DELAPAN

10.7K 642 9
                                    

DELAPAN

Pian berjalan mondar-mandir dengan wajah yang gelisah sedari sepuluh menit berlalu. Sudah satu minggu penuh ia tidak pernah mengunjungi anak dan isterinya di rumah mereka, bahkan belasan panggilan dari isterinya di tolak dengan kejam olehnya.

Pian bukannya sengaja atau ada hal penting yang harus ia urus sehingga ia sibuk, tidak! Dia nggak sanggup lihat wajah anaknya. Bagaimana tidak, minggu lalu awalnya dengan terbata ia mengatakan pada mamanya bahwa anaknya Rangga adalah anak panti asuhan, dan untuk lebih meyakinkan mamanya lagi, dengan tegas, dan lantang sekali lagi Pian mengatakan bahwa Rangga adalah anak panti yang di tinggal mati oleh kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan besar. Ia berupura-pura mengunjungi panti sepanjang hari pada kedua orang tuanya.

Percayahlah! Hati Pian perih, dan terasa sesak pada saat ia sendiri memberi label menyakitkan seperti itu pada anaknya Rangga. Entah apa yang akan ia dapatkan nanti untuk segala sikap pecundangnya selama ini.

Dirasa kakinya telah pegal, Pian menjatuhkan tubuhnya kasar, dan pasrah diatas sofa kantornya. Kakinya gatal ingin mengunjungi anak isterinya, tapi rasa bersalahnya itu lebih mendominasi dirinya.

"Maafkan, Papa. "Bisik laki-laki itu sendu sambil memandang foto anaknya yang tertampang begitu indah di layar ponsel mahalnya.

Pian berjengkit kaget di saat layar ponselnya menampilkan sebuah panggilan, dan itu adalah Syasa. Tanpa perhitungan lama, Pian dengan segera menolak panggilan itu seiring dengan kepalanya yang terkulai lemas diatas sandaran sofa.

Tidak tau, bahwa panggilan yang ia dapat sedari tadi, berisi informasi penting tentang keadaan anaknya.

****

Syasa memandang nyalang kearah layar ponselnya dengan sedih. Puluhan kali ia sudah mencoba menghubungi suaminya tapi hanya penolakan yang ia dapat.

Syasa rasanya ingin membanting ponsel itu untuk menyalurkan amarah sekaligus rasa sedihnya karena kelakuan suaminya.

"Kenapa seperti ini?"pekik Syasa tertahan.

Perempuan itu sudah sangat muak pada Pian. Anaknya saat ini tengah terbaring menyedihkan diatas brangkar rumah sakit. Bahkan anaknya Rangga hampir mati karena terkena DBD kalau saja ia telat membawa anaknya ke rumah sakit.

Dengan langkah lemas karena kurang tidur, dan energi. Syasa melangkah menuju ranjang pesakitan anaknya. Matanya dengan telisik melihat setiap gurat dan garis wajah Rangga yang terlihat pucat dan tirus.

Isakannya di tahan sebisa mungkin agar tidak pecah. Syasa yakin, anaknya sakit, dan lama sembuhnya karena rindu pada papanya mengingat anaknya yang selalu mengigau nama laki-laki itu yang sialnya adalah suami, dan merupakan ayah kandung anaknya.

"Papa.. Rangga mau Papa."

Syasa geram mendegar igauan anaknya, dengan kasar Syasa mengambil lagi ponselnya di kantong, dan mengetik pesan dengan huruf Capital mengatakan pada Pian bahwa anaknya telah mati saat ini. Biar laki-laki brengsek itu tau rasa. Tanpa ragu Syasa mengirim pesan laknat itu pada Pian. Ya, pesan laknat, dimana dia sama saja mendoakan anaknya mati.

"Hahaha...maafkan, mama, sayang."Syasa tertawa ironi dengan bisikan maaf yang wanita itu ucapkan dengan suara lirih, dan menyesalnya. Air mata tidak bisa bendungnya lagi.

Sedangkan Pian di seberang sana, berjengit dengan wajah yang seputih kapas melihat pesan yang dikirim bertubi oleh isterinya. Mulutnya mengaga lebar, dan dalam tiga detik, ponsel cadangannya meluruh dengan menyedihkan di lantai. Ya, ponsel yang ia gunakaan khusus untuk sarana komunikasinya dengan Syasa, sedang ponselnya yang tertinggal kemarin berisi orang kantor serta teman-temannya.

"Nggak mungkin! Rangga anak kuat. Benih aku unggul..hahah"Ucap Pian dengan tawa menyeramkannya.

Dengan kasar Pian mengambil kembali ponselnya yang tergelatak dilantai, dan menghubungi Syasa secepat mungkin. Sayangnya, panggilannya di tolak dengan kejam oleh Syasa di saat genting seperti ini.

Sial ! Satu sama!

SUAMIKU KAKAKKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang