part 48. Lamaran.

11 3 0
                                    

"Segitu gak maunya, lo sama gue," gumam Rizky pelan tapi masih terdengar.

"Maksud lo ap, Ky?" tanyaku menatap tajam.

"Gak, lupain aja, gak penting! Oh iya, terus gimana dengan mister hantu lo?" tanya Rizky. Aku menggigit bibir bagian bawah, bingung apa yang harus dijawab. Aku hanya mencintai Kak Rayan, orang sebaik dan se-care Rizky saja kutolak, apalagi orang yang belum diketahui siapa-siapanya.

"Menurut lo, gue harus gimana Ky?"

"Untuk saat ini, lo ikutin kata hati lo Shya, ini masa depan lo, lo yang tentukan," jawab Rizky datar.

***

Setelah turun dari mobil, aku langsung mengajak Rizky ke kantin, padahal masih pagi, perut terasa keroncongan. Mungkin, epek terlalu banyak pikiran.

Semangkuk bubur juga teh panas sudah tersaji di meja, secepat kilat kuraih bubur itu, melahapnya dengan cepat. Rizky hanya melihat sambil menggeleng kepala.

"Kayak orang kelaperan lu,  pelan-pelan, Syha!!"

***

Saat hendak keluar dari kantin, tanpa sengaja kami berpapasan dengan Aneta, sikapnya masih dingin, malah semakin ketus.
Kulemparkan senyum padanya, berharap ia 'kan balas, tapi nihil, ia malah memalingkan wajahnya.

Kuraih tangan gadis berwajah manis itu, mengajaknya untuk saling bicara, mengungkapkan segala rasa kecewa yang mungkin akan menghilang setelah kami saling bersuara.

"Aneta! Bisa kita bicara?" Gadis itu hanya tersenyum sinis sambil sedikit mengangguk.

Aku menuntunnya ke arah kursi kantin yang berada di dekat pintu keluar, meski terlihat enggan ia tetap menuruti mauku. Sedang pria yang sedari tadi berada di samping pun ikut mengekor.

"Apa lo benci gue?" tanyaku, Aneta diam membisu, menyeret pandangan ke salah satu penjuru kantin.

"Jawab, Net!" seru Rizky karena gadis itu masih bergeming.

"Gue gak suka lo permainin Abang gue, Shya! Lo tau, sejak dulu dia sudah suka sama lo, dia berharap banyak sama lo. Kalau lo mau nolak dia, kenapa gak lo lakuin dari dulu. Lo malah berikan dia harapan-harapan semu, yang justru membuatnya terluka, " ucap gadis itu. Aku menunduk malu, benar yang di katakannya, aku lah yang salah. Dulu aku takut mengecewakan Aneta kalau Abangnya di tolak, takut pertemanan kami hancur, tapi, nyatanya itu terjadi. Namun saat ini aku sadar, dia marah bukan karena aku menolak Abangnya, melainkan karena aku telah memberikan harapan palsu untuk Kak Rei.

"Maafin gue Net."

Aneta beranjak dari duduknya dan langsung menghampiri Ibu kantin dan memesan makanan, dia tak memperdulikan permintaan maafku.

***

Seminggu telah berlalu, hari yang di nantikan Papa pun tiba. Meski beberapa kali menolaknya tetap saja Papa memaksa, malahan dia menyuruhku untuk melihatnya dulu, setelah itu baru memutuskan bagaimana kedepannya diterima atau di tolak.

Kak Rayan. Dia hilang bagai di telan bumi, Pesan-pesan yang dikirimkan pun tak ada balasanya, bahkan nomornya pun gak bisa dihubungi. Hati ini semakin kalut, ingin rasanya bercerita pada si Kaku itu, untuk sekedar meringankan beban di hati. Namun sulit.

"Sayang udah siap?" tanya Papa.  Aku menggeleng, sambil mengernyitkan dahi.

"Papa tau apa yang terbaik buatmu, Nak. Lihat dulu! Nanti kamu bebas menolak atau menerima," ucapnya seraya menyunggingkan senyum.

"Lishya belum siap nikah Pap," elakku.

"Pria itu gak menuntut nikah sekarang kok!" jawabnya sambil mengusap pucuk kepalaku lalu pergi.

Belahan Jiwa AlishyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang