"Lookin' sharp, D!" puji Ara saat dia melihat Darren yang baru selesai memakai pakaian setelah mandi. Pagi ini Darren mengenakan cargo pants, t-shirt dan tangannya menenteng corduray jacket berwarna nude.
Darren tersenyum, mengacak puncak kepala Ara. "Thanks," ucapnya setelah duduk berdampingan dengan Ara yang sedang menghabiskan sarapannya. Hari ini Ara membuat toast, sunny side egg, dan juga sausage sebagai makan pagi mereka.
Darren menuang kopi dari coffee maker, menambahkan cream dan gula. Tadi dia sudah sarapan lebih dulu dari Ara karena kelaparan. Dia ambil penerbangan malam ke Sidney dan baru sampai di tempat Ara jam 5 pagi.
"Kaki kamu udah gapapa?" tanya Darren membuat Ara memutar bola matanya.
Sebulan terakhir ini Darren membuatnya kesal karena tak henti-hentinya bertanya soal kakinya yang sudah baik-baik saja. Sudah cukup pria itu bulan lalu datang ke tempatnya selama tiga hari dan melarang Ara kemana-mana padahal dia mau pergi kursus karena Ara merasa sanggup mengikuti pelajaran walau harus memakai kruk.
Bahkan Ara sampai mengirimkan email berisi keterangan dokter saat perbannya sudah dilepas hanya untuk meyakinkan Darren kalau kakinya sudah normal.
"Aku bahkan bisa nari balet, D!" balas Ara sambil menirukan gerakan piet, releve, dan saute, di depan hidung Darren.
Darren tertawa, mencubit pipi Ara, gemas.
"Earth tones suits you well," gumam Ara yang lagi-lagi memberi penilaian pada penampilan Darren. Ara merasa iri karena kadang kalau dia salah mengenakan riasan, earth tone outfit malah membuatnya terlihat bulukan.
Ara menghela napas, pasrah. "Tapi kamu even cuma pakai kolor doang tetep kelihatan bagus, sih. Good shape, good size," tambahnya tak rela.
"Is that a compliment? Kok aku berasa kayak dilecehkan," balas Darren sambil menahan tawa.
"Sensitif amat, Mister! Ini aku lagi kasih kamu alternatif kerjaan lain, loh. In case kalau kamu bosen jadi CEO, bisa, lah, alih profesi jadi model sempak."
Tawa Darren meledak, tangannya terulur mencubit pipi Ara, gemas. "Sorry, not interested. Anyway, hari ini kita ke mana?"
"Cari kado buat baby-nya Nissa, gimana? Boleh gak nanti aku titip kamu buat kirim ke dia?" tanya Ara.
Darren mengangguk. "Oke. Kapan lahirannya?"
"Dua minggu lalu. It's a girl." Lalu Ara menunjukkan foto-foto yang dikirimkan Annisa ke Darren.
"Gak mau nengokin langsung aja?" tanya Darren lagi.
"Tiket mahal, D! Aku lagi ngirit, nih."
Darren mengernyitkan kening, keheranan. "Kamu kan bisa pergi bareng aku."
"Bukannya kamu ke sini ikut penerbangan biasa, not private jet?" Ara malah balik bertanya.
"Yup, tapi aku masih bisa, kok, Ra, beliin kamu tiket pulang-pergi."
Tersenyum, Ara mengusap pipi Darren pelan. "That's sweet, tapi, gak usah. I need to set boundaries, Darren. Just because I know you can, ego ku yang bilang gak boleh." Lalu Ara membungkukkan badan, mengecup bibir Darren sekilas. "But, thank you ... You're the best!"
Tak lama setelah Ara selesai membersihkan apartemennya, mereka berangkat. Berkeliling untuk belanja sekaligus makan siang di restoran.
Puas berkeliling dan membeli berbagai macam hadiah, mereka kembali ke apartemen.

KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Ara
RomanceCerita tentang Darren Pramudya dan Aurora si tukang kue. another rempongers project. (sinopsis menyusul kalau udah ada ide)