1.7. [Hidup itu Terlalu Sunyi]

114 27 3
                                    

📌JANGAN LUPA KLIK BINTANGNYA📌
Hope you like it🍀

•••

"Ingat, sebelum masuk kelas jangan lupa?"

"Jangan lupa bismillah." Biru mencium punggung tangan Meyra. Gadis kecil itu melambaikan tangan mungilnya dan berlalu menyalami jejeran guru di depan gerbang sekolah.

Meyra menyimpulkan senyuman hangat. Hingga Biru lenyap dari pandangan, barulah dia kembali ke mobil.

"Langsung pulang saja ya, Pak. Hari ini saya hanya di rumah." Meyra lupa-lupa ingat sebenarnya jadwal hari ini, rasanya tidak ada. Begitulah profesinya sebagai penulis yang hobi bertengger di jajaran best-seller sekaligus pensiunan dini senior editor. Tidak terikat aturan kantor, tetapi terikat deadline tentu saja.

Meskipun begitu, kantor penerbit yang telah membesarkan namanya kerap meminta Meyra hadir dalam beberapa rapat. Pandangannya yang unik dan tak biasa namun logis serta kritis acap kali memukau jajaran redaksi. Eksistensinya sangat dibutuhkan.

"Baik, Mbak Meyra."

Meyra mendengus. "Bapak sama aja dengan Mbok Asri, deh. Panggil saya cukup Meyra saja. Saya sudah menganggap kalian seperti orangtua sendiri."

Pak Damar terkekeh pelan, "Nyamannya begini, Mbak."

Meyra menganggut. Dia menyaksikan Pak Damar tersenyum teduh. Kemudian membayangkan senyuman Ayahnya, juga Ibunya. Ah, jelas dia rindu mereka.

"Maaf ya, Mbak."

"Tidak perlu minta maaf kok, Pak." Meyra menoleh pada kaca mobil di sisinya. Ia menilik keluar. Sejumlah orang berlalu-lalang di sepanjang trotoar. Sebagian melangkah tergesa sembari berbicara melalui gawai masing-masing, sementara yang lain berjalan santai dengan menenteng kotak bekal. Ini fragmen yang paling dia suka. Mengamati gedung-gedung yang berlari, segalanya seperti berjalan.

Meyra memikirkan telah sejauh ini dia meniti satu demi satu jalan hidupnya. Dua puluh delapan tahun terlintasi sudah. Ia sungguh tak ingin memandang ironis atas apa yang telah terjadi.

Kali ini Meyra menghela napas panjang. Mungkin beberapa bertanya, akankah misteri hidup ini menghilang? Apakah ada bahagia di akhir cerita? Dan masih banyak pertanyaan sederhana lainnya yang sukar di jawab. Namun, suka tidak suka, segalanya biar saja ada. Biar saja terjadi. Bagaimana pun hidup adalah cerita yang akan diusaikan. Tinggal mau bagaimana meninggalkan kesan di antara sedemikian rupa tamu yang berkunjung datang kemudian pergi dalam hidup.

Meski tetap saja, menjalani tak sekadar kata-kata. Terkadang, harapan adalah alasan Meyra masih bisa bertahan sebagai penyintas waktu. Tidak salah, 'kan?

Seperti apa harapan itu akan menemui titik hentinya, Meyra tidak menolak.

"Tak akan menolak." Meyra membatin pada dirinya. Let's just get through, Mey.

Melengkungkan bibir getir, dia menyadari telah sampai di pekarangan rumahnya.

"Terima kasih ya, Pak. Bapak bisa langsung pulang," tukas Meyra menyuguhkan senyuman tipis. Dia menarik handle, membuka mobil.

Pak Damar mengangguk. Namun, tersadar sesuatu.

"Maaf Mbak, tunggu sebentar." Meyra mengernyit, Pak Damar bergegas keluar dari mobil dan berlari kecil membuka bagasi.

"Ini Mbak, titipan Mas Gibran. Maaf saya menaruhnya di bagasi." Sebuket dandelion yang dirangkai apik menyergap habis obsidian Meyra. Dia segera menerimanya.

"Tidak masalah, Pak Dam. Ya sudah, saya masuk dulu," ujar Meyra tersenyum singkat dan lekas masuk ke dalam rumah. Perasaan hangat senantiasa