part 40. Kaka Keren

17 4 0
                                    

Mentari belum juga terbit, namun kami sudah berkumpul di rumah Ayah. Dinginnya angin subuh juga rasa kantuk tak menyurutkn semangatku untuk mengantar kepergian orang tercinta.

Ya, hari ini cintaku akan pergi, namun untuk kembali, dia akan menjemputku setelah semua cita-citanya tercapai. Itu ucapnya.

Setelah subuh mereka akan berangkat, katanya untuk menghindari kemacetan dan supaya cepat sampai. Inilah resiko tinggal di ibu kota, harus pandai menyiasati lalu lintas.

Sosok pria yang sejak tadi diam-diam kucari, tak disangka dia telah berada di sampingku dengan memakai hadiah pemberianku, syukurlah jacket itu pas di badannya.

Sosok pria yang sejak tadi diam-diam kucari, tak disangka dia telah berada di sampingku dengan memakai hadiah pemberianku, syukurlah jacket itu pas di badannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kaka keren," bisikku

"Makasihh Dek," jawabnya pelan sekali.

Dia berlalu menuju bagasi mobil, lalu memasukan koper ke dalamnya, sedang Ibunya kini merangkulku erat, air mata mulai mengalir di pipinya, seperti berat berpisah denganku.

"Ibu jangan sedih ... kapan-kapan Lishya maen ke rumah Ibu, iya 'kan Pap?" Aku mengusap lembut air mata di pipinya, lalu melirik ke arah Papa, Papa pun mengangguk sambil tersenyum. Sedangkan Ibu terus memeluku sambil terisak .

"Benarkah? Ibu tunggu ya!"

"Insya Allah Mbak, kalau Alishya libur, kita nyempatin main ke sana, Mbak," jawab Papa, Ibu pun tersenyum haru.

Sebenarnya aku pun ingin menangis, tapi Kak Rayan pernah bilang kalau dia tidak suka aku menangis, dan saat ini aku tak mau buat dia kecewa. Biarlah dia melihat senyumku saja, biar saat dia merindukanku, yang dia ingat hanyalah senyuman.

Saat dia hendak masuk ke dalam mobil, tanpa sengaja netra kami beradu, manik hitam yang tersorot lampu taman itu terlihat berkaca, dia kedipakan kedua matanya seraya tersenyum, seolah tengah berpamit padaku. Aku membalasnya dengan senyuman termanis juga kedipan sebelah mataku. Genit. Dia tersenyum lalu menggelengkan kepalanya. inilah yang akan selalu kurindukan darinya.

Kini mereka pun telah pergi. Aku berdadah sambil mencoba tersenyum, namun air mata tak dapat di tahan, ia mengalir begitu saja.

"Tenang, dua minggu lagi kita ketemu lagi dengan Ibu," goda Papa.

Bukan Ibu yang aku tangisi Pap, tapi Kak Rayan, dia kan pergi ... lama.

  Tapi baguslah mereka sangka aku menangis karena Ibu, kalau saja Papa tau, aku suka-sukaan sama Kak Rayan, bisa bisa dia marah besar. Apalagi saat ini mau ujian.

Papa orangnya sangat keras kepala dan tegas, apa yang di ucapkannya harus di turuti, kalau sampai di langgar pasti dia akan marah. Tapi, semarah-marahnya Papa, dia tak pernah membentak atau memukul. Dia hanya diam saja, dan aku paling tak suka didiamkan.

"Syha hari ini ujian, harus fokus pada pelajaran jangan mikirin yang lain," bisik Rizky di telinga, saat aku masih menatap punggung mobil yang ditumpangi Kak Rayan. Aku tau maksudnya, dia menyuruhku untuk tidak terlalu memikirkannya. Aku tersenyum lalu menggandengnya masuk ke dalam rumah.

Belahan Jiwa AlishyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang