes setelah di tendang oleh Rangga.

Pian menjambak rambutnya kesal, anaknya membuat masalah di saat yang tidak tepat!

****

Celia terlihat kesal di tempat duduknya. Matanya melirik ke kanan dan kiri dalam rumah besar Mike dan Lila. Sudah hampir tiga jam ia duduk sendiri tanpa ada yang menemaninya dalam menunggu kepulangan Pian dengan anak, dan isterinya.

Lila hanya sebentar menemaninya tadi. Entah kenapa, rasa simpatinya terhadap Celia menguap entah kemana setelah Celia bersikap egois seperti ini. Tapi Lila belum menyerah. Ia akan mengancam suaminya apabila berani melanjutan pernikahan konyol yang akan terjadi empat belas hari lagi yang akan datang. Pura-pura sakit perut, Lila meninggalkan Celia sendirian di ruang keluarga rumahnya. Ia takut khilaf akan mencaci wanita yang sering sakit-sakitan itu.

Celia mencoba menghubungi nomor Pian tapi tetap tidak aktif, membuat Celia sakit hati karenanya. Tapi rasa suka, dan cintanya pada Pian tidak akan meluap dan pergi begitu saja karena hal sepele. Celia ingin bersama Pian walau hanya sebentar, apabila benar umurnya pendek nantinya karena penyakit sialan yang selalu menyapa tubuh ringkihnya ini.

Celia melihat jam yang ada di pergelangan tangannya, sudah jam 6 sore. Celia dengan kesal bangkit dari dudukannya, dia ingin segera pulang, dan mengadukan hal ini pada papa dan om mike-nya. Awas saja.

Celia ingin pamit pada Lila, tapi Lila masih tidur karena sakit perut kata pembantu. Membuat celia mengurungkan niatnya untuk pamit. Padahal itu hanya bualan Lila. Lila tidak jahat tapi celia'lah yang membuat ibu satu anak itu jahat dan kecewa.

Celia pulang dengan wajah memerah menahan amarah dan tangis. Rantang yang berisi masakannya di buang begitu saja oleh wanita itu di tempat sampah di halaman depan rumah.

Makanannya sudah basi, tidak mungkin Pian memakan makanan basi bukan?

"Aku mau kakak! Walau hanya sesaat!"Bisik wanita berwajah pucat itu penuh keyakinan bagai sumpah mati dalam hidupnya.

SUAMIKU KAKAKKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang