49.cemburu?

13 2 0
                                    

Rizky duduk bersebelahan dengan kursi kemudi yang di duduki Kak Rayan, sedangkan Aku duduk di jok belakang sendiri, sesekali aku melirik kaca depan sekedar ingin melihat sang pujangga hati. Tak disangka netraku bertemu dengan sepasang manik hitam pekatnya, rupanya ia pun memperhatikanku. Aku tersenyum sambil mengedipkan sebelah mata, dia langsung mengalihkan pandangan dengan senyum yang terutas di bibirnya. Aku terkikik melihat wajahnya yang bersemu merah. Oh tuhan dia juga bisa blushing.

Sepanjang perjalanan Rizky asik dengan bukunya, sedangkan Kak Rayan masih fokus dengan jalanan yang sedikit macet. Dari sini aku terus memperhatikannya lewat kaca depan.

"Ekhem, Kak, kalo nyetir senyum kek! Jangan terlalu fokus!" cetusku memecah keheningan. Seketika terlihat bibirnya tertarik sempurna dan membentuk lengkungan bulan sabit yang indah.

"Hadeeuuuh, jadi obat nyamuk dah gua," gumam Rizky, aku terkekeh mendengarnya, siapa suruh ikut kami.

Tiba-tiba ponsel berbunyi, keningku mengkerut saat nama 'Si Batu' tertera di layar ponsel.
Sebenarnya aku gak mau mengangkatnya, tapi takut ada penting, terpaksa deh diangkat juga.

"Halo ada apa?" tayaku ketus.

"Lo di mana?"

"Di jalan, ada apa lo? Tumben nanyain gue."

"Cepetan, nyokap gue nungguin lo!"

"Mau apa? Masih jauh, tungguin aja sampe gue datang!"

Kumatikan panggilan tanpa memberi salam atau menunggu jawabannya. Aku gak mau mood-ku hancur gara-gara bicara dengannya.

"Siapa?" tanya Rizky, sejenak kulirik dulu pria yang masih sibuk dengan setirnya, dari ekspresi wajahnya aku tahu dia sedang menyimak.

"Si Batu," jawabku singkat.

"Ngapain si Gio nelpon lo?" tanya Rizky penasaran.

"Tau, dia bilang nyokapnya nungguin dia di kampus," jawabku sambil menyimpan handphone di tas.

Rizky kembali fokus pada bukunya dan aku kembali fokus pada kaca yang menampilkan wajah kalem kak Rayan.

Mungkin karena sejak tadi terus mengagumi wajah si calon imam, hingga tak terasa sudah sampai kampus. Aku, Rizky dan Kak Rayan turun secara bersamaan, terlihat Tante Leny dan Gio menghampiri.

Tanpa basa-basi Tante Leny langsung memperhatikanku dengan seksama, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Hingga membuat kami yang melihatnya merasa heran.

"Kamu gak apa-apa sayang?" tanyanya seraya memelukku. Aku mengernyitkan dahi tak paham maksudnya.

"Kamu baik-baik saja, 'kan?" tanyanya lagi setelah melepas pelukannya. Aku mengangguk heran.

"Udahlah Mam, jangan lebay gitu, 'kan udah Gio bilangin, si Ali tuh gak apa-apa," cetus Gio dengan nada ketus.

"Iya Tante, Lishya baik-baik saja. Emang anak tante ngomongin apa tentang Lishya?" tanyaku pada wanita berpenampilan modis itu.

"Gio bilang dari kemarin-kemarin kamu murung terus, tante pikir kamu sakit," jawabnya.

Aku menatap Gio lekat, rupanya selain dia Penurut banget sama Mamanya, dia juga tukang ngadu. Tante Leny terus memperhatikan setiap inci dari tubuhku, sehingga membuat risih. Namun, tiba-tiba saja matanya menatap tajam pada tangan kiriku.

"Apa ini?" tanya tante Leny.

"Cincin," jawabku singkat. Kak Rayan, Gio dan Rizky terkikik mendengar jawabanku.

"Tante tau itu cincin. Kok di simpen di sana? Kaya yang sudah tunangan saja," ucapnya sambil memperhatikan cincin yang tersemat di jari manisku. "Eh, berlian asli," gumamnya.

Belahan Jiwa AlishyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang