[6.5] Ironi

499 55 16
                                    

Tempat yang didatangi Sasuke adalah sebuah kelab bernama End Star di tengah kota. Di antara jejeran tempat-tempat hiburan malam, End Star termasuk dalam pilihan terbaik untuk disinggahi. Bangunan ini tidaklah megah. Ia bahkan hanya masuk dalam kategori sedang, bukan tempat-tempat mewah yang hanya disewa oleh para pengusaha kaya untuk merayakan suatu kemenangan.

End Star dapat dijangkau oleh kalangan menengah dan menengah atas. Harganya pun sesuai dengan kocek mahasiswa yang cukup hedon. Sasuke tidak heran ketika ia mendapati banyak pemuda seumurannya.

Karena cukup sering berkunjung kemari sejak beberapa tahun lalu, pihak sekuriti hanya menganggukkan kepala tanpa menanyakan identitas Sasuke. Ia membiarkan Sasuke melenggang masuk. Mata Sasuke mengedar untuk beberapa saat. Ia mengabaikan jejeran meja biliar dan area gim yang dipenuhi banyak orang. Pun mengabaikan dentuman suara musik yang berdengung di gendang telinganya.

Sasuke, dengan langkah lebar, mendekati meja panjang dan kursi bar yang disusun berjejer. Pandangannya tertuju pada seorang perempuan bercat rambut merah menyala. Ia memakai tank top abu-abu di balik apron hitam. Pada perpotongan leher dan pundak, tampaklah sebuah tato berbentuk empat buah magatama yang saling melingkar. Tangan perempuan itu sibuk menuangkan minuman beralkohol kepada pengunjung. Bibirnya melengkungkan senyum sinis yang menurut banyak pria dianggap menarik.

Tanpa sedikit pun keinginan untuk bergabung dengan orang-orang itu, Sasuke berhenti tepat di depan si perempuan dan langsung bertanya, "Mana Itachi?" dengan nada kaku.

Perhatian si perempuan teralihkan. Ia menaikan sebelah alis, kemudian mengulum senyum miring.

"Mau minum?"

Sasuke mengulang pertanyaannya.

Perempuan itu tergelak rendah.

"Cemen amat lo sama alkohol," komentarnya sambil lalu. Ketika tatapan Sasuke menajam, ia mengibaskan tangan, seolah lelah dengan perilaku Sasuke. "Di bawah kayak biasa. Lo nggak bakal dibolehin--jangan ribut! Awas aja lo,Sasuke!"

Sasuke sudah melenggang ke sebuah pintu yang dijaga oleh dua orang tinggi besar yang tampak sangar. Mereka memandang Sasuke curiga, tapi tak melakukan apa pun ketika Sasuke menunjukan kartu identitasnya.

Begitu pintu ditutup, Sasuke hanya ditemani keremangan cahaya. Ia menuruni tangga yang membawanya ke wilayah hitam tempat ini. Setelahnya, Sasuke melewati lorong panjang, semacam koridor. Lantai di koridor tersebut tampak kotor oleh bekas tanah dan darah yang masih baru. Di sepanjang koridor, terdapat sekitar dua puluh pintu yang saling berhadapan. Sasuke sempat mendengar jeritan samar di beberapa pintu. Sedangkan di pintu lain, ia mendengar sesuatu seperti auman hewan buas. Aroma anyir darah melengkapi kejanggalan tempat tersebut.

Sasuke sama sekali tak tertarik dengan itu semua. Ia tetap berjalan hingga menemukan sebuah pintu di ujung koridor. Di samping pintu terdapat kunci otomatis dari sidik jari. Sasuke melewatinya dengan mudah. Ia segera masuk melalui pintu geser otomatis begitu pintu itu terbuka.

Berbanding terbalik dengan alat keamanan canggih di luar sana, ruangan di dalam sini sangatlah biasa. Pencahayaan ruangan terasa sedang. Pun tata ruangnya. Begitu melewati pintu masuk, Sasuke segera diperlihatkan dengan ruang rekreasi yang dipenuhi oleh sofa-sofa dan kursi santai. Sebuah televisi melengkapi tempat tersebut.

Di masing-masing sisi ruangan, terdapat pintu kaca buram yang sedikit terbuka. Celah yang ada memperlihatkan sebuah ruangan yang dipenuhi perangkat komputer dan kabel-kabel. Sedangkan pintu lain memperlihatkan sebuah rak tinggi besar yang dipenuhi banyak buku. Sasuke tak melihat sisa dua pintu lainnya. Ia hanya mengerling sekilas sebelum melangkahkan kaki ke pintu yang memperlihatkan rak besar buku.
Beberapa orang di ruangan tersebut menoleh pada Sasuke. Salah satunya berteriak, "Woy, Sasuke, ngapain lu nyelonong masuk aja? Lapor dulu, Bocah!"

Choco ChipsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang