Tigapuluh Satu

13.1K 1.6K 274
                                    

Maria benar - benar belajar keras untuk nenyesuaikan diri dengan keluarga Yudha. Namanya juga bibit, bebet, dan bobotnya berbeda, pastilah berat bagi Maria untuk bersikap santun karena terbiasa serampangan. Jika sudah begitu, rasanya Maria ingin menyerah saja. Sungguh ironis jika para gadis di luar sana begitu berharap memiliki nasib seberuntung Cinderella. Realitanya ternyata tidak seperti itu.

Maria berbaring di samping Arka yang sedang terlelap. Ditatapnya si bocah yang wajahnya terlihat damai. "Duh... Enak banget sih menjadi kamu, Dek. Eh nggak juga ya, kamu kan sama seperti ibu, nggak pernah merasakan minum ASI." Maria terkekeh sambil mengusap pipi gembil Arka.

Baru hendak bersantai sejenak, Arina ikut merusuh di kamar adiknya. "Ibu, temani Arin bermain masak - masakan, yuk!" rengeknya manja. Sebelum Arin mengganggu adiknya, Maria segera bangun dan mengekor gadis cilik itu ke ruang tengah.

Maria menepuk keningnya ketika melihat mainan Arina sudah tersebar di lantai. Sepertinya pekerjaan Maria yang menyapu dan mengepel ruangan itu menjadi sia - sia. Rasanya ia justru menjadi babu ketimbang menjadi seorang istri. Harapannya menjadi wanita sosialita dengan gawai yang tidak lepas dari tangan untuk rumpi - rumpi syantek dengan teman, mendadak sirna.

"Selamat siang, ibu mau memesan apa?" Arina yang berlagak menjadi pramusaji membuyarkan lamunan Maria. Gadis kecil itu mengulurkan selembar kertas bergambar aneka makanan hasil kreasinya yang sangat amburadul.

Maria duduk di sofa kemudian menunjuk gambar. "Kalau ini nama menunya apa, Mbak?"

"Itu namanya nasi goreng, Bu!" Arina tampak menghayati perannya menjadi pramusaji.

Selintas ingatan Maria kembali ke masa lalu. Dulu ia juga ingin sekali ikut bermain 'pasaran' bersama teman - teman sebayanya. Apalagi mereka menggunakan satu set mainan yang tidak pernah Maria miliki. Namun setiap kali ia ingin bergabung, teman - temannya langsung membubarkan diri sambil mendekap erat mainan mereka masing - masing. Untuk sesaat rasa sakit hati itu kembali hadir. Statusnya sebagai anak seorang penjahat kambuhan membuat teman - temannya menyangka jika Maria juga akan mengikuti perilaku bapaknya.

"Jadi pesan menu apa, Bu?" teguran Arina membuyarkan kenangan Maria.

"Iya deh, saya pesan nasi goreng pedas satu. Minumnya jeruk anget satu!" wajah Arina tampak sumringah ketika ibu sambungnya tanggap saat diajak bermain.

"Ayay kapten. Sebentar lagi makanannya siap."
Kemudian gadis itu berlagak memasak di dapur dengan satu set mainannya. Maria hanya tersenyum melihat Arina tampak serius berpura - pura menjadi seorang juru masak.

"Sok kabeh!" ucap Arina sambil berlagak meniru juru masak yang sedang viral karena gaya memasak yang seperti orang mengamuk. Ya ampun lucunya! Maria sampai tertawa geli melihat tingkah anak sambungnya. Ia begitu menikmati bermain bersama Arina. Setidaknya rasa penasarannya di masa kecil dulu terobati oleh gadis kecil itu.

*******

Maria mandi dengan terburu - buru. Yudha belum pulang kerja dan ia khawatir Arka terbangun dari tidur kemudian menangis saat tidak ada orang lain di sampingnya. Arina tadi pamit sebentar untuk bermain sepeda bersama anaknya tetangga berkeliling kompleks. Saat mengambil baju gantinya dari gantungan, pakaiannya justru terjatuh dan basah. Terpaksa ia keluar dari kamar mandi hanya berbalut handuk.

Maria terkejut saat mendapati Yudha sudah pulang dan sedang menggendong Arka. Untuk beberapa saat lamanya Maria merasakan kecanggungan tercyduk hanya berbalut handuk di depan lelaki yang nyata - nyata sudah menjadi suaminya.

Yudha bersiul saat melihat pemandangan menggiurkan di hadapannya. Kemudian dari bibirnya terdengar senandung lagu milik Jamrud 'Antara aku, kau, dan ibumu' yang membuat Maria semakin salah tingkah.

"Jangan nangis terus, beri waktu seminggu. Akan kucari, kupilih pengganti ibumu.... Tapi harus janji, setelah dapat ibu. Kau minum susu dari botol plastik, karena punya ibu hanya untuk aku." Yudha menyanyi sambil melempar tatapan mesum ke arah Maria. Arka yang berada di dalam gendongan papanya nampak tertawa - tawa sambil memainkan kaki mungilnya.

"Keluar dulu, sana!" Maria mengusir si bapak dan duplikatnya yang unyu - unyu.

Yudha berjalan keluar kamar sambil menggerutu. "Dek, kalau Papa tadi belum pulang. Pasti yang beruntung melihat ibu mengumbar dada dan paha itu kamu, ya?"

*********

"Biar aku yang menina bobokan anak - anak!" Yudha menahan Maria yang hendak membawa si kecil Arka ke kamar tidurnya.

"Tapi itu kan tugasku." Maria berdalih. Padahal ini adalah akal - akalannya untuk menghindari acara malam pertama yang lama tertunda.

Yudha mencebik. "Kan aku sudah pernah bilang. Kalau siang adalah tugasmu menyayangi anak - anak. Sedangkan malamnya giliranku menyayangi kamu. Lagian kamu nggak sayang botol susunya dibiarin nganggur!" ucap Yudha tanpa basa - basi.

"Ish..." Maria berpura - pura marah untuk menutupi rasa salah tingkahnya. Ini benar - benar gawat saudara - saudara.

"Kamu siap - siap dulu sana. Jangan lupa berdandan yang cantik dan seksi ya!" bisik Yudha dengan nada mesra sebelum keluar kamar sambil menggiring anak - anaknya keluar dari kamar tidur utama.

Bukannya bersiap untuk menyenangkan suami, Maria justru bergelung di ranjang sambil berpura - pura tertidur.

Yudha yang baru saja masuk ke kamar menjadi gemas dengan tingkah Maria. Kenapa sifat menyebalkan gadis itu belum juga berubah sih.

Dengan sabar Yudha ikut berbaring di samping Maria. Mungkin dengan berbicara dari hati ke hati, mereka bisa mengurai benang kusut yang pernah terjadi.

"Bukankah dulu yang mengejar - ngejar aku itu kamu, ya?" ucap Yudha sambil merengkuh tubuh Maria ke dalam dekapannya.

Maria mencoba bertahan, namun saat tangan besar milik Yudha menyusup di balik baby doll nya, Maria mulai tidak tahan karena merasa kegelian.

"Aduh! Kok malah nyikut, Sih." Yudha mengelus perutnya yang menjadi korban kebrutalan Maria.

"Habis kamu rese!"

Yudha hanya tersenyum saat mendengar alasan tak berdasar yang di ucapkan Maria. Dimana - mana suami kalau mau menyenangkan istri ya begitu kaleee.

"Berarti bener kan, kamu belum bisa memaafkan aku." Yudha berpura - pura sedih. Mau marah juga bukan haknya. Ia sendiri yang lebih dulu membuat hati Maria terluka. Anggap saja ia sedang uji kesabaran merasakan apa yang dulu pernah di rasakan oleh Maria.

Dituduh seperti itu membuat Maria membalikkan badannya dan menatap wajah Yudha.

"Enggak!"

"Tapi sikapmu itu menunjukkan hal yang sebaliknya."

"Ish..." Maria kembali memunggungi Yudha. Mana bisa ia bilang merasa tidak pede berindehoy dengan pria itu.

"Kamu nggak penasaran tuh melihat yang dulu secara sembunyi - sembunyi ingin kamu lihat." Yudha mencoba mengingatkan dosa Maria.

Selintas ingatan masa kecil kembali bergulir memenuhi otak Maria. Ia terkikik pelan saat menyadari keusilannya kala itu.

"Nah kan?" Yudha merasa yakin kali ini ia akan menang menghadapi Maria.

Maria kembali membalik badan untuk menatap suaminya. "Pending dulu deh, kasihan Arka kalau buru - buru diberi adik!" Maria menowel hidung mancung Yudha.

Yudha hanya bisa cengo.

Tbc

Ketika Cinta Telah Bicara (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang