[9.3] Special Gift

885 59 14
                                    

MATA MELEBAR, KAKI melangkah mundur dengan spontan. Naruto mengernyit sakit ketika ujung kakinya terantuk tepi konter dapur. Alih-alih menjawab, kini dia jadi sedikit pincang. Suasana panas yang hadir pun menghilang.

Memang, Naruto takkan bisa disebut Naruto kalau belum mengacau.

Umpatan kesakitannya membuat Sasuke menghela napas pelan. Dia memberi jarak untuk Naruto, lalu menatapnya pasif. Saat melihatnya masih saja kesakitan, Sasuke pun berjongkok. Dia meraih tungkai Naruto, memintanya mengulurkan kaki agar dia bisa mengecek bekas benturan itu.

Dengan mata setengah menyipit, Naruto mengulurkan kakinya. Sasuke terdiam sesaat waktu melihat luka kecil di sana. Luka yang tidak seberapa, tapi memang akan terasa cukup nyeri.

Ibu jari mengusap pelan sisi tumit Naruto. Kernyitan Naruto menghilang. Dia memperhatikan Sasuke yang masih berlutut di depannya.

"Kau seterkejut itu waktu kuminta tidur bersama?" ujar Sasuke tiba-tiba. Dia kini mengusap pergelangan kaki Naruto, menarik pelan tungkai sang perempuan dan memberi kecupan di punggung kakinya. "Apakah pertanyaanku seabsurd itu?"

Pertanyaan dan tindakan Sasuke ... Naruto tidak tahu mana yang lebih mengejutkannya. Kecupan mendadak yang menghampiri punggung kaki benar-benar tidak disangka Naruto. Dia hampir refleks menarik kakinya kalau saja Sasuke tidak menahan dengan sebelah tangan. Ketika pandangan mereka bertubrukan, wajah Naruto langsung memerah hingga telinga. Dia segera memalingkan wajah untuk menghindari tatapan. Untuk mengatasi rasa malunya, Naruto berdeham pelan sebelum menjawab.

"Aku cuma kaget," kilahnya, mencari-cari alasan. "Bukan karena pertanyaanmu aneh. Cuma ... uh, kau tidak pernah begini. Jadi, aku agak kaget. Kau tiba-tiba menciumku dan aku masih belum sepenuhnya tenang—"

"Jadi?" potong Sasuke. Dia kembali mengusapkan ibu jarinya pada tumit sang perempuan, memberi lingkaran imajiner yang berhasil membuat Naruto menarik napas pelan, menahan gelitik asing yang menyerang tubuhnya.

Telapak tangan Naruto memegang erat tepi wastafel di belakangnya. Saat itu, detak jantungnya berpacu kencang, sangat tidak karuan. Dia tidak sanggup melihat Sasuke karena termakan malu yang luar biasa.

"Aku belum pernah melakukannya," awal Naruto, tenggorokannya tiba-tiba terasa kering. "Aku ... ah, sial. Aku mungkin tidak tahu apa pun. Aku tak berpengalaman. Jadi, akan memalukan—" Naruto memejamkan mata sesaat, kemudian menarik napas dalam. Dia memaksakan diri untuk menatap Sasuke, tak peduli pada wajah yang diliputi rona merah. "Kau, kau pasti hanya ingin mengejekku 'kan?! Karena aku belum pernah tidur dengan siapa pun di usia ini?!"

Sasuke menatapnya sesaat, kelihatan cukup takjub dengan respons yang sangat di luar dugaan. Dia menurunkan kaki Naruto.

"Aku memacari cewek yang belum pernah ciuman. Apakah menurutmu aku akan mengeluh tentangmu yang masih perawan?" ujar Sasuke, frontal.

Jawaban itu sangat tidak membantu Naruto yang sedang dilanda panik campur malu.

Naruto menepuk wajah, menutup kedua matanya dengan telapak tangan.

"Ini sangat tiba-tiba—"

"Kau hanya ingin melakukannya setelah menikah?" timpal Sasuke, terdengar terlalu enteng.

Sudut mata Naruto berkedut. Dia menahan diri untuk tidak memijit masing-masing pelipisnya.

"Aku sering hungover karena mabuk. Menurutmu, aku termasuk tipe orang yang akan menerapkan prinsip tadi?" sarkas Naruto. Dia menghela napas pendek, menahan erang tersiksa. "Kurasa, ayahku juga sudah menyerah untuk coba mengatur-atur hidupku. Akhir tahun ini mungkin aku tidak bisa pulang ke rumah ...."

Choco ChipsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang