"Seluruhnya masih berputar di kepalaku. Termasuk janji pada Allah yang kuingkari lima tahun lalu. Membebaniku tanpa ampun."
*****
Sementara di tempat yang berbeda, Nashwa masih menatap kertas kecil yang waktu itu gus daffa berikan, sesekali menyentuh baris tulisan arab itu sambil menerka-nerka apa yang tengah laki laki itu rasakan.
Apa yang laki laki itu pikirkan sekarang? Apa perasaannya benar benar terluka? Apa dia kecewa? tunggu, apa dia sudah mulai bisa menerima ning zalfa sebagai calon tunangannya? Atau malah sudah mulai belajar untuk mencintainya?
"Allaahh" desahnya kecil, air mata ini lagi.
"Wa, bu nyai memanggil kamu ke ndalem" tiba tiba teriakan Indah mampu membuatnya kaget.
"Aku?"
"Iya.. kata Mbak Tia mau membahas tentang kerja sama dengan redaksi media pesantren, sekalian sama pelatihan jurnalistik" ujar indah.
Nashwa melirik jam, sudah hampir jam sembilan malam, rasa rasanya Bu nyai memanggilnya malam malam begini tidak mungkin. Apalagi membicarakan hal semacam itu yang tak terlalu terburu buru kecuali...
Apakah untuk membahas tentang perjodohan Gus Daffa dan Ning Zalfa lagi? Bukankah dirinya sudah menyanggupi permintaan untuk pergi? Bukankah begitu?
Lalu apa sekarang ini? Dirinya takut, bahkan tubuhnya bergetar untuk sekedar bertemu dengan Nyai Ruqayah. Dia tak ingin menangis lagi, dia tak ingin mengiris luka ini lagi. Cukup sudah!
"Wa? Hei, malah bengong. Udah sana!" tegur Indah yang masih setia membaca novel kesukaannya.
"Eh, iya iya." Nashwa segera bangkit dari kasurnya dan melangkah menuju ndalem Bu Nyai yang hanya berjarak satu rusunawa saja.
Tetapi, langkah Nashwa terhenti saat melihat pintu ndlem Nyai Ruqayah terbuka. Bukan beliau yang berdiri disana, melainkan orang lain. Seseorang yang sering dihindarinya beberapa waktu ini.
Nashwa berhenti melangkah, haruskah ia bertemu dengan Gus Daffa lagi? Menginjak ruangan yang ada dia di dalamnya.
Kurangkah rasa sakit selama ini? Kurangkah apa yang ia lakukan untuk menjauhinya, terutama mundur dari ketua koordinasi umum hanya demi tak bertatapan lagi dengannya.
Saat ingin memutar arah dia bertemu seseorang yang dia ketahui adalah khadamah Nyai Ruqayah.
"Mbak, maaf ingin tanya. Apa Bu Nyai ada di tempat?"
"Enten, Mbak. Niku pintu ndalem'e terbuka."
"Tapi ... ada Gus Daffa di dalam, ndak enak kalau saya ke sana sendiri."
"Walah ... monggo saya antar, Mbak."
Nashwa bernapas lega. "Nggih, matur nuwun."
Mereka berbalas senyum sebelum Nashwa berjalan membuntutinya. Kepalanya menunduk dan tubuhnya sedikit membungkuk saat berjalan di hadapan Gus Daffa yang saat itu sedang menderas Al-qur'an.
"Madosi sinten?" Langkah dua wanita itu sontak terhenti.
"Niki Mbak'e madosi Bu Nyai, Guse."
KAMU SEDANG MEMBACA
Taqwiat Alruwh (TERBIT)
RomanceKisah terumit dari cinta yang pernah Nashwa rasakan. Gus Alif menawarkan hati saat dirinya masih sangat mencintai Gus Daffa- kakak sepupu dari Gus Alif. Sedangkan Gus Daffa yang dulu berjanji akan mencintainya selamanya malah berubah arah karena kei...