Happy reading
.
.
.
.
.
.
."Terus, lelaki yang bernama Yudha itu benar cinta pertama kamu?"
Pertanyaan yang diucapkan Mario membuat Maria tergugu. Jujur saja, ia belum siap untuk menceritakan kisah cintanya yang begitu ngenes. Perasaan rendah diri karena latar belakang hidupnya menyebabkan asa dan cintanya pupus kemudian layu sebelum berkembang.
"Ish... Abang ngawur!" Maria mencoba ngeles sambil membuang pandang ke luar jendela. Setiap nama teman sejak kecilnya itu disebut, hati Maria menjadi sangat kacau. Ujung - ujungnya ia akan kembali menyalahkan takdir. Padahal ia membutuhkan waktu belasan tahun lamanya untuk berdamai dengan nasib.
Mario melihat reaksi adiknya sekilas. Meskipun ia merasa kepo, sebaiknya ia jangan mengusik Maria yang memiliki hati serapuh kaca. Boro - boro membahas tentang Yudha. Setiap kali mengajak adiknya untuk menjenguk makam ibunya saja, Maria masih suka menolak dengan alasan masih belum siap. Adiknya sudah berjuang dengan caranya sendiri untuk menyembuhkan setiap luka yang menggores hatinya. Jadi yang bisa Mario lakukan sekarang adalah memberinya waktu. Biar Maria dengan sadar diri memintanya untuk menjenguk makam sang ibu, termasuk menceritakan tentang siapa lelaki yang bernama Yudha.
Sampai di rumah kontrakan. Maria sengaja menyibukkan diri. Gegara nama Yudha disebut - sebut, ia jadi merasa kembali ada jarak yang membentang dengan si abang. Maklum, mereka baru saja kenal. Wajar jika Maria masih belum bisa terbuka menceritakan segala kisah dan keluh kesahnya pada Mario. Apalagi jika itu tentang Yudha. Selama ini ia hanya membahas tentang Safira dan orang tua si admin SPBU itu karena sebuah misi. Safira adalah orang yang paling tahu dan selalu ia andalkan di kala hidupnya susah. Jadi boleh kan jika ia berharap Safira menjadi saudaranya?
Mario pun sadar diri dengan sikap yang ditunjukkan oleh adiknya. Yang penting ia tidak melihat Maria kembali menangis seperti ketika mengungkapkan kebenaran jika mereka harus berpisah karena suatu sebab. Baginya, melihat dan mendengar tangisan Maria itu lebih menyakitkan daripada sakit perut karena lapar ketika ia dan ibunya harus menjalani kehidupan yang sangat sulit di masa lalu.
*******
"Kamu berangkat kerjanya kuantar sekalian ya?" tawar Mario yang pagi itu harus otewe ke luar kota tempat tugasnya yang baru.
"Nggak usah, Bang. Kalau aku diantar, terus pulangnya gimana?" tolak Maria. Soalnya SPBU tempatnya bekerja juga tidak satu arah dengan jalan menuju kota tempat Mario bertugas.
"Naik ojol dong, Dek!" Mario mengacak rambut adiknya dengan gemas.
"Bilang aja, Abang ingin bertemu Safira." goda Maria sambil tertawa. Melihat senyum dan tawa sang adik, hati Mario terasa sangat lega. Kebahagiaannya saat ini adalah melihat sang adik bahagia.
Sampai di SPBU tempatnya bekerja, Maria segera ngacir ke gudang peralatan. Mario menatap adiknya dengan sendu. Seandainya saja ia bisa mencarikan tempat kerja baru dengan posisi yang lebih baik untuk adiknya tersebut, pasti ia tidak perlu se khawatir ini.
Sosok si mandor bongkaran yang melintas di depan mobil yang ia parkir membuat Mario menghentikan mesin. Ternyata itu adalah lelaki yang telah menyakiti hati Safira.
Saat sedang menimbang sebuah keputusan, Mario melihat Safira datang mengendarai motor maticnya. Senyum Mario mengembang saat melihat Safira melangkah memasuki kantor dengan rambut tergerai yang berkibar tertiup angin.
Spontan Mario menyenandungkan lagu milik payung teduh sambil melangkah keluar dari mobilnya. "Hanya sedikit bintang malam ini. Mungkin karena kau sedang cantik - cantiknya...."
Dengan langkah lebar, Mario berusaha menyusul Safira yang akan masuk ke dalam kantor.
"Selamat pagi, Fira!" sapaan seseorang membuat. Safira menoleh dan urung membuka pintu kaca di depannya.
"Eh.. Selamat pagi Pa--, emh... Mas!" balas Safira dengan wajah tersipu malu.
Untuk sesaat Mario dibuat terpana dengan kecantikan Safira. Naluri lelakinya berteriak menyuarakan ketidak relaannya. Bagaimana bisa wanita secantik ini diabaikan oleh si mandor bongkaran?
Untuk beberapa detik keduanya di dera rasa canggung. Mario lebih dulu tersadar ketika ujung matanya menangkap sosok si mandor bongkaran. Tanpa bisa ditahan lagi Mario memajukan tubuhnya dan mendaratkan sebuah kecupan singkat di bibir Safira.
"Ini mood booster ku untuk seminggu ke depan. See you Sweety." ucap Mario sebelum melangkah kembali menuju mobilnya, meninggalkan Safira yang mematung di depan pintu.
*******
"Mar, ini gimana!" Safira menepuk bahu Maria yang sedang mengepel lantai kantor.
"Imar au, costenita soy..." latah Maria. "Ish... Kamu kenapa, sih?"
Safira sambil menutup bibirnya pun berbisik. "Barusan abang kamu nge kiss aku." curhatnya sambil mengaduh manja.
"Ya bagus kan. Supaya kamu cepat move on dari si buluk." jawab Maria, kemudian kembali fokus dengan pekerjaannya.
"Masalahnya---" Safira kini berjalan mondar - mandir sambil mengacak - acak rambutnya.
"Saf, kamu tega banget sih sama aku. Ini lantai barusan capek - capek aku pel loh!" Maria mencoba menenangkan Safira yang heboh efek dicium oleh abangnya. Ternyata gercep juga ya Mario?
"Itu artinya abangku serius sama kamu." cengir Maria sambil tertawa geli dengan kelakuan abangnya. Ya ampun...
"Masalahnya sewaktu abangmu mencium aku. Rico melihatnya."
"Ewh...."
*******
Maria keluar dari ruang kantor dengan nafas lega. Akhirnya ia terbebas dari curhatan Safira yang seharian ini heboh dengan perlakuan abangnya. Ia jadi sadar jika Safira itu sebenarnya mudah move on. Coba seandainya dari kemarin ada lelaki yang memberi perhatian lebih pada Safira, pasti sahabatnya tidak perlu terapi ke rumah mbah D.
Yudha yang juga sedang dalam perjalanan pulang dan kebetulan melihat Maria sedang menunggu ojol segera menghentikan mobilnya.
Melihat mobil yang berhenti di depannya, Maria pun tertegun. Apalagi sosok yang tidak ingin ia temui tiba - tiba membukakan pintu untuknya.
"Kamu mau pulang kan? Kuantar yuk!"
Bukannya mengiyakan tawaran itu, Maria justru tolah - toleh mencari angkutan kota yang lewat.
Seolah memahami keraguan Maria, Yudha berusaha meyakinkan gadis itu. "Tenang, aku hanya ingin mengantar. Anggap saja untuk membalas bantuanmu menjaga Arina kemarin." ucap Yudha dengan nada ramah.
Salah satu cara menjadi bahagia adalah berdamai dengan masa lalu. Jadi tidak ada salahnya kan jika kali ini ia menerima kebaikan Yudha.
"Yang penting jangan baper, Mar!" Maria memperingatkan dirinya sendiri sebelum masuk ke dalam mobil.
"Thanks!" ucap Maria sambil memasang sabuk pengaman.
"Yups." jawab Yudha sambil tersenyum. Tak berapa lama, ia kembali menoleh ke arah Maria. "Oh ya, kamu kuantar ke rumah yang aku datangi itu kan?"
Pertanyaan Yudha hanya dijawab Maria dengan sebuah anggukan.
"Ngomong - ngomong, lelaki yang bersamamu itu siapa, Mar?"
Tbc
Ecieh... Yudha kepo.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Cinta Telah Bicara (End)
DiversosSilakan dibaca tapi jangan ATM ya. Lima belas tahun yang lalu, Maria adalah sosok yang ceria tidak peduli bagaimana asal - usulnya. Namun semenjak dirinya menyatakan cinta pada Yudha dan ditolak, ia jadi memahami mengapa Bibit, Bebet, dan Bobot men...