17

8.9K 530 3
                                    

TUJUH BELAS

Pian menahan nafasnya kuat, menanti cemas akan respon yang diberikan anaknya setelah penjelasan panjang yang berisi kebohongannya tentang kelakuan pengecutnya tadi pada anaknya, Rangga.

Rangga terlihat masih mencerna ucapannya dengan mulut yang menganga lebar. Dengan takut-takut, Pian melirik pelan kearah Shasa yang berdiri kaku di di samping kiri ranjang. Tatapan Shasa setajam silet, dan tangan wanita itu terlihat mengepal erat. Pian takut, sangat takut Shasa akan benar-benar meninggalkannya saat ini. Tapi, dia memiliki sesuatu yang besar yang akan membuat Shasa tetap bertahan dengannya. Cinta itu harus egois dan licik.

Plakkk

Satu tamparan yang lumayan keras menyapa mulutnya, membuat Pian reflek memandang penuh tanya kearah anaknya.

"Kenapa tampar mulut, Papa?"Tanya Pian dengan nada tercekatnya.

Oh astaga! Dia di aniya oleh anaknya, anak yang bahkan usianya masih delapan tahun. Ini tidak bisa di biarkan.

"Bohong. Papa bohong. Nggak ada orang yang rekam, Rangga lihat."lirih Rangga dengan mata yang kembali berkaca-kaca.

Rangga menenggelamkan kepalanya di dada bidang Pian. Membuat Pian yakin, Rangga sebenarnya percaya dengan penjelasannya tadi tapi dia butuh penjelasan lebih. Coba anaknya tidak ingin di sentuh olehnya, itu menandakan bahwa Rangga marah besar padanya. Tapi sekarang Rangga terlihat manja bahkan melingkarkan tangan kecilnya di lehernya.

Pian menghembuskan nafasnya panjang dengan tangan kanan yang membelai selembut bulu pada kepala anaknya, dengan sesekali menggambar acak pada kedua unyeng-unyeng anaknya. Pantas anaknya nakal, dan usil. Ternyata unyeng-nya ada dua.

"Kapan papa bohong sama, Rangga. Hmm?"Tanya Pian dengan nada lembutnya.

Pian mengutuk lidahnya dalam hati. Nyatanya sering kali ia membohongi anaknya dengan Shasa, dan menginkari janjinya.

Sontak ucapan Pian membuat Rangga bangkit dengan kasar dari telungkupnya diatas tubuh papanya, sedang Shasa mendengus keras, dan tersenyum penuh ejek kearah Pian.

"Papa banyak bohongnya, kenapa ngaku nggak pernah bohong! Papa tukang bohong, janji ke rumah nenek mingu depan. Minggu depan udah banyak terlewat. Papa bohong"Ucap Rangga menggebu sambil mengangkat pantatnya naik turun diatas perut Pian, membuat Pian sakit, dan ingin mengeluarkan kencing rasanya. Oh astaga...Rangga bukan bayi lagi, tapi anak itu sudah SD, berat badannya sudah lumayan.

"Iyah, jangan naik turun gitu lagi. Papa mau ngompol rasanya geli."Ucap Pian memelas tapi tak di hiraukan oleh anaknya.

"Papa harus di hukum. Bohong terus."Ucap Rangga sendu.

Tanpa melihat kearah Papanya lagi, Rangga beranjak dari atas perut papanya, dan mengulurkan tangannya pada mamanya yang sedari tadi hanya berdiri terpaku melihat aktifitas ia dan papanya. Shasa menyambut suka cita, dan membawa tubuh anaknya ke dalam gendongan hangatnya.

"Mama...sebenarnya Rangga anak siapa? Anak Papa atau anak Om Daniel?"Tanya Rangga dengan nada seriusnya, membuat Shasa terkejut sedang Pian terlonjak dari baringannya dengan mata yang melotot.

"Rangga mau jadi anak Om Daniel. Mau punya papa kaya Om Daniel."Ucap Rangga dengan nada penuh harapan.

Shasa masih tercekat dengan tubuh yang kaku. Sedang Pian, laki-laki itu merasa sesak, dan hatinya bagai di cabik-cabik di dalam sana.

Tadi isi hati anaknya'kan? Anaknya tidak menginginkannya sebagai papanya. Ya Tuhan! Apa salahnya? Sampai anaknya yang masih kecil tidak ingin ia menjadi papanya. Padahal semua materil, dan kasih sayang telah Pian berikan lebih.

"Sayang...kamu anak papa. Nggak ada dalam kamus kata-kata kamu barusan, sayang. Om Daniel bukan siapa-siapa kamu."Ucap Pian tegas.

Laki-laki itu merangkak menuju Shasa, dan anaknya di pinggir kasur lalu turun, dan mengambil alih Rangga dari isterinya.

"Papa beda sama Om Daniel. Om Daniel sayang Rangga. Sering main sama Rangga. Papa...sering tinggalin Rangga, dan mama."Ucap Rangga dengan nada tercekat diakhir kalimatnya.

Pian menelan ludahnya kasar mendengar isi hati anaknya barusan.

"Papa sayang sama Rangga. Rangga anak Papa, dan Mama."Ucap Pian tegas.

Pian berjalan menuju meja hias Shasa, dan berdiri menjulang di sana dengan Rangga yang berada dalam gendongannya.

"Panggil, Mamamu. Berdiri di samping Papa."bisik Pian lirih pada Rangga, dan mendapat anggukan cepat dari Rangga.

"Mama...berdiri di sini kata papa."tanpa menjawab ucapan anaknya, Shasa melangkah kaku menuju cermin hiasnya.

Shasa paham dengan apa yang ingin di tunjukkan oleh suaminya itu pada anaknya. Shasa melangkah cepat, Shasa tidak ingin pikiran anaknya rusak, dan menyimpan luka hati yang dalam. Shasa akan mendukung kebohongan Pian kali ini.

Shasa telah berdiri tepat di samping kiri Pian.

"Lihat lurus di cermin, sayang."bisik Pian lembut tepat di telinga kanan Rangga.

Rangga menatap lurus kearah cermin yang memantulkan wajahnya bahkan tubuhnya yang berada dalam gendongan papanya.

"Rambut ikal hitammu ini adalah rambut papa."Ucap Pian dengan senyuman hangatnya.

Rangga meneliti rambutnya, benar apa yang barusan di katakan oleh papanya, kepala kecil itu mengangguk.

"Tolong. Lihat manic, dan kedua bola matamu. Hidungmu, alismu, jidatmu, sayang. Semuanya itu adalah milik papa yang di jiplak, dan ikuti oleh wajahmu. Kamu anak papa dan mama."Bisik Pian lagi, kali ini dengan senyum lebarnya.

Pian senang, seluruh wajah bahkan kelakuan anaknya hampir mirip dengannya kecuali sifat usil, Pian angkat tangan. Itu bukan ia sama sekali.

Rangga terlihat menelusuri wajahnya intens di depan cermin, dengan memandang bergantian kearah wajah papanya. Lagi, apa yang di katakan papanya barusan benar.

"Dan bibir seksimu ini adalah bibir mamamu. Kamu anak papa dan mama."Jelas Pian dengan nada tegasnya.

Shasa memasang senyum semanis mungkin. Anaknya pasti menoleh kearahnya. Benar, saja. Rangga terlihat memandang intens kearah bibirnya.

Apa yang dikatakan oleh papanya benar lagi. Bibirnya kayak bibir mamanya. Kepala kecil itu mengangguk lagi.

"Apa yang dikatakan oleh papamu benar, sayang. Tadi hanya pura-pura, dan akting. Rangga, mama, dan papa di rumah juga di rekam sembunyi-sembunyi. Untuk kenang-kenangan, sayang. Untuk di lihat oleh Rangga ketika dewasa nanti. Kalau nggak percaya kita nonton sama-sama videonya nanti."Ucap Shasa panjang lebar dengan nada yang di yakinkam oleh wanita itu sebisa mungkin agar anaknya percaya.

Shasa tidak ingin anaknya terluka, dan sakit hati serta pikiran kecilnya terganggu. Shasa mendukung kebohongan suaminya dengan lihai kali ini.

Pian memandang kearah Shasa dengan mata yang berkaca-kaca. Mulut laki-laki itu terasa kaku. Hatinya sakit di dalam sana. Sakit karena perasaan menyesalnya.

Oh astaga... Shasa adalah wanita, dan isteri yang baik, sabar, dan besar hati. Seketika rasa menyesal menembus sampai keuluh hati terdalam Pian. Ia menyesal menyembunyikan wanita sebaik Shasa, dan anak selucu Rangga dari kedua orang tuanya, dan publik. Karena sifat pengecut, dan gengsinya.

Dengan lutut yang gemetar. Pian menjatuhkan tubuhnya pelan di lantai tepat di depan Shasa dengan Rangga yang masih berada dalam gendongannya, matanya memerah, dan terasa panas. Laki-laki itu menahan tangis menyesalnya sebisa mungkin. Shasa bingung apalagi Rangga. Tubuh papanya bagai di guncang gempa saat ini.

"Ampuni aku Shasa. Ampuni aku karena telah melukai batin, dan jiwamu selama ini. Aku berjanji, dan bersumpah akan membawamu, dan anak kita di hadapan kedua orang tuaku. Kedua orang tua kita besok. Maafkan aku karena telah merahasiakan keberadaanmu selama ini."Ucap Pian dengan nada penuh sesal, dan kepala laki-laki terlihat menunduk dalam, tidak ingin ada orang lain yang melihat aliran air mata sesalnya yang mengalir dengan deras.

Apakah ini belum terlambat?

SUAMIKU KAKAKKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang