Sepuluh

7.8K 276 2
                                    

Aku berjalan ke arah ibu ku dengan mata yang kini telah berkaca-kaca.
Merasa terluka saat melihat nya seolah tak berdaya karena keadaan ku.
Rasanya, rasa sakit ini lebih dari rasa sakit yang Mas Fahri torehkan pada ku.

"Ibu" lirih ku, saat telah berada di depannya.

Ia berdiri dan langsung memelukku seolah memberi kekuatan pada ku dan mengatakan bahwa semua nya akan baik-baik saja.

Rasa nyamana kini benar-benar ku rasakan saat berada dalam pelukan hangatnya.

Aku merindukan pelukan ini.

Ibu ku melepas pelukannya saat Mas Fahri berkata bahwa ia akan pulang.

"Alisha, ini surat perceraian kita, sidang akan dilaksanakan minggu depan, saya harap kamu bisa menghadirinya agar mempermudah segalanya" ucap nya sambil berlalu.

"nak, kamu tinggal dimana beberapa hari ini?" tanya nya dengan suara bergetar karena menahan tangis agar tak pecah.

"aku, Alisha tinggal dirumahnya Dini bu" jawab ku.

"baiklah mulai sekarang kamu akan tinggal bersama ibu lagi" ucap ibu.
Aku hanya mengangguk.

Setelah dari rumah ibu ku, kini aku berada di rumah Dini, tepatnya di depan rumahnya.
Aku sudah memberitahukan kepada mereka bahwa aku akan tinggal bersama ibu ku.

Ibu Fitri memelukku dan berkata.
"nak, sering-seringlah berkunjung, ibu akan sangat merindukan mu" ucap nya dengan mata yang berkaca-kaca.

"InsyaAllah bu, Lisa akan berkunjung" jawab ku sambil tersenyum.

Aku merasa sangat nyaman saat berada di dekatnya.
Ia terlihat sangat menyayangi ku, itu yang aku lihat dari tatapannya pada ku.
Saat bersamanya rasanya seperti bersama ibu ku sendiri.

Kini Dini yang memelukku.
"kamu harus kuat, dan jangan menangis hanya karena pria seperti pak Fahri" bisik nya.
Setelanya ia melepas pelukannya.

"baiklah, Lisa pamit Assalamualaikum" ucap ku sambil mencium punggung tangan ibu Fitri dan memasuki taksi.

*
*

Seminggu telah berlalu, dan hari ini adalah hari dimana aku akan ke pengadilan untuk menghadiri sidang perpisahan ku dengan Mas Fahri.

Ibu ku sedari tadi menggenggam tangan ku seolah menyalurkan kekuatan kepada ku dan berkata bahwa semua akan baik-baik saja.

"Lisa"panggil seseorang.

Aku dan ibu ku langsung berbalik ke asal suara.
Disana ibu Fitri dan Dini tengah berdiri sambil tersenyum ke arah ku.

"Dini, kenapa kamu bisa ada disini? Seingatku aku tak pernah memberitahukan kepada mu bahwa hari ini akan di laksanakan sidang perpisahan ku dengan Mas Fahri" tanya ku.

"kamu lupa ya, aku bekerja di kantor Pak Fahri, dan masalah perceraian mu dengan nya, semua karyawan kantor sedang membicarakan nya" jelas nya.

"Baiklah, kita masuk sekarang, sidang nya akan segera dimulai" ajak ibu ku.

Kami pun melangkah memasuki ruang sidang, seketika langkah ku terhenti.
Sekali lagi aku menangis dan berharap bahwa semua nya tidak akan terjadi.

'apa hari ini semua nya akan berakhir seperti ini? Dan tidak adakah kesempatan sekali lagi?' fikir ku.

Beberapa menit berlalu, Mas Fahri, ibunya dan tentu saja Sofia pun sudah datang.

