Satu

23.4K 2.5K 198
                                    

Maria menatap jenazah ayahnya yang terbujur kaku di ruang tamu. Menurut polisi yang ikut menangani kasusnya, ayahnya ketahuan mencopet dan menjadi bulan - bulanan massa. Itu terlihat dari wajah si mayit yang tampak lebam.

Hati Maria merasa sesak. Ia tahu jika sepanjang hidup, ayahnya selalu berbuat tidak baik. Sejak masih muda, ayahnya gemar mencuri, mencopet, berjudi, mabuk, bahkan bermain di tempat pelacuran. Maria adalah anak yang terlahir dari rahim salah satu penjaja apem yang digauli oleh ayahnya. Ia tahu karena setiap kali mabuk dan kalah berjudi, ayahnya selalu melampiaskan kekesalannya padanya dengan menyebut Maria sebagai anak lonte.

Walaupun Maria merasa benci dengan sebutan itu, dan ucapan sang ayah menggoreskan luka di hatinya. Tapi ia selalu memaafkan dan mendoakan si ayah akan segera bertaubat serta meninggal dalam keadaan husnul khotimah. Sayangnya doa Maria ternyata sia - sia, karena di penghujung hidupnya pun, ayahnya tetap berpredikat sebagai seorang penjahat.

"Dik, Mar. Apakah jenazah bapaknya bisa kita makamkan sekarang," bisik istri pak Erte yang diminta untuk berbicara pada gadis yang tengah galau menatap jenazah ayahnya.

Maria hanya mengangguk pasrah. Karena kebetulan tidak ada lagi kerabat yang ia tunggui kedatangannya. Mau menunggu ibunya pun, Maria tidak mengenal siapa wanita yang pernah mengandung dan melahirkannya. Di hatinya sudah mengikhlaskan wanita yang disebut ibu itu untuk memilih jalannya sendiri asalkan bahagia. Jika sang ibu tinggal bersamanya, mungkin Maria justru akan semakin nelangsa melihat wanita tersebut tersiksa dengan tabiat Anto Codet nama panggung ayahnya yang rajin wara - wiri di dunia hitam. Cukup Maria saja yang menanggung beban itu, meskipun ibunya seorang lonte tapi ia tetaplah seorang ibu yang kebahagiaannya menjadi prioritas anak - anaknya.

"Iya, Bu Erte. Sebaiknya acaranya dipercepat saja." Maria mengangguk setuju. Ia tidak mau lebih lama lagi merepotkan warga, mengingat siapa bapaknya. Ada yang membantunya mengurus jenazah sekaligus pemakaman saja sudah membuat hati Maria luar biasa lega.

"Terima kasih, Pak. Terima kasih, Bu. Mohon maafkan segala kesalahan Bapak saya semasa hidup. Semoga keikhlasan Anda semua melapangkan kubur Bapak saya." Hanya itu yang bisa Maria ucapkan ketika menyalami pelayat yang datang ke rumahnya.

*******

Pagi itu Yudha tiba di rumah orang tuanya untuk mengantarkan Arina dan Arka kedua buah hatinya untuk ia titipkan pada sang ibu. Ia merasa heran ketika melihat rumah Maria terpasang bendera hitam tanda ada orang yang meninggal dunia.

"Siapa yang meninggal dunia, Bu," kepo Yudha sambil menyerahkan si bungsu ke dalam gendongan sang ibu. Semenjak istrinya meninggal, Yudha lebih mempercayakan anaknya untuk di asuh oleh neneknya. Maraknya pemberitaan tentang kurang bertanggungjawabnya jasa pengasuh, membuat Yudha tidak bisa mempercayakan bayinya pada orang lain yang tidak ia kenal.

"Tuh, bapaknya Maria," jawab sang ibu sambil menerima tubuh munggil Arka ke dalam gendongannya.

"Pak Anto? Kapan meninggalnya, Bu."

"Tadi malam saat kamu barusan pulang dari sini. Oh ya Arina sudah makan belum, yuk makan dulu sama Nenek." Bu Siti sengaja mengalihkan pembicaraan supaya tidak lagi membahas tentang pak Anto Codet. Pamali kan membicarakan orang yang sudah meninggal. Apalagi orang tersebut lebih sering berbuat keburukan daripada berbuat kebaikan.

Selesai sarapan, Yudha bergegas berangkat ke tempat kerja. Sebelum pergi ia tidak lupa memberi wejangan pada gadis kecilnya agar menjadi anak yang patuh pada sang nenek. Yudha membelai puncak kepala Arina dan teringat pada sosok gadis kecil tetangga sebelahnya yang kini sudah tidak berayah dan beribu.

"Papa pergi dulu ya, Sayang." Yudha berpamitan sambil memeluk dan mencium pipi putri kecilnya.

"Iya, Papa."

"Kakak jangan mengganggu adik ya, jangan merepotkan Nenek."

"Ashiyap...." jawab gadis kecil itu sambil memberi hormat kepada ayahnya. Setelah berbalas ucapan salam, Yudha pun berlalu.

Saat hendak masuk ke dalam mobil, ia melihat keributan di rumah Maria. Terlihat jelas jika gadis itu sedang ditarik paksa oleh dua orang pria bertubuh kekar.

Yudha menghela nafas berat. Sejak aksi ditembak oleh Maria sepuluh tahun yang lalu, ia sudah berjanji untuk tidak lagi berurusan dengan gadis itu. Namun ketika melihat Maria yang tampak kepayahan menyelamatkan diri, jiwa lelakinya langsung tersentil.

******

"Aku tidak mau pergi." Maria masih bersikeras untuk tinggal di rumahnya.

"Kamu tidak bisa tinggal lagi disini karena ayahmu sudah menggadaikan sertifikat rumah ini untuk jaminan hutangnya."

"Tapi jika kalian mengusirku, lalu aku harus tinggal dimana," jerit Maria tidak terima. Sungguh terlalu sekali para centeng itu. Seharusnya ia memberi waktu Maria untuk mempersiapkan kepindahan. Masa baru semalam ditinggal mati bapaknya, paginya ia sudah di usir dari rumahnya sendiri.

"Itu bukan urusan kami, yang jelas karena bapakmu sudah mati tanpa melunasi hutang - hutangnya pada bos kami. Maka kamu harus segera pergi dari tempat ini."

Tubuh Maria jatuh di tanah karena di dorong oleh dua orang sekaligus, kemudian dua orang tersebut mengeluarkan barang - barang dari dalam rumah Anto Codet. Maria hanya melihatnya dengan tatapan nanar barang - barang peninggalan almarhumah neneknya itu dilempar keluar oleh para bajingan yang bekerja pada rentenir tempat bapaknya berhutang.

Maria masih belum beranjak dari duduknya ketika sebuah tangan kekar membantunya untuk berdiri. Bau harum maskulin yang menguar dari tubuh sang penolong membuatnya menoleh. Maria terkejut ketika melihat siapa yang sudah menolongnya.

Dia lelaki yang selama sepuluh tahun ini tidak ingin lagi ia temui. Alasannya karena Maria merasa malu sudah menembak lelaki itu dan ditolak.

Seseorang yang menjadi alasannya untuk tetap bersemangat menghadapi kerasnya hidup, tapi juga seseorang yang membuatnya tersadar dari realita. Yudha adalah lelaki yang memiliki segala kriteria dambaan semua wanita, sedangkan Maria itu 'nothing'. Bukan siapa - siapa dan tidak memiliki kebanggaan apapun.

"Kamu tidak terluka, kan? Maaf aku sudah mendengar apa yang seharusnya tidak boleh kudengar," ucap Yudha sambil membantu Maria untuk berdiri.

Maria hanya mendengus sambil berusaha untuk tidak menangis. Mengapa Yudha berada di waktu yang salah, sih? Padahal sejak dulu Maria selalu menunjukkan sosok kuat di depan pria itu. Termasuk saat Maria ditolak olehnya, gadis itu masih bisa tertawa - tawa meskipun setelah masuk ke kamar ia menangis dan menyalahkan takdir.

Dongeng Cinderela itu sebuah pembodohan. Tidak ada yang namanya gadis miskin dinikahi oleh pangeran tampan. Termasuk anak seorang pelacur dan penjahat kambuhan mendapatkan laki - laki terhormat.

"Aku tidak apa - apa." Setelah lama terdiam, Maria akhirnya menjawab pertanyaan Yudha.

"Lalu setelah ini kamu akan tinggal dimana," tanya Yudha. Ada nada khawatir yang terselip dari pertanyaannya."

Maria mengangkat bahu. "Kemana saja dunia yang berkenan menerimaku," jawabnya tak acuh. Maria sudah kebal dengan yang namanya penolakan. Sejak lahir pun sang ibu sudah menolak kehadirannya, termasuk Yudha.

"Jadilah baby sitter untuk anakku, aku akan menanggung semua kebutuhanmu." Sebuah ide melintas di benak pria itu.

Maria membelalakkan bola matanya. "Hey, kamu nggak takut mempercayakan anakmu padaku. Nanti kalau anak mu rewel kemudian aku bunuh, gimana."

Jawaban yang di ucapkan wanita itu membuat Yudha tersadar, kesalahannya di masa lalu telah membuat Maria tidak lagi sama seperti yang dulu.

Tbc

Ketika Cinta Telah Bicara (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang