You came to hurt me, you go to please yourself.
***
Sakitnya hati tidak akan pernah sebanding dengan sakit fisik manapun. Kecewanya orang yang percaya, tak sebanding dengan kecewa orang-orang biasa. Lelahnya orang yang sabar menunggu, tak akan menyamai lelah orang-orang biasa. Dan sakitnya orang yang berharap, tak bisa menyaingi sakit apapun.
Itu yang Ceye mengerti saat tangan kanannya lebam, dan pintu kamarnya sedikit berlubang.
Seperti malam yang sudah-sudah, Ceye manghabiskannya di balkon apartemen. Memandang langit yang semakin lama ditinggal bintang-bintangnya. Memandang kota Kuala Lumpur yang semakin lama redup keramaiannya. Puntung rokok terselip di antara bibir. Ujungnya sudah hangus terbakar menjadi abu yang jatuh mengotori lantai.
Ia ingin rasa sayangnya untuk Caca seperti rokok yang ia hisap setiap hari. Hangus, menjadi abu, jatuh, lalu hilang terbawa angin. Tapi, mustahil.
Layar ponselnya menyala, memamerkan ruang obrolan dengan Caca yang sudah mati tak lagi berpenghuni. Pesan-pesan darinya yang seakan meraung-raung mengharapkan kabar, hanya akan jadi pesan satu pihak tanpa ada feedback.
Ceye:
Kesayangan gue, apa kabar? Gimana di papua? Hati-hati, Caca. Di sana lagi banyak kerusuhan. Cari tempat aman buat berlindung. Atau mungkin lo udah pindah ke NTT? Kalimantan? Atau justru udah di pulau Jawa lagi? Kasih kabar dong Ca... gak perlu jawab perasaan aku pas di bandara, cukup kabar kalau kamu baik-baik aja.Aku capek, Ca... Capek banget. Pulang Caca, tolong. Pulang, I'm begging right now.
Pulang... aku mau peluk..
Saat pesan itu tertulis, tangan Ceye masih baik-baik saja. Hatinya memang sudah hancur, tapi masih mencoba untuk bersatu. Namun, setelahnya ia mengide untuk mengunjungi Twitter. Melihat semangat mahasiswa Indonesia yang sedang memperjuangkan keadilan di Tanah Air tercinta dengan maksud mendistraksi pikiran dari Caca. Tapi, yang ia dapat justru hal berlawanan dari yang ia harapkan.
Kenapa sih? Kenapa setiap Ceye berharap, ia justru tersakiti? Kenapa setiap Ceye tak ingin berharap, keadaan tetap memaksa?
Genggamannya pada ponsel langsung mengerat, tangan satunya mengepal. Matanya menyipit, sementara gambar pada ponselnya ia perbesar berkali-kali. Hatinya mati-matian menyangkal itu dia, tapi indera penglihatannya tak bisa berbohong.
Itu dia.
Itu Caca.
Calla Oriana, perempuan yang sangat ia sayang, yang ia tunggu kabarnya dari jam 12 malam sampai 12 malam lagi, yang meninggalkannya dengan ketidakpastian, ada di sana. Di antara ratusan mahasiswa, ia ada di sana. Berdiri paling depan, memegang poster yang menyuarakan protes akan penolakan RUU P-KS, dan rambut terikat asal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crestfallen
Teen FictionAlhena Queeneta Sasmaka berharap untuk pertama kalinya. Lalu, ia tersakiti. Maska Nathanael Alden berharap untuk kedua kalinya. Lalu, ia menyakiti. Ceye Wiranugraha berharap untuk kesekian kalinya. Lalu, ia menyerah. Ini tentang mereka semua yang hi...