Duapuluh Dua

12.1K 1.8K 313
                                    

Spesial chapter ini aku menerima challenge dari pembaca. Jika 1000 votes terpenuhi dalam satu hari maka aku akan memberi double update. Yeay..  Hayuk jangan lupa tekan tombol bintang setelah selesai membaca. Happy reading.
.
.
.
.
.
.

Arina berlari - lari kecil menuju halaman samping rumah neneknya. Dengan penuh rasa ingin tahu, ia pun mengintip dari sela - sela jeruji pagar besi yang membatasi rumah sang nenek dengan rumah tetangga.

Onty yang tempo hari menungguinya naik scopy mini bilang, rumahnya bersebelahan dengan rumah nenek, apakah benar? Makanya ia sangat penasaran.

"Arin, kamu ngapain?" tegur sang nenek. Wajah beliau tampak lelah. Ternyata tubuh rentanya sudah tidak kuat lagi menjaga seorang gadis kecil yang hiperaktif serta satu bayi yang susah tidur dan mintanya selalu digendong.

Mendengar teguran sang nenek, Arina pun menoleh. "Nenek, rumahnya onty Maria yang ini atau yang itu?" tanya Arina sambil menggerak - gerakkan jari tengahnya untuk menunjukkan rumah yang ia maksud.

Bu Asri tersenyum di kulum melihat kebiasaan cucunya yang suka menunjuk sesuatu dengan jari tengah. "Rin, kalau menunjuk itu pakai jari yang ini loh!" Bu Asri memberikan contoh untuk meralat cara menunjuk yang benar. Bisa berabe kalau kebiasaan itu dilakukan hingga si bocah beranjak gedhe. Naluri keibuannya menjadi khawatir dengan cucunya yang harus bertumbuh kembang tanpa pengawasan sang ibu. Kemudian keningnya berkerut saat menyadari jika cucunya tadi menyebut nama Maria. Kenapa Arina bisa mengenal si gadis yang malang tetangganya?

Arina menatap tangan yang jari tengahnya masih teracung. Apa yang salah sih? Bukankah jari tengah itu lebih panjang dari jari yang lain. Bagi Arina, rasanya lebih mantap jiwa menunjuk sesuatu dengan jari yang paling panjang.

"Arin kenal onty Maria di mana?" selidik bu Asri.

"Di stadion, Nek. Arin kemarin nggak sengaja menabrak onty Maria."

Jawaban Arina diangguki oleh bu Asri. Syukurlah jika keadaan gadis itu ternyata baik - baik saja. Semenjak Maria pergi dan menghilang setelah terusir dari rumahnya, bu Asri memang sempat kepikiran. Kenangan masa lampau ketika Maria masih kecil begitu membekas dalam ingatannya.

Saat itu ia mendapati Yudha pulang bermain dengan badan penuh lumpur. Ia yang seorang ibu muda dan kelelahan setelah mengurus rumah pun langsung memarahi puteranya. Kemudian tak berapa lama ia mendengar jika nenek tetangga sebelah juga sedang memarahi cucu perempuannya. Selagi Yudha mandi, nenek tetangga sebelah datang untuk meminta maaf. Mata lelah nenek itu membuat hati Asri trenyuh.

Asri merasa kasihan pada wanita tua itu. Di usianya yang tidak lagi muda, beliau harus menjaga cucunya yang sering ditinggal bapak si anak keluar masuk penjara.

Bu Asri juga masih ingat dengan pesan terakhir nenek tetangga sebelah. Sebelum meninggal, beliau sempat menitipkan Maria kecil untuk 'diawasi'. Tentu saja alasannya karena gadis kecil itu sudah tidak beribu dan membutuhkan bimbingan dari orang dewasa agar menjadi pribadi yang baik. Sayangnya latar belakang keluarganya telah terlanjur memberi stempel buruk pada Maria. Sehingga bu Asri pun menjalankan amanah dengan setengah hati.

Ucapan Arina menyadarkan bu Asri dari lamunannya. "Kata papa, onty Maria itu temannya." oceh gadis kecil itu sambil menuju ke teras menghampiri sang nenek.

"Itu benar." jawab bu Asri sambil mengajak cucunya duduk di teras.

"Berarti kalau temannya papa, bisa jadi temannya Arina juga dong, Nek."

Bu Asri menatap mata bening Arina. Beliau seperti melihat bayangan sosok Maria yang muncul saat gadis kecil itu datang untuk mencari Yudha karena membutuhkan teman bermain. Ketika mengingat hal tersebut hati bu Asri menjadi sesak. Mengapa cucu perempuannya juga harus mengalami takdir yang sama? Tidak memiliki ibu di usia yang masih sangat muda.

Ketika Cinta Telah Bicara (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang