Part 42. Ana uhibuka fillah

26 4 4
                                    

Angin sejuk menerbangkan sebagian anak rambut, hamparan air danau yang tenang membuat jiwa ini merasakan kedamaian. Kutatap orang di samping, cahaya senja membuat sebagian wajahnya menguning. saat matanya menatapku, senyuman tersungging sempurna di bibirnya.

"Kenapa lo liatin gue, Princess?" tanyanya, aku menggeleng, lalu memailngkan pandangan, mencoba mengelak dari keindahan yang tuhan perlihatkan. Netranya menyipit, kernyitan di keningnya membuatku terkikik kecil.

"Gak, Ky. udah mo magrib, pulang yok, nanti Ayah dan Bunda cemas," ajakku mengalihkan kebingungannya, Rizky mengangguk lalu beranjak dari duduknya, sejenak dia mengeliat mungkin badannya pegal karena tadi menggendongku. Dia menarik tanganku, menggenggamnya dengan erat, lalu mengangkat kedua alisnya. "Ayok!" ajaknya.

Aku berjalan bergandengan dengannya, sepanjang jalan mengukir tawa karena candanya, warga sekitar terlihat cemburu dengan kedekatan kami, mungkin mereka menyangka kalau kami adalah sepasang kekasih, sama seperti orang-orang yang belum mengenal dekat kami.

"Alishya, Rizky kalian dari mana?" tanya seseorang yang berhasil menghancurkan mood-ku tadi. Aku mencoba tersenyum ramah padanya, meredam kesal karena cemburu.

"Habis dari danau, Teh," jawab Rizky diikuti senyumku.

Teh Naina tersenyum sambil meng-oh-kan. Dia memang cantik, wajahnya lembut, tinggi, juga berambut panjang. Kalau melihatnya, jujur rasa cemburu tak dapat di elakan lagi, pasti selama Kak Rayan tinggal di sini dia selalu melihatnya, masa iya sih si kaku gak jatuh cinta? Aku saja yang seorang wanita sangat mengagumi kecantikannya, apalagi lelaki sepertinya.

Rizky kembali menuntunku, aku pun menyeret kaki meninggalkan ukiran cantik bak bidadari itu, dia masih menujukan pandangannya ke arah kami seraya tersenyum.

___

Guyuran air yang kusiramkan di atas bunga-bunga membuat semua kuncup juga daunnya basah total, senyuman terukir saat melihat pot bunga anggrek tergantung di tiang-tiang. Tak sangka Ibu pun penyuka bunga itu.

Ibu menyajikan pisang goreng juga teh manis hangat di meja teras, senyuman terukir saat ia menghampiri, ada raut kebahagiaan saat ia merangkul juga mengelus lembut pucuk kepalaku. Abah pun duduk menghadap hidangan yang Ibu sajikan tadi, pria sepuh itu
memperhatikan kami, ia tersenyum saat aku tersenyum padanya. Sungguh hanya wajahnya saja yang terlihat garang, hatinya lembut, gampang tersentuh namun tetap tegas dan bijaksana.

"Berasa punya cucu perempuan Abah mah kalo tiap hari begini," ucapnya sembari menyeruput kopi di mug yang ia bawa dari dalam, aku tersipu, dalam hati berbicara, "bukan cucu Abah, tapi calon mantu."
Aku terkikik dalam hati, memikirkan saat sudah menikah dengan kak Rayan nanti, pasti akan seperti ini. Ngayal.

___

"Assalamualaikum, Dek. Kata Ibu Adek nginep di rumah Kaka ya?"

Saat membuka pesan masuk di layar Hp. Tumben dia kirim pesan duluan, biasanya aku yang mulai. Mungkin karena kemarin dan semalam aku tidak menghubunginya sama sekali, aku masih kesal, karena cemburu pada Teh Naina.

"Iya," balasku singkat, biar dia tau kalau aku sedang ngambek.

"Oh," balasnya. Hanya oh? ya Tuhan gak peka banget sih jadi orang, gak ngerti apa kalau aku lagi ngambek, dasar kaku.

Sengaja pesannya tak dibalas, meski tangan gatal untuk mengetik kata rindu, tapi kutahan ego, gak salah 'kan kalau aku ingin dia sedikit mengerti.

Aku terlonjak kaget saat Rizky menepuk bahu dari belakang, tawanya tergelak saat melihat ekspresi kagetku. Namun senyumku terukir saat dia memasang muka bersalah, Rizky memang selalu bisa membuatku tersenyum.

Belahan Jiwa AlishyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang