14

8.5K 590 12
                                    

EMPAT BELAS

Daniel sesegara mungkin menyelsaikan panggilan alamnya. Bukan hanya buang air kecil tapi langsung buang air besar juga, laki-laki itu tiba-tiba merasa mules, dan perutnya bagai terlilit di dalam sana.

Shasa sempat menelpon untuk memastikan pesan yang wanita itu dapatkan dari Daniel. Daniel menjelaskan, dan meminta maaf karena membawa Rangga sebelum mendapat ijin darinya.

Dalam keadaan membuang hajat, terpaksa Daniel menerima panggilan dari Shasa tadi. Kini laki-laki itu telah selesai dengan urusannya, dan membersihkan dirinya secepat mungkin serta mencuci wajahnya di westafel agar keringat dingin karena perutnya yang terlilit tadi hilang.

"Semoga saja, Rangga nggak membangkang, turun dari tempat duduknya."Harap Daniel cemas. Daniel tidak ingin, dan nggak sanggup kalau sampai Rangga menghilang di kerumunan apalagi suasana kedai ice cream mentari siang ini begitu ramai oleh anak remaja dan orang dewasa.

Dengan langkah seribu, Daniel segera melangkah menuju tempat dimana ia meninggalkan Rangga tadi. Tapi, sial! Ada panggilan masuk dari ponselnya membuat Daniel menghentikan langkahnya dan merogoh ponsel yang berada di dalam saku celana coklat khusus untuk mengajarnya.

Daniel mereject panggilan itu, tidak penting. Yang penting sekarang adalah melihat Rangga sesegara mungkin.

Tapi sebelum Daniel melangkah, satu pesan masuk ke dalam ponselnya. Daniel membuka sebal pesan itu. Matanya membulat membaca deretan pesan yang mengguncangnya saat ini.

"Dindo sialan!"rutuknya sambil mengacak rambutnya kasar.

Daniel dengan cepat menelpon balik sang penelpon yang ia reject tadi. Belum saatnya!

****

"Masa Papa nggak kenal, Rangga. Ini Rangga papa."Rangga memekik tak terima melihat sang ayah yang tidak mengenalnya.

Kasak kusuk mulai menyapa pendengaran Pian membuat Pian semakin gugup, dan takut rahasianya akan terbongkar. Rata-rata orang yang berada dalam kedai ini sebagian orang mengenalnya dan yang orang-orang tau tentang dirinya, ia masih singel. Ini gawat, Pian malu, dan belum siap apabila mama, dan papanya terlebih tau tentang hal ini.

"Kamu salah orang, sayang. Misi, Om mau lewat. Maaf, ya, dek. Kamu salah orang."Ucap Pian mencoba melepaskan belitan tangan Rangga di pinggangnya. Tapi Rangga kekeh masih memeluk erat pinggang Pian.

Rangga mendongak dengan nafas tersengal, tidak percaya dengan apa yang di dengarnya barusan.

"Ini Rangga papa."bisik Rangga lirih kali ini dengan tatapan yang memandang dalam kearah Pian.

Segala spekulasi telah bersarang dalam otak anak yang berusia delapan tahun itu.

"Saya belum menikah apalagi punya anak."tegas Pian kali ini membuat belitan kuat tangan Ragga anaknya di pingganya melemah dengan raut wajah yang pias.

"Jalan duluan! Mau saya pecat."Ucap Pian tajam pada kariawan yang ia bawa yang berbakat khusus dalam membuat mebel.

"Jadi...jadi Rangga bukan anak papa."Ucap Rangga dengan nada terlukanya. Kepala anak itu menunduk dalam dengan tetesan-tetesan air mata yang perlahan mulai mengalir deras.

Jadi ini alasan kenapa papanya jarang pulang ke rumah dan main dengannya. Dia bukan anak papanya, simpul Rangga dalam hati.

Hati Pian bagai di tusuk-tusuk di dalam sana, melihat sinar terluka yang terpancar jelas dari kedua mata anaknya. Bahkan tetesan air matanya langsung terjatuh dengan mulus di lantai. Tapi, Pian tetap mengeraskan wajahnya, tidak menampilkan tatapan menyesal apalagi rasa bersalah.

Dengan gontai, Rangga berbalik, dan berjalan meninggalkan Pian dengan kepala yang menunduk. Anak kecil itu sangat jarang menangis, dan malu apabila air matanya di lihat orang. Tapi untuk kali ini, air mata tidak bisa di bendung oleh Rangga. Dadanya terasa sesak, dan sakit di dalam sana. Setelah beberapa meter menjauh dari Pian, anak kecil itu menjerit dan berlari keluar kedai. Membuat orang-orang yang melihatnya iba.

Pian ingin mengejar tapi,

"Pak, bapak sudah di tunggu sama pak Budi di dalam ruangannya."beritahu karyawan perempuan Pian takut-takut.

Dengan wajah datar, Pian memandang tajam pada karyawannya, dan berkata dengan nada dingin.

"Jalan duluan, ada yang tertinggal di mobil."

Dindo, sang asisten tidak ikut hadir dalam pertemuan dengan klien kali ini. Sehingga dengan alasan, ada yang tertinggal di mobil menjadi kesempatan emas untuk Pian dalam mengejar anaknya.

****

Hati Pian mencelus sakit melihat sang anak yang duduk meringkuk di bawah pohon rindang di depan kedai. Kepalanya di tenggelamkan di antara kedua lututnya dengan tubuh yang bergetar hebat.

Dengan langkah gontai, Pian melangkah lemas menuju tempat dimana anaknya berada. Pian berjanji, ia akan meminta maaf pada anaknya untuk hal yang tadi bahkan ia akan mencium telapak kaki anaknya melihat betapa terlukanya Rangga tadi. Ini semua gara-gara dirinya yang pengecut dan brengsek!

Hati Pian semakin ngilu mendengar isak tergugu anaknya.

"Sayang, Rangga... ini papa, sayang."Panggil Pian dengan nada berbisiknya.

Matanya melihat ke kiri dan kanan, sepi. Semua orang ada di dalam mengigat betapa teriknya matahari siang ini. Aman!

Rangga sepertinya tidak mendengar bisikan lirih papanya.

"Rangga, sayang."Panggil Pian sekali lagi.

Rangga mendongak, Pian menahan nafasnya kuat melihat wajah basah dan mata merah anaknya. Rangga semakin tergugu di tempat setelah ia melihat wajah Pian.

"Hiks."

"Jangan nangis. Maafin, Papa."Mohon Pian lirih.

Rangga meluruskan pandangannya ke depan sambil melerai air matanya yang masih betah mengalir dengan punggung tangan kecilnya lemas.

"PAPA!"Panggil Rangga tertahan.

Rangga bangkit dengan sempoyongan dari dudukannya.

Pian tersenyum lebar, dan membuka kedua tangannya lebar agar Rangga, anaknya tenggelam dalam pelukan hangatnya.

"PAPA...PAPA DANIEL!"Jerit Rangga keras.

Pian membeku di tempatnya, dengan tubuh yang kaku, Pian membalikkan badannya kasar. Hatinya mencelus melihat Rangga yang telah berada dalam gendongan lak-laki yang memiliki dada bidang sepertinya.

"Pulang, papa."bisik Rangga lirih dengan kepala yang bersandar lemas di ceruk leher Daniel.

Daniel memandang benci kearah Pian. Jadi, Rangga menangis karena lak-laki pengecut itu.

Pian terpaku, dan menelan ludahnya kasar melihat tubuh anaknya yang di bawah oleh Daniel.

Hatinya sakit mendengar Rangga yang memanggil papa pada laki-laki lain.

Sial.Rangga tidak boleh memanggil  papa pada pria lain!tidak boleh!

Tbc

Ebook suamiku kakakku ready di playbook. Bisa beli dan donload di sana yg mau baca cepat

SUAMIKU KAKAKKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang