"JANGAN DITARIK, SOALNYA mereka hanya akan mengencangkan pegangan di tanganmu. Kekuatan mentah perempuan tetap kalah dari laki-laki. Jadi, jangan adu kekuatan saja, gunakan trik—pakai tenaga lawan untuk keuntungan sendiri."
Seseorang berambut pirang dengan potongan jabrik pendek tengah berdiri di tengah-tengah lingkaran perempuan. Ia mengenakan setelan training hitam, dari celana hingga jaket. Di sampingnya berdiri seorang lelaki remaja seumurannya. Ia berambut cokelat dengan wajah berhiaskan tato temporary bermotif taring. Tinggi mereka hampir sama meski si pirang jabrik, Naruto, lebih pendek beberapa senti dari partnernya, Kiba.
Disuguhi dua pemain film ternama, para perempuan yang duduk melingkari mereka tetap tenang, walaupun binar antusias di tiap sorot mata tak bisa diabaikan begitu saja, terutama ketika melihat peragaan dan penjelasan yang ditunjukkan Naruto.
Masih dalam posisi Kiba yang mencekal tangan Naruto, penjelasan pun dilanjutkan.
"Kasarnya sih begini. Dia mau dekat-dekat denganmu. Jadi, kau harus menolaknya dengan cara keren." Nada bicara yang serius membuat orang-orang tertawa kecil. Naruto mengulum senyuman. "Duh, tidak percaya? Begini maksudku."
Membiarkan Kiba mengencangkan cekalan tangan, Naruto kemudian memutar tangan yang dicekal dengan sedemikian rupa, memaksa pergelangan tangan Kiba terpelintir. Kondisi yang demikian melemahkan cekalan tersebut. Naruto kemudian menangkis cekalan dan bergerak ke samping, menghindari Kiba yang hendak membalasnya. Dengan posisi Kiba yang sedikit memunggunginya, Naruto hanya perlu menendang belakang lutut Kiba, membuatnya hampir terjerembap ke depan. Ia kemudian memukulkan siku pada tengkuk Kiba, memberi gerakan akhir untuk menjatuhkannya.
Sakit yang benar-benar datang membuat Kiba mengumpat.
Naruto masih berdiri tegak.
"Lihat? Kalian tak perlu kuat-kuat amat untuk mengelabui cowok kurang ajar," jelas Naruto, sama sekali tidak peduli pada gerutuan temannya. "Tipu saja mereka seperti tadi. Kalau kalian tak mahir bela diri, langsung saja lari ke tempat ramai. Cari bantuan juga kalau perlu. Kalau memang tidak ada bantuan, lari sambil pura-pura menelepon polisi. Biasanya mereka yang mengganggu anak perempuan hanyalah pengecut yang suka membual. Mereka akan ketakutan jika benar-benar dilaporkan."
"Apakah kau harus benar-benar memukulku?" protes Kiba selagi berusaha berdiri.
Naruto mengangguk polos.
"Tentu saja. Biar simulasinya terlihat lebih nyata."
Kiba melontarkan balasan merajuk yang lain, memancing tawa dari para audiens. Mereka berdua melanjutkan latihan kecil itu, membantu anggota baru dojo mempelajari teknik-teknik dasar. Waktu bergulir dengan cepat. Tanpa mereka sadari, jam dinding telah menunjukkan pukul lima sore. Para anggota baru sudah berkeringat dan tampak kelelahan. Botol minuman yang awalnya penuh, kini sudah kosong tak bersisa. Mendapatkan pelatihan langsung dari seorang aktor dan aktris di latihan awal mereka mungkin memang menyenangkan. Tapi, mereka tetap tak bisa menyangkal lelah yang menyerang.
Saat sensei yang sebenarnya ikut bergabung, latihan pun ditutup secara formal. Ada beberapa anak yang sempat meminta foto dan tanda tangan Naruto sebelum benar-benar pulang. Kiba sempat meledek mereka, menawarkan tanda tangannya sendiri. Tawaran tersebut tentunya diterima dengan senang hati.
Naruto menenggak botol minumnya sendiri setelah ruangan sudah lebih sepi. Ia sedang mengambil ponsel ketika mendengar suara Kiba dari arah samping.
"Aku tidak akan langsung pulang," terangnya tanpa penjelasan lain.
Naruto menoleh.
"Huh? Jadi aku harus pulang sendiri?"
Kiba ikut menoleh, melihat si pirang yang menatapnya heran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Choco Chips
Fanfictionkoleksi fiksi pendek fanfiction femnaru. isi konten bisa berupa one shot, two shot, atau multiple chapter tapi kurang dari sepuluh.