16. Ruang Rapat

2.2K 443 547
                                    

"It feels like a dream that I'm afraid to wake up from

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"It feels like a dream that I'm afraid to wake up from."

—Neta

***

Iya, iya, tau. Neta terlalu berani untuk meminta Aska menjadi kekasihnya. Padahal, Aska sudah jelas-jelas menyuruh Neta menjauh darinya, memperingatinya bahwa ia akan sakit hati jika berdekatan dengan Aska.

Tapi, bagaimana dong? Habis Aska mengaku bahwa ia takut Neta meninggalkannya karena masa lalu yang ia punya, cewek itu tidak bisa berpikir jernih lagi. Yang ia tau hanya Aska juga menginginkannya sama seperti ia menginginkan cowok itu.

Perbedaannya adalah, Aska takut. Sementara Neta tidak sama sekali. Walau taruhannya kali ini adalah hatinya sendiri, Neta tetap maju.

Aska. Pemikiran Neta, seburuk-buruknya, apasih yang bisa dia lakukan? Pemuda itu bagai malaikat turun dari langit di siang bolong. Paling, kesalahan yang ia buat tidak besar-besar banget, hanya dirinya saja yang merasa sangat bersalah.

Haaahh...

Neta akan memikirkan itu belakangan saja. Saat ini, ia harus menghadapi kecanggungan hasil dari ulahnya sendiri.

Sudah bisa ditebak, kan? Aska tidak menjawab sama sekali permintaan Neta. Tidak menolak, pun menerima. Sehabis Neta melepaskan pelukannya dan duduk di depan TV, Aska hanya berbicara untuk mengajaknya makan malam bersama.

Sekarang, ketika mereka sudah selesai makan bersama dan Aska sedang mencuci piringnya, pemuda itu masih diam.

Astaga. Maksud Neta, kalau Aska memang tidak mau, yasudah bilang saja. Toh, Neta juga sudah bisa mengira kok... walaupun nyesek.

"Aska—"

"Besok ada jadwal ujian?"

Kurang ajar, Aska memotongnya.

"Ada.. pagi."

Si cowok pun mengangguk sembari mengelap tangannya. "Udah malam, ayo gue antar pulang."

Sebenarnya belum terlalu malam, masih jam 9 kurang. Tapi, mungkin Aska sudah tidak betah bersamanya lagi.

Yuk Neta, sadar diri, yuk.

"G-gue pulang sendiri aja, Ka..."

"Loh? Kenapa?" Aska memiringkan kepalanya, alisnya terangkat.

Alis Aska memang sangat ekspresif, dan itu selalu berhasil membuat Neta gemas. Namun kali ini, Neta harus mengesampingkan rasa gemasnya.

"Gakpapa. Kayaknya lo... risih sama gue gara-gara yang tadi gue omongin.." Aska sudah membuka mulutnya untuk menjawab, tapi Neta belum selesai. "Btw, soal yang tadi.. anggap aja gue cuma bercanda..."

"Sok tau."

Tak!

Dahi Neta disentil oleh Aska. Pelan, membuat pandangannya terangkat ke arah si cowok.

CrestfallenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang