Empat

17.7K 2.1K 243
                                        

Maria makan sambil menatap Mario dan Safira. Ia baru saja diberi tahu jika pria tamvan yang sedang makan bersama dengannya itu adalah seorang auditor. Artinya selain kece tampang serta jabatan. Dompet pria itu juga gemuk ginuk - ginuk. Berbanding terbalik dengan Rico yang dompernya kering kerontang akibat gemar berjudi dan memiliki banyak hutang di kantor. Seketika otak Maria jadi memiliki rencana untuk mendekatkan Safira dengan Mario. Karena selama ini Rico mendekati sahabatnya dengan niat busuk agar mudah melakukan kasbon.

Kan lumayan tuh. Kalau Safira menjadi nyonya kaya, ia juga bisa ikut bahagia. Yang jelas Safira harus segera mendapatkan pengganti si Rico yang buluk dan brengsek itu.

Berbeda dengan isi otak Maria. Mario justru diam - diam mengamati perilaku Maria. Gadis itu bagaikan fotocopyan almarhumah ibunya. Seandainya Mario tidak bisa menahan diri, ingin rasanya ia memeluk Maria untuk melepaskan kerinduannya pada sosok sang ibu yang telah berpulang setahun yang lalu.

Safira menatap Maria dan Mario sambil tersenyum - senyum. Baru kali ini ia mendapati pak Mario merasa penasaran dengan seorang perempuan. Kalau perempuan itu adalah Maria, betapa beruntungnya sahabatnya itu. Setidaknya Maria bisa tampil jemawa dihadapan Yudha, karena mendapatkan pria yang tak kalah stunning dengan lelaki yang pernah menolak Maria dulu.

"Mar!" Safira menepuk punggung Maria.

"Imar. Au..costenita soy." Teguran Safira membuat Maria spontan menyanyikan sountrack telenovela jadul yang selalu ia tonton bersama neneknya saat masih kecil dulu. Acara sejuta umat yang selalu dinantikan seluruh ibu - ibu di Indonesia. Drama latin itu berkisah tentang si gadis malang yang diasuh oleh kakek dan neneknya semenjak masih kecil. Maria kecil yang merasa senasib dengan si tokoh Marimar pun mengidolakan tokoh dalam cerita itu. Makanya ia selalu menyanyukan lagu tersebut dan terbawa hingga kini.

Safira merasa tidak enak saat tanpa sengaja membuka rahasia tentang latahnya Maria di hadapan Mario yang sempat bengong kemudian tertawa terbahak ketika menyadari tingkah Maria yang lucu. Padahal ia hanya bermaksud mengingatkan sahabatnya untuk segera membereskan piring dan sendok yang baru saja mereka gunakan untuk makan.

Maria segera membawa piranti makan yang kotor tersebut dengan perasaan malu. Kebiasaannya sejak masih kecil belum juga hilang. Sedangkan sambil masih tertawa, Mario pun bertanya pada Safira.

"Latahnya lucu."

"Itu karena Maria ngefans dengan Marimar, Pak."

"Marimar itu siapa?"

"Itu tokoh telenovela jadul jaman kami masih TK dulu. Sewaktu saya bertanya pada Maria, dia menyukai Marimar karena nasibnya sama. Yaitu sudah tidak memiliki ibu dan diasuh oleh neneknya."

Penjelasan yang dikemukakan oleh Safira membuat tawa Mario terhenti seketika.

"Jadi Maria sejak kecil sudah tidak mempunyai ibu?"

*****

"Saf, pak Mario sudah pergi kan? Aku mau ngomong nih." Maria buru - buru menghampiri Safira yang tengah beberes kantor.

"Kamu mau nanyain pak Mario ya?" tanya Safira sambil memasukkan sepuluh bundel uang dua ribuan yang baru saja ia sortir agar mempermudah setoran di bank, ke dalam brankas.

"Bukan! Tapi aku minta ijin menempati kamar di kantor untuk numpang tidur."

"Kamu nggak pulang? Berantem lagi ya sama pak Toco?" tanya Safira dengan wajah prihatin.

Maria menggelengkan kepalanya, kemudian ia memamerkan tas koper lusuhnya yang tampak gemuk berisi muatan.

"Aku diusir dari rumah, Saf." Maria tertunduk malu. Ia selalu saja merepotkan sahabatnya. Sudah dibantu mendapatkan pekerjaan, sekarang minta di ijinkan menumpang di salah satu ruangan kantor tempat mereka bekerja.

"Berantem ya berantem lah! Tapi pak Toco jangan mengusir anaknya gitu dong!"

Wajah Maria tampak sendu. Ia merasa bingung bagaimana caranya menjelaskan pada Safira. Bagaimana bisa curhat? Safira saja sedang muyeng dengan polah tingkah Rico serta hasil audit Pasti Pas barusan.

Maria menghela nafas kemudian menghembuskan nafasnya. "Saf, sebenarnya aku...."

Penjelasan singkat yang diutarakan Maria membuat Safira menatap Sahabatnya dengan tatapan tak percaya. "Kenapa kamu tidak memberi tahu aku dari semalam?" Safira memprotes sahabatnya sekaligus merasa bersalah. Seandainya ia tidak mengajak Maria mengunjungi mbah D, pasti tidak akan ada kejadiannya seperti sekarang.

"Sebenarnya aku baru akan mengabarimu tadi pagi. Tapi karena aku diusir oleh para centeng itu, ya aku pikir ngapain aku memberitahu kalian. Kamu datang melayat pun, aku sudah tidak memiliki tempat untuk menyambut kedatanganmu dan teman - teman." Maria mengemukakan alasannya. "Tenang Saf. Setelah aku mendapatkan gajiku untuk menyewa kost. Aku akan pergi dari tempat ini," janji Maria.

******

Maria bisa bernafas lega saat Safira mengijinkan dirinya menggunakan salah satu kamar di kantor untuk tidur. Sayangnya karena kamar itu jarang ditempati, Maria harus membersihkannya terlebih dahulu.

Karena malas mengambil peralatan kebersihan yang tersimpan di gudang bawah, Maria asal menyambar handuk lusuh yang tersampir di jemuran kecil dekat kamar mandi.

Tanpa mengecek kembali handuk lusuh tersebut, Maria pun memakainya untuk mengepel lantai ruangan. Setelah ruangan itu bersih, ia pun membilas handuk pel tersebut dan menggantungkan kembali di sampiran jemuran.

Malamnya setelah selesai mandi dan menggosok gigi, Maria segera masuk ke ruangannya dan memanjatkan doa. Seandainya ia tidak terburu - buru diusir dari rumah, mungkin ia bisa mengadakan tahlilan sederhana untuk mendoakan bapaknya. Karena tidak ada tempat untuk mengundang jamaah tahlil, ia pun terpaksa membaca doa sendirian. "Maaf, Pak. Anakmu belum mampu mengadakan tahlil untukmu. Aku hanya bisa berdoa untuk bapak. Semoga Tuhan berkenan mengampuni dan menempatkanmu di tempat terbaik. Amin." Maria mengakhiri doa tahlilnya dengan sebuah harapan.

******

Pagi hari nya ketika sedang membersihkan kantor. Maria merasa terkejut mendapati Rico keluar dari kamar yang terletak persis disebelah kamar yang semalam ia tempati.

Maria jadi teringat ucapan Safira jika si buluk memang jarang pulang ke rumah dan lebih suka menginap di kantor. Alasannya berjaga - jaga jika malamnya ada truk tangki yang datang untuk melakukan bongkaran.

Pria itu masuk ke kamar mandi. Maria sengaja meleletkan lidahnya untuk mengejek Rico. Kelakuan bangsat pria itu yang sudah menyakiti hati Safira, membuatnya antipati.

Bunyi siulan terdengar bersamaan dengan pintu yang terbuka. Maria melihat Rico tengah mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk lusuh yang semalam dikira Maria sebagai kain pel.

Tawa Maria pun membahana. "Hahahahaha...."

Tbc

Eeeeehhh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Eeeeehhh... Ada penampakan. 🤭
Itu notebook ya, Cyn. Yang membuat istimewa adalah covernya bisa dipesan sesuai keinginan kita. Cocok untuk pelajar, mahasiswa/mahasiswi dan pekerja kantoran. Bagi yang ingin tampil beda bisa memesannya di nomer yang tertera di atas. Selamat Belanja!

Ketika Cinta Telah Bicara (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang