Mata Maria mengerjap saat ia mendengar ucapan Yudha barusan. Pria itu menyatakan perasaan padanya? Hei... Ini tidak salah, kan? Untuk beberapa lama Maria terbengong - bengong sambil menatap wajah pria yang masih selalu menjadi pusat perhatiannya.
Maria mendadak dibuat tak berdaya hingga ia lupa untuk menepis kedua tangan Yudha yang masih setia menangkup kedua pipinya.
Sikap pasrah yang ditunjukkan oleh Maria membuat Yudha gemas dan ingin kembali mencium bibir gadis itu. Jika sekedar pernyataan cinta saja tidak berhasil mendapatkan kembali hati Maria. Maka dibutuhkan sebuah tindakan yang sudah berabad - abad lamanya menjadi jurus ampuh para pria dalam mendapatkan hati wanita idaman mereka.
Namun ketika Yudha memajukan wajah, Maria segera tersadar dari suasana romantis tersebut. Tangannya terulur untuk menjepit hidung mancung milik pria tampan itu serta mendorongnya. "Tidak semudah itu, Fulgoso!"
"Ish... Kok nyubit hidung, Sih?" Tubuh Yudha beringsut menjauh sambil memegang hidungnya yang terasa sakit setelah dijepit dengan keras oleh Maria. Dan Yudha teringat jika nama yang disebutkan oleh gadis itu barusan adalah nama seekor binatang. Jadi Maria menganggapnya anjing? Sialan! Giliran Yudha yang dibuat kesal mendapati reaksi Maria yang tidak ada manis - manisnya sama sekali. Perbuatan romantis yang sengaja ia tunjukkan gagal total!
Merasa terbebas dari belenggu Yudha, Maria dengan terburu - buru segera melepaskan sabuk pengaman kemudian keluar dari mobil. Berlama - lama di dalam mobil bersama pria itu bisa membuatnya gila.
"Hei, Mar! Kamu mau kemana?" teriak Yudha dari dalam mobil saat ia mendapati Maria kabur setelah dengan sengaja membuat dirinya lengah. Sayangnya Maria tidak peduli dan lebih memilih segera menyetop dan naik ke dalam angkutan umum yang baru saja melintas di depannya.
"Kampret!" Yudha memukul setir mobilnya. Kenapa ia seperti sedang syuting sinetron FTV saja? Kok ya bisa - bisanya terjadi suatu kebetulan seperti sudah di skenario. Mendadak ada angkutan umum yang melintas. "Ck...!"
Yudha menyalakan mesin mobil dan berusaha untuk mengikuti Maria menuju kontrakan. Urusannya dengan Maria masih belum selesai. Namun sebelum ia menekan pedal gas, ponselnya berdering.
Sebuah video call dari Arina. Lagi - lagi ada gangguan. Yudha segera menjawab panggilan putrinya.
"Assalamualaikum, Papa kapan pulang?" tanya Arina dengan wajah yang terlihat panik dan hampir menangis.
"Waalaikumsalam. Iya Sayang ini Papa masih di ja---. "
"Papa cepetan pulang! Tadi nenek terpeleset."
Ucapan Arina membuat Yudha yang akan menceramahi putrinya untuk tidak menelpon sang Papa saat yang bersangkutan sedang menyetir, jadi ikut merasa panik. "Bagaimana keadaan nenek?"
"Nenek pingsan, Papa." kini Arina tidak mampu menahan tangisnya.
"Oke! Papa akan segera pulang sekarang. Kakak bantu Papa menenangkan dede' dulu ya!" Yudha mencoba menenangkan puterinya. Pasti gadis kecilnya sangat bingung menghadapi kejadian tak terduga sendirian.
"Iya Papa." jawab Arina sambil masih terisak kemudian mematikan sambungan video callnya. Dengan segera, Yudha melajukan mobilnya pulang ke rumah.
******
Maria tiba di rumah dengan tubuh loyo. Ia pun menjatuhkan tubuhnya di karpet kemudian berbaring dengan sebelah tangan menutupi kedua matanya. Rasanya malas sekali melakukan ritual rutin yang biasa ia lakukan sepulang dari bekerja.
Kejadian hari ini terasa membingungkan. Entah ia harus merasa senang ataukah marah dengan pernyataan cinta seorang Yudha. Setelah lima belas tahun yang lalu pria itu berhasil memporak - porandakan hati dan perasaan seorang Maria, sekarang tiba - tiba mengatakan cinta?
"Yang benar saja? Memangnya membolak - balik hati itu semudah membalik gorengan?" racau Maria untuk membuat perasaan kacaunya mereda.
Sayang bukannya membaik, ia kini justru semakin dilanda dilema. Maria kembali menangis sesenggukan. "Dulu saat aku selalu berusaha menarik perhatianmu saja, kamu tidak pernah menganggapku ada. Enak sekali ngomongnya!"
Kenangan tentang Yudha tiba - tiba bermunculan kembali dan menari - nari di benaknya. Maria semakin tersedu. Menjadi seseorang yang sengaja diabaikan itu rasanya sangat menyakitkan.
Sementara itu di lain kota, Mario mendadak merasa gelisah. Harus berpisah dan meninggalkan Maria membuatnya tidak konsen menghadapi berkas laporan yang harus ia kerjakan.
Mario segera meraih ponselnya untuk melakukan video call. Sebentar kemudian panggilannya tersambung. Dari layar ponsel, ia dapat menyaksikan tampang Maria yang awut - awutan. Terlihat jelas jejak air mata yang mengalir di pipi tirusnya. Adiknya tersayang adik yang malang.
"Kamu kenapa?" tanpa mengucap salam, Mario segera menginterogasi sang adik. Tuh kan baru saja ia merasa tidak tenang karena harus meninggalkan Maria kembali harus hidup sendirian, ternyata kekhawatirannya terbukti.
"Aku nggak apa - apa, Bang!" jawab Maria sambil mengusap wajahnya. Mario menghela nafas. Adiknya masih saja menganggapnya orang lain. Mengapa sih, Maria tidak mau jujur dan lebih terbuka pada kakaknya.
"Kalau ada yang mengganjal diomongin aja, Dek!" pancing Mario. Untuk beberapa saat Ia bersabar menunggu sang adik menumpahkan uneg - unegnya.
Mario dapat melihat kepala Maria menggeleng sambil berusaha mengurai senyuman. Maksud hati Maria ingin membuat abangnya tidak khawatir, namun yang dirasakan Mario justru sebaliknya.
"Melihatmu seperti itu, Abang kok jadi khawatir meninggalkan kamu sendirian di kontrakkan. Kamu benar nggak apa - apa kan, Dek?"
Ucapan dan nada suara Mario yang lembut dan penuh perhatian itu membuat Maria kembali terisak. Tolong biarkan Maria menikmati perhatian seseorang setelah belasan tahun lamanya ia selalu diabaikan. Tolong biarkan Maria menangis setelah belasan tahun lamanya ia berpura - pura menjadi seorang gadis tegar.
Hati Mario terasa tercubit. Ternyata hati adiknya serapuh itu. "Dek, kamu resign dari SPBU dan ikut Abang saja ya?"
Maria tergugu dengan tawaran sang kakak. Jika harus resign dari tempat kerja dan ikut kakaknya bertugas di kota lain adalah solusi terbaik untuk menghindari Yudha, mengapa tidak?
"Lalu bagaimana dengan Safira?" Ingatan tentang Sahabatnya ikut muncul. Bagaimanapun juga Maria dan Safira memiliki sibling goals yang erat meskipun keduanya bukan saudara.
Mario tersenyum. "Makanya Abang mau mengajak kamu ke sini itu untuk mengurus rencana melamar Safira. Kamu tahu kan kalau hanya kamu lah saudara yang Abang miliki. Abang juga sibuk. Siapa lagi yang bisa Abang repotkan kalau bukan kamu."
Rencana sang kakak membuat kesedihan yang menguasai hati Maria perlahan mulai sirna. Seulas senyum terukir di bibirnya. Akhirnya impian menjadikan Safira saudara menjadi nyata.
"Ayay, Captain!"
Tbc
Maaf kalau ceritanya agak kacau. Efek direport oleh penggemar rahasia membuatku goyah. Hahahaha.... Pen hiatus nanggung. Semoga aku masih ada semangat untuk menamatkan cerita ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Cinta Telah Bicara (End)
De TodoSilakan dibaca tapi jangan ATM ya. Lima belas tahun yang lalu, Maria adalah sosok yang ceria tidak peduli bagaimana asal - usulnya. Namun semenjak dirinya menyatakan cinta pada Yudha dan ditolak, ia jadi memahami mengapa Bibit, Bebet, dan Bobot men...