43.Konyol

26 4 6
                                    

"Kamu tuh kaya Irsyad ya. Kalo sore-sore suka duduk di sini!" ucapnya. Senyuman tersungging di bibir saat mendengar kalau Kak Rayan pun suka duduk di sini, pantesan terasa betah. "Irsyad tuh, suka duduk di sini sambil membaca al-quran pemberianku, dia selalu membawanya kemana-mana, aku seneng deh, dengan begitu dia menerima pemberian juga perasaanku." Senyumku seketika hilang mendengar ucapan Teh Naina, maksudnya apa? Kok tiba-tiba hatiku jadi perih ya?

"Perasaan?" tanyaku pelan.

Dia mengangguk, senyumanya tak juga hilang malah kian merekah, matanya menerawang menatap pucuk pohon mangga yang mulai menjingga.

"Ya, dulu saat kelulusan sekolah aku memberikannya, karena aku tahu kalau Irsyad suka sama aku, aku tahu Irsyad gak bakal berani mgungkapin, soalnya dia punya prinsip sendiri, makanya aku berikan dia al-quran supaya dia tahu kalau aku juga suka sama dia."

Apa yang kutakutkan ternyata memang nyata adanya, dia terus berbicara, menceritakan kenangan demi kenangannya dengan Kak Rayan, sedangkan aku masih membisu dan menahan air mata yang kian menembus pertahanan yang kubuat. Sakit? Jangan di tanya lagi, siapa sih yang kuat kalau orang yang benar-benar kita harapkan di sukai gadis lain. Apa lagi saat tau, quran kecil yang selalu dibawa Kak Rayan adalah pemberin teh Naina.

"Teh, Aku kekamar dulu ya, mau cas Hp," ucapku, dia mengangguk. Aku mencoba tersenyum meski terasa getir. Tidak, aku tak boleh nangis di sini, apa kata dia nanti.
Aku berjalan menuju kamar, mencoba tersenyum pada Abah dan Ibu yang tengah asik mengobrol.

"Mau kemana sayang?" tanya Ibu.

"Mau cas HP, Bu." jawabku parau, lalu membuka pintu kamar.

Air mata pun luruh, sekuat apapun aku bersikap tegar, tetaplah hati yang sudah tergores ini merasakan perih yang amat sangat. Baru saja pria kaku itu mengucapkan cinta, kenapa harus ada wanita lain yang menyukainya juga. Aku tak rela ada yang lain di antara kami, apalagi Teh Naina, dia terlalu sempurna untuk jadi sainganku.

Tak terasa adzan magrib berkumandang. Kuhapus airmata yang sejak tadi mengalir deras, mungkin saat ini mataku sudah membengkak, tapi aku harus tetap mengbil wudhu ke kamar mandi. Andai ini kamarku, aku tak perlu harus keluar untuk sekedar mandi dan mengambil wudhu.

Akhirnya mau tak mau aku pun keluar dari kamar, untung saja Abah dan Ibu sudah tidak ada, mungkin Abah sudah pergi ke mesjid, dan Ibu sedang shalat di kamarnya.

Secepat kilat aku berlari ke kamar mandi, membasahi muka beberapa kali, lalu berwudhu, mungkin kalau wajahku basah, mereka tak 'kan tau kalau tadi aku menangis.

Aku bersujud menghadap pada-Nya, mengadukan apa yang terjadi, dan meminta segala yang terbaik bagiku.

Suara ketukan pintu terdengar dari luar, Ibu tak kunjung membukanya, terpaksa aku yang membuka pintu.
Setelah membuka pintu, Bunda sudah berdiri di depan pintu, cepat kupeluk dia, saat ini aku sangat membutuhkan pelukan Bunda.

"Lishya kangen Bunda," rengekku. Bunda tersenyum sambil mengelus kepalaku.

"Bunda aja? Sama gue enggak?" Rizky menyembul dari balik tubuh Bunda, aku tersenyum padanya sambil menjulurkan lidah.

Ibu keluar dari kamarnya, masih lengkap dengan mukenanya, dia tersenyum sambil merangkul Bunda lalu bercipika-cipiki.
Aku mengajak Rizky masuk kedalam kamar, tapi Ibu melarang, katanya Abah bakal gak suka, kami pun duduk di kursi teras.

Rizky menatapku lekat, sepertinya dia melihat kesedihan di wajahku. Tatapan tajam dari Rizky membuatku tak karuan.

"Ky, tadi Teh Naina bilang __"

"Bilang apa? Lo masih cemburu sama dia Syha?" tanya Rizky menyela. Aku menggeleng, lalu menceritakan semua yang dibicarakan gadis itu. Rizky menanggapinya dengan seulas senyuman, dia meraih tanganku lalu menggenggamnya.

Belahan Jiwa AlishyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang