Prolog

38.8K 2.2K 121
                                    

Maria dengan sabar menunggu antrian mbah Dukun yang tengah membacakan doa - doa pada sebotol air milik pasiennya. Terbilang setiap bulan dua kali, ia mengantarkan temannya untuk mengunjungi mbah D. Bukan tanpa sebab, temannya minta diantar ke tempat tersebut. Intinya semua orang memiliki masalah. Entah itu sakit keras yang tidak ada obatnya, di santet, di ganggu makhluk halus, ingin karirnya lancar, ingin kebal senjata, termasuk ingin mencari jodoh.

Mbah D sempat menatap sekilas ke arah Maria. Barangkali beliau merasa heran dengan gadis yang rajin datang berkunjung ke rumahnya namun tidak berniat untuk meminta bantuan. Padahal ditilik dari raut wajahnya, mbah D merasa ada sesuatu yang ingin disampaikan gadis itu. Sayangnya Maria tidak berniat untuk berkeluh kesah pada mbah D. Lha pasien beliau yang cantik dan tajir melintir saja banyak yang kesulitan mendapatkan jodoh. Bagaimana dengan Maria yang tidak tahu siapa ibunya dan ber ayah seorang penjahat kambuhan, coba?

Setelah menatap Maria, mbah D segera melayani teman yang datang bersama gadis tersebut. Maria merasa lega. Sudah hampir satu jam ia mendengarkan para pasien si mbah D berkeluh kesah. Dari curhatan mereka, ia merasa bersyukur. Ternyata di dunia ini yang hidupnya hampa merana tidak hanya dirinya. Lagipula Maria tidak mau Mbah D membuka aibnya di depan para pasien lain. Biarlah rahasia tentang siapa dirinya tersimpan rapi di dalam hatinya yang paling dalam. Berdamai dengan nasib adalah jawaban paling mumpuni untuk semua cobaan hidup yang harus ia lalui saat ini.

"Lho, mbah. Ingkang dugi mriki kulo rumiyin kok kulo malah dipun kereke, to," (Lho, mbah. Yang datang kesini saya duluan kok malah saya didahului) protes seorang ibu - ibu yang hendak mencarikan doa supaya anak gadisnya mendapatkan jodoh.

"Sabar, Bu. Aku tak ndisikke mbake iki. Soale mbake iki arep ana keperluan penting." (sabar, Bu. Aku mendahulukan mbaknya ini, karena mbaknya mau ada keperluan penting). Ucap mbah D sambil menatap Maria penuh empati.

Setelah mbah D selesai memberi doa pada sebotol air mineral milik kliennya, beliau menoleh ke arah Maria.

"Yo wes kono ndang mulih. Sing sabar yo, Nduk."
(Ya sudah sana buruan pulang. Yang sabar ya, Nduk) Ucap mbah D pada Maria.

Maria tidak paham dengan maksud ucapan si Mbah. Padahal ia bukan pasien. Seharusnya teman yang ia antarkanlah yang mendapat perlakuan istimewa bukan dirinya. Toh ia hanya datang untuk menemani saja.

Sampai di rumah, Maria dibuat heran ketika banyak sekali orang berada di rumahnya.

"Kamu dari mana saja," tanya bapak ketua RT pada Maria.

"Saya dari pergi diajak teman, Pak. Memangnya ada apa kok bapak - bapak berkumpul di rumah saya," tanya Maria dengan wajah bingung. Kalau semisal ada acara arisan RT, mengapa bapaknya yang sableng itu tidak memberitahukannya. Minimal kalau bapaknya memberitahu, Maria bisa prepare minum dan camilan.

"Sabar ya, Nak. Tadi ayahmu mengalami musibah. Beliau meninggal dunia."

Tbc

Cerita ini juga bisa dibaca gratis sampai tamat di aplikasi MangaToon.

Ketika Cinta Telah Bicara (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang