SEMBILAN

10.4K 625 7
                                    

SEMBILAN

Pian memandang menghunus kearah Syasa, tapi Syasa tidak pernah, dan mau membalas tatapan tajam suaminya.

Syasa juga punya hati, dan perasaan. Masa baru kabar tentang kematian anaknya, suaminya itu baru akan merespon panggilannya.

Syasa mendengus keras, dan kembali fokus mengelus penuh sayang rambut hitam ikal Rangga yang wangi, dan masih sedikit basah karena habis keramas.

Ya, Rangga sudah pulang dari rumah sakit setelah ayahnya menjenguknya. Benar feeling Syasa, anaknya sakit karena Pian juga.

"Rangga ngak capek duduk sendiri? Mama pangku, sayang."Tanya Syasa lembut membuat pandangan Rangga yang terpusat pada Pian di depannya seketika menoleh kearah mamanya.

Rangga menggeleng pelan dengan senyuman manisnya. Bibir yang kering, dan pucat kemarin sudah kembali basah, dan sudah ada rona merah disana.

"Mama nggak boleh bantu, Papa."Ucap Rangga memelas.

Untuk menyenangkan hati anaknya, Syasa mengangguk mantap walau dalam hati kecil ia tidak yakin kalau Pian akan bisa memenuhi keinginan anaknya.

Sedang Pian memandang nyalang kearah segala macam tetek bengek alat masak di depannya. Laki-laki yang berusia 29 tahun itu menggaruk frustasi kepalanya yang tidak gatal sama sekali.

Pian ingin menolak keras permintaan anaknya, tapi ia tidak tega. Untung saja kabar buruk yang di kirim oleh isterinya kemarin hanya bohongan. Syasa harus mendapat hukuman untuk hal itu nanti.

Pian membalikan badannya dengan senyuman manis berharap agar anaknya luluh. Tapi sial! Rangga memandangnya dengan tatapan polos dan ada sepercik sinar jail dikedua bola mata anaknya.

"Papa beli mainan satu pick up untuk Rangga, hukuman ganti yang lain, sayang, yah."ucap Pian memelas.

Dan mendapat gelengan kuat, dan yakin dari Rangga. Rangga tidak seperti anak kecil lain, yang sudi mainan monoton kayak mobil-mobilan atau robot. Mengerjai papa itu lebih enak, dan menyenangkan. Pikir anak yang berusia delapan tahun itu. Kayak ada bunga yang mekar gitu lihat wajah frustasi sama kesal Papanya. Ih, Rangga suka mengusili papanya intinya.

"Mama... Itu Om Daniel cocok jadi papa Rangga yang baru. Banyak uang sedekah terus setiap hari."Celetuk Rangga dengan seringai khasnya.

"Nggak kayak, papa. Kikil kikir."celetuk Rangga lagi.

Pian gelapan, dan dalam tiga detik, laki-laki yang setahun lagi akan memasuki kepala tiga itu telah berdiri cantik disamping anaknya yang tengah duduk manis di kursi meja makan.

"Apa hubungannya sama Om Daniel, sayang. Jangan ngacoh, ih, anak Papa."Ucap Pian mncoba sabar padahal dalam hati ia merasa terbakar.

Sepertinya pindah rumah akan Pian lakukan sekali lagi.

"Kalau gitu Papa ngaca aja, biar tau papa bolos..bolos terus. Untung nggak bolong pantatnya"Jawab Rangga membalas telak ucapan Pian.

Pian menelan ludahnya kasar, sedang Syasa tertawa geli melihat raut wajah Pian yang sangat susah Syasa deskripsikan.

"Mama...Ikannya minta di goreng Om Daniel. Papa nggak sayang, Rangga."Pekik Rangga keras sembari menjambak gemas rambutnya sendiri.

"Kata siapa? Papa sayang bangat sama Rangga. Kamu jagoan papa satu-satunya."Pian memeluk anaknya yang tengah duduk manis di kursi.

Sumpah, wajah Rangga seketika memerah malu. Kedua pipinya di penuhi oleh semburat warna pink. Untuk menutupi wajah malu-malunya anak itu menenggelamkan wajahnya di dada bidang papanya. Papanya nggak tau, kalau Pian itu butuh sandaran dan pelukan.

Hati Syasa menghangat melihat pemandangan indah di depannya. Syasa tau, Rangga usil, dan nakal hanya ingin medapat perhatian lebih dari Pian, papanya yang super acuh.

"Papa goreng ikan..."rengek Rangga manja.

"Cepet, Papa, ih."Rengek Rangga kelewat manja.

Pian tersenyum dalam diam, dia suka anaknya manja seperti ini padanya. Nggak usil terus.

"Ya, papa akan goreng sekarang."Rangga semakin tersenyum lebar.

Ih, dia sebentar lagi akan menyakasikan papanya yang akan bertempur dengan minyak yang meletup.

Ya, ya, Rangga merengek agar Papanya mau menggoreng ikan tenggiri, dan cumi untuknya. Rangga tau betapa dasyatnya ikan tenggiri meletupkan minyak kalau di goreng. Rangga tau begaimana meletupnya minyak karena menggoreng cumi kecil dengan kepalanya lengkap. Rangga tau karena melihat mamanya yang memasak.

Biar bintik-bintil tangan papanya. Biar papanya sakit dan tidur lama dengan ia dan mamanya. Pikir Rangga licik.

"No, Pa. Nggak boleh pake masker apalagi kaca mata."Rangga menggelengkan kepala, dan jari telunjuknya di kala melihat papanya yang telah mengenakan masker, dan kacamata besar hitamnya.

Syasa banyak tersenyum pagi ini.

Kalau papanya pake masker, minyak tidak akan mengena kulit papanya, papanya nggak jadi sakit ringan, deh.

"Tapi, sayang. Nanti papa kena minyak."Syasa mencoba membujuk anaknya.

Rangga menggeleng sedih."Papa nggak sayang, Rangga."

"Minta Om Daniel goreng ikan sama jadi papa juga. "Ucap Ranggak cemberut sembari turun dari kursinya.

"OK! TANPA PELINDUNG!"Pekik Pian sebal.

Daniel! Daniel terus. Pian'kan terbakar hatinya.

Dengan kesal Pian menjatuhkan kasar beberapa cumi kecil ke dalam penggorengan, dengan minyak yang telah sangat panas.

DUMMMM

"Auhhhh Mama.!"Jerit Pian kaget di kala cumi yang ia masukan meletus, dan meletupkan minyaknya.

Dengan tangan yang lain menggosok bagian kulit, dan wajahnya yang terkena letupan minyak juga.

Sedang Rangga tertawa terpingkal melihat ekspresi shock papanya.

Enak kalau cita-cita jadi tukang usil, Papa. Biar mama ketawa terus.

SUAMIKU KAKAKKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang