Tiga

13.5K 797 11
                                    

"Andai bisa kugambarkan sedalam apa belatimu menusukku. Mungkin tak akan air mata yang kuusap, melainkan limpahan darah yang kubebat. Aku akan menceritakan rasanya bila aku bisa, Gus Daffa."

*****

Nashwa baru saja menyelesaikan ritual mandinya saat indah datang, gadis itu langsung rebahan di kasur singlenya tanpa melepaskan tas gendong yang masih ada di punggungnya.

"Baru selesai kuliahnya?" tanya Nashwa.

Indah menghela napas kasar. "Ya begitulah. Eh kamu tau aku tadi bertemu dengan Dokter Faiz." Raut wajahnya seketika berubah sumringah.

"Dokter Faiz?" Dahi Nashwa mengernyit.

"Iya. Itu loh, Wa, yang suka sama aku."

"Kamu kali yang suka sama dia" sela Nashwa memotong hayalan Indah seketika.

Indah terkikik. "Sama aja ih."

Nashwa hanya tersenyum saja melihat tingkah sahabatnya, dia beralih pada kasur empuknya yang berada di samping lemari Indah.

"Bentar lagi maghrib, kamu mau tidur? " tanya Indah tak percaya melihat Nashwa yang mulai menutup matanya.

"Aku ada kuliah malam. Lagian, aku juga halangan. Bangunkan aku habis isya yah."

Tidak ada jawaban dari indah karena dia sudah masuk ke dalam kamar mandi sejak nashwa mulai bicara tadi.

"Kebiasaan anak itu!" cibir Nashwa kecil.

****

Gus Daffa membuka resleting tas nya, mengambil
beberapa bajunya untuk siap siap melaksanakan shalat maghrib berjamaah. Sejak kepulangan keluarga Kyai Kholil bayangan wajah Ning Zalfa benar benar tak bisa ia hilangkan di kepalanya.

Bukan karena mata panjang memukaunya, atau keindahan paras wanita itu. Tetapi terhadap tutur kata ayahnya saat seluruh keluarga sedang berkumpul tadi.

Sekarang dia tahu kenapa Kyai Kholiq memintanya pulang secara tiba-tiba, kenapa beliau juga tak mengiizinkannya untuk meneruskan pendidikan magisternya di yaman. Ternyata karena hal ini, karena perjodohan ini.

"Mbah Kungmu, ingin kau dan juga Zalfa berjodoh. Beliau ingin hubungan keluarga tetap dekat. Daffa, sedikit sulit mencari kriteria wanita yang cocok dengan keluarga kita."

Ucapan Kyai Kholiq seketika meruntuhkan dirinya. Pria itu terduduk di sebelah ranjang kayunya, menangis dalam diam, tergugu dalam senyap.

"Tapi Bi, Daffa sudah memiliki pilihan sendiri. Saat tahu Abi pasti akan menyukainya."

"Daffa, bolehkah Abi memintamu untuk menerima permintaan ini? As-shofwah dan Darul Makkiyah dibangun oleh Mbah Kungmu bukan untuk orang lain."

"Tapi dia bukan orang lain bagi Daffa, Bi. Daffa mencintainya sudah lama .... "

"Kau mencintainya, kau membawanya pada keluarga kita. Abi bisa saja setuju, tapi apakah keluarga yang lain akan setuju selama mereka tahu bila kau sudah terpilih untuk menjadi jodoh Zalfa?"

Gus Daffa menggenggam erat-erat jemarinya saat seluruh ucapan Abinya berputar dalam kepala. Disisi lain ia tak ingin meninggalkan cintanya, tapi disisi lain dirinya tak ingin mengecewakan orang tua.

Taqwiat Alruwh (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang