Safira mengendarai motornya sambil menahan rasa nyeri akibat lengan kirinya menggesek aspal.
"Adakah yang sakit?" Maria mengingatkan Safira. Bahkan ia bersedia untuk menggantikan sahabatnya untuk ambil alih kemudi motor.
"Enggak usah. Kalau kamu yang di depan, kita kapan nyampenya?" Maria hanya tertawa terkekeh dengan sindiran Safira. Maklum kemampuan Maria mengemudi motor itu sangat parah. Kalau ngebut membuat sport jantung. Kalau hati - hati, ia akan membawa motor dengan kecepatan tidak lebih dari seorang pengendara sepeda kayuh. Safira pernah komplain dengan cara Maria menarik gas yang hanya 15km/jam itu.
"Mar, si bocah tadi mati enggak ya?" tanya Safira penuh rasa khawatir. Seumur hidupnya, baru kali ini ia melindas orang. Anak abege pula.
"Ya mana ku tahu. Kita tadi juga nggak sempat melihat karena sudah di usir teman - temannya." jawab Maria sambil bergidik membayangkan seandainya urusan mereka semakin panjang dan truk yang melaju di belakang mereka tidak berhenti. Haiya....
"Kamu sih, Saf. Punya niat untuk mencelakai Rico segala. Bukannya si buluk itu yang celaka, kita duluan yang kena karma."
*******
Semenjak keduanya mengalami kecelakaan, baik Safira dan Maria tidak pernah lagi membahas mengenai Rico dan si Sundel. Safira juga tidak lagi menyambangi mini market untuk membeli camilan. Sebagai gantinya, Maria bersedia direpotkan untuk menjadi kurirnya Safira.
Maria membayar belanjaannya sambil melirik Rico dengan sebal. Si pengurus bongkaran sekarang lebih suka berkantor di minimarket daripada duduk di ruangannya sendiri yang nyaman. Si Sundel benar - benar luar binasa, karena berhasil memelet Rico untuk menjadi jongosnya. The power of sodaranya Bos geto loh...
Setelah mendapatkan camilan yang di pesan oleh Safira, Maria segera kembali ke ruangan temannya. Jangankan Safira? Maria juga merasa empet melihat dua pasang manusia yang saling mengumbar pesona dengan ilmu guna - guna itu. Ah coba ada daun kelor. Maria ingin sekali memukulkan benda itu ke tubuh si pelakor supaya susuknya lepas.
Ketika berjalan menuju ruang kantor, Maria mulai berpikir. Seandainya ada seseorang yang bisa membuat Safira move on, pasti semuanya akan berakhir dengan happy ending. Tapi kira - kira, siapakah pangeran tampan berkuda putih yang akan menolong Safira untuk bangkit dari keterpurukkan?
Selintas ingatan tentang Mario tiba - tiba melintas di otak Maria. "Seandainya saja..."
Langkah Maria terhenti ketika seseorang menghadangnya. "Yudha?"
"Jadi kamu benar kerja di sini?" tanya pria itu dengan tatapan prihatin.
Tentu saja Yudha merasa peduli, karena Maria harus bekerja lebih berat di banding teman - temannya.
"Ya, namanya juga anak mantan penjahat. Syukur - syukur deh aku dapat pekerjaan halal." jawab Maria sarkas.
Yudha merasa tersentil. Ia menyesal pernah melontarkan kata - kata itu. Karena Maria menjadikan ucapannya dulu untuk melakukan serangan balik terhadapnya. Benar - benar senjata makan tuan.
"Kamu kerja sama aku aja, yuk!" ucap Yudha dengan suara lembut. Ia masih berharap Maria sudi memaafkan dan menjadi baby sitter untuk anak - anaknya. Jika Maria berkenan, Yudha juga ingin Maria menjadi big baby sitter untuknya. Hitung - hitung sebagai bentuk permintaan maaf karena dulu ia pernah menorehkan luka di hati gadis itu.
Maria menatap pria itu lekat. Hatinya berdebar saat mendapati Yudha tengah menatapnya dengan lembut tidak seculas dulu. Binar mata pria itu berhasil menarik Maria dalam euforia yang dulu sempat padam. Maria buru - buru membuang pandangannya.
"Ingat, Mar. Jangan sampai bertahun - tahun move on. Tapi kembali takluk dalam sekejap mata!" Maria mengingatkan dirinya sendiri.
"Sorry! Bung. Aku nggak ada minat kerja sama kamu."
Setelah mengucapkan kata - kata bernada sengak itu. Maria bergegas masuk ke ruangan Safira, meninggalkan Yudha begitu saja dengan sejuta penyesalannya.
"Sebegitu benci banget sih kamu sama aku?"
Yudha menatap punggung Maria dengan nanar. Sepertinya ia harus berjuang keras untuk mendapatkan maaf dari gadis itu.*******
Sampai di dalam kantor, Maria menjatuhkan tubuhnya di kursi dengan loyo. Setiap berhadapan dengan Yudha, emosinya menjadi tidak stabil. Ujung - ujungnya ia jadi lemas karena membuang energi percuma.
"Arrrggghh...!!" Maria mengacak rambutnya dengan kesal.
"Kamu juga kesal kan melihat si Sundel?" tanya Safira sambil membuka bungkus snack yang dibeli oleh Maria.
"Iya. Double kesel karena sewaktu kembali dari mini market aku bertemu Yudha."
Safira batal memasukkan snack ke dalam mulutnya. "Yudha datang ke sini?"
"Hu'um" jawab Maria sambil menatap sahabatnya. Kemudian ketika teringat dengan niatnya tadi, Maria pun bertanya pada Safira.
"Jadwal audit pasti pas nya kapan ya, Saf?"
"Kok kamu nanyain jadwal audit? Takut bertemu pak Mario seperti kamu nggak sengaja bertemu Yudha hari ini ya?"
Maria tidak menjawab. Ia hanya tersenyum. Mana mungkin ia mengatakan pada Safira jika kali ini ia sangat menantikan kedatangan pria itu.
******
Setelah menunggu selama beberapa minggu, akhirnya jadwal audit pasti pas tiba juga. Maria sudah berusaha rajin membersihkan toilet dan seluruh ruangan sejak seminggu yang lalu. Bahkan ia yang mewakili Safira untuk debat kusir dengan Rico, jika lelaki itu lupa mencatat bongkaran yang berpengaruh pada jumlah looses.
"Apaan lo, cuma cleaning service aja sok ngatur!" umpat Rico. Maria ingin melayangkan bogemnya di wajah si Rico. Biar saja tampang buluknya jadi semakin hancur, dengan begitu mata dan hati Safira terbuka, sehingga segera move on dari Rico.
"Kalau pekerjaan lo beres, kan pacar baru lo bisa memuji - muji kinerja lo di depan sodaranya, Tolol!"
Ucapan Maria hanya di jawab dengan tatapan tajam si Rico. Maria balik menantang Rico. Biarpun pria itu menggunakan jimat siung macan asli papua yang katanya bisa membuat takluk orang - orang di sekitarnya, tapi Maria tidak terpengaruh. Maklum, ia sudah tahu jika sejatinya tanpa jimat - jimat tersebut, Rico bukanlah apa - apa.
Melihat lawannya tidak terpengaruh, Rico berdecih kemudian berlalu sambil mengumpat kasar.
Benar saja, pukul sepuluh siang seseorang yang ditunggu oleh Maria datang juga. Dari kejauhan, ia menatap sosok yang mengaku kakaknya itu sedang mengecek Terra.
Ada rasa sedih dan haru menyusup di hati Maria. "Ya Tuhanku, benarkah laki - laki itu adalah kakakku?"
Maria mondar - mandir dengan gelisah di toilet. Siapkah ia untuk menerima kenyataan ini? Jika memang benar ia adalah adalah adiknya Mario, apakah ia ikhlas memaafkan wanita yang telah menelantarkannya?
"Ayo, Mar. Demi sahabatmu temuilah Mario!"
******
Maria masuk ke ruangan Safira sambil membawakan air mineral untuk pak Mario. Pria itu hanya melirik sekilas dan sibuk mengisi lembaran yang harus ia isi untuk melengkapi laporannya.
Melihat respon pria itu yang terlihat tak peduli, Maria menjadi kecil hati. Ya mana mungkin sekali Mario adalah kakaknya.
Maria membalikkan badan untuk meninggalkan Mario dan Safira. Sepertinya niat untuk mencomblangkan kedua orang itu terlalu berat. Ketika hendak melangkah pergi, Mario pun menegurnya.
"Tunggu saya mencatat laporan ya. Setelah ini, saya mau bicara!" ucapnya dengan nada tegas.
Maria membalikkan badan untuk menatap Mario. "Siap! Pak." jawabnya sambil tersenyum.
Tbc
Hayo loh.... Mario dan Maria pada punya rencana apa ini? Hahahaha...

KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Cinta Telah Bicara (End)
RastgeleSilakan dibaca tapi jangan ATM ya. Lima belas tahun yang lalu, Maria adalah sosok yang ceria tidak peduli bagaimana asal - usulnya. Namun semenjak dirinya menyatakan cinta pada Yudha dan ditolak, ia jadi memahami mengapa Bibit, Bebet, dan Bobot men...