Sidang telah di mulai, hingga sampai pada akhir dimana ketukan palu hakim menandakan bahwa hubungan yang selama 2 tahun ku jaga akan berakhir.
Tidak, semuanya memang telah berakhir.
Aku dan Mas Fahri telah resmi berpisah, semuanya berakhir, benar-benar berakhir.

Semua orang terlihat meninggalkan ruangan, yang tersisa hanya aku, dini, ibu Fitri dan ibu ku.
Mereka menghampiri ku.
Ibu langsung memeluk ku, Air mata ku kembali luruh.

"sudah sayang,  jangan menangis" ucap ibu Fitri pelan.

"Lisa udah, ini yang terbaik" ucap nya.

Kami semua berjalan keluar dari ruang sidang. Namun diluar ruangan sudah ada ibu dari Mas Fari.
Ia tersenyum kearah ku namun bukan senyum tulus tapi sebuah senyum mengejek.
Ia melangkah mendekati ku dan berkata.

"yang saya katakan waktu itu terbukti kan sekarang? Fahri meninggalkan mu dan kembali kepada Sofia" ucapnya.

Aku hanya memandangnya, tanpa ekspresi sama sekali.
Aku tidak akan menangis lagi, sudah cukup.
Mas Fahri bukanlah pria yang cukup baik untuk ku tangisi.

"maaf, tapi apa hanya itu yang ingin anda katakan?" tanya Dini sarkas.

"yah, seperti nya memang hanya itu yang ingin ku katakan pada nya" jawab nya sambil melihat ke arah ku di akhir kalimat nya.

Dini langsung menarik ku pergi meninggalkan ibu Mas Fahri, aku tidak tahu apa yang akan di fikirkannya.

Terlihat ibu dan juga ibu Fitri mengikuti kami di belakang.

*
*

Kini aku tengah berada di dalam kamar, tak ada keinginan untuk melakukan apa pun.

Hanya memandang keluar jendela, mengamati anak-anak sedang bermain di luar.

Seminggu sudah sejak aku dan mas Fahri resmi berpisah.
Dan selama seminggu pula aku hanya berada dalam kamar.

Ketukan pintu menyadarkan ku
Aku berjalan kearah pintu dan membukanya.
Terlihat Andini dengan senyum khas nya sedang berdiri disana.

Ia langsung memasuki kamar ku tanpa permisi, ya memang seperti itulah dia.
Lagi pula aku tak merasa keberatan.

"ibu mu bilang kalau seminggu ini kamu hanya di kamar saja, ada apa? Apa kau masih memikirkan Pak Fahri?" tanya nya.

Aku hanya diam tanpa ada niat untuk menjawab, tentu ia sudah tahu jawaban dari pertanyaannya itu.

"ok, masalah ini memang bukanlah masalah sepele, tapi bukan berarti kau harus bersikap seperti ini, jika seperti ini terus kau bisa semakin terpuruk" jelasnya.
Aku masih tak bergeming.

"kamu bisa mencari kesibukan di luar, kamu bisa kerja lagi. Agar supaya perhatian mu teralihkan" lanjut nya

'benar, seharusnya aku tak seperti ini.
Bagaimana bisa aku membuat diri ku sendiri terpuruk, sedangkan diluar sana ia sedang berbahagia?, aku harus menunjukkan padanya bahwa aku juga bisa bahagia tanpa dia' batin ku.

Aku tersenyum dan memeluknya.
"terimakasih, untuk semuanya" ucap ku pelan.

"aku sudah putuskan, aku akan mencari pekerjaan, seperti yang kamu katakan tadi" lanjut ku

Ia tersenyum sambil mengangguk ke arah ku.

*****

Bersambung....

Ok guys, thanks untuk dukungannya sampai sejauh ini.

Dan tak bosan-bosannya aku mengingatkan.

Jangan lupa Vote dan coment nya.

Kalian tentu tahu, kalau vote yang kalian berikan sangat berarti.

Ok.

See you next part guys.

Kesucian Yang TernodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang