Heartache

891 149 5
                                    

Lalisa nyaris tak berkedip saat memandangi layar ponselnya yang kini sudah meredup. Beberapa detik lalu dunianya terhenti saat ponselnya berdering dengan nyaring. Bukan karena suara deringannya, tapi karena nama yang tertera dilayar disana.

Awalnya gadis itu terlalu malas untuk sekedar menerima panggilan di jam tujuh pagi, tapi begitu ia melihat nama si penelpon— Lalisa langsung bangkit dari tidurnya, ia bahkan sudah berdiri tegap diatas kasur— menatap tak percaya pada ponsel ditangannya. Sampai akhirnya panggilan itu berakhir, Lalisa masih setia pada posisinya. Gadis itu masih terlalu terkejut sampai bingung harus berbuat apa.

"Beneran nelpon? Atau hanya salah tekan?" Lirihnya saat ia berhasil kembali ke dunia nyata. Ia bahkan sudah turun dari kasur dan kini mendudukkan dirinya dengan nyaman ditepi kasur.

"Atau hanya halusinasiku saja?" Gumam Lalisa yang kini kembali membuka log panggilan untuk memastikan kejadian beberapa menit yang lalu.

Setelah memastikan kalau dirinya tidak sedang berhalusinasi, rasa penasaran kini menyelimuti hatinya. Ada apa orang itu menelponnya? Lalisa terlalu penasaran tapi juga terlalu takut untuk sekedar menerka-nerka. Untuk beberapa saat ia mengalami pergulatan batin, harusnya ia mengirim pesan untuk memastikan? Ia terlalu takut untuk menelpon balik, bisa saja orang itu salah tekan kan?

Akhirnya dengan sisa-sisa keberaniannya, Lalisa memutuskan untuk mengirim pesan, berusaha mengakhiri rasa penasaran yang tak terabaikan dan terus menghantuinya itu.

2702
Beneran nelpon atau hanya salah tekan?

Satu pekikan lolos dari bibirnya begitu Lalisa berhasil menekan tombol send. Ia bahkan tanpa sadar sudah melempar ponsel hitamnya ke atas sofa, yang beruntungnya tidak berakhir secara tragis di lantai kamar. Gadis itu menatap nanar pada benda pipih yang kini tergeletak disana, baru juga beberapa detik tapi perasaan menyesal sudah menggerogoti hatinya.

Harusnya ia tidak perlu mengirim pesan itu. Harusnya ia abaikan saja panggilan itu. Kenapa juga ia harus penasaran? Kalau memang penting, orang itu pasti akan menelponnya kembali kan? Dasar Lalisa bodoh.

Satu menit.

Dua menit.

Lima menit.

Sampai tiga puluh menit kemudian, masih belum ada tanda-tanda kalau pesannya akan dibalas. Lalisa semakin merutuki dirinya, memaki kebodohannya, bahkan mengutuk rasa penasarannya. Nyatanya, orang itu masih saja memberi efek luar biasa pada dirinya bahkan setelah dua tahun lamanya.

Lalisa membaringkan tubuhnya, menatap lurus pada langit-langit kamar berniat mengalihkan pikirannya dari panggilan yang mungkin saja tidak sengaja itu. Hanya sebuah panggilan, tapi dunianya seakan runtuh dalam sekejap. Hembusan nafas kasar terdengar berkali-kali, sesak mulai terasa di dadanya dan Lalisa tidak suka ini.

Tepat di menit tiga puluh lima, ponsel gadis itu kembali berdering— membuat Lalisa kembali bangkit dari baringannya dan meraih benda pipih itu dengan cepat. Matanya menyipit sebelum akhirnya membola sempurna saat membaca nama yang tertera disana.

2702 is Calling...

Untuk sesaat batinnya kembali berdebat, haruskah kali ini ia menerima panggilan itu? Jujur saja ia takut. Mendengar lagi suara yang pernah menjadi candu untuknya terlalu beresiko untuk hatinya yang rapuh.

Tapi pada akhirnya rasa penasaran dan rindu mengalahkan semuanya, dengan jantung yang berdetak tak normal— gadis itu menekan gambar hijau dilayar sebelum akhirnya menempelkan benda pipih itu ditelinga.

"Halo..."

Satu kata, hanya dengan satu kata orang itu berhasil meruntuhkan segala tembok yang sudah dibangun Lalisa dengan susah payah.

BLOOMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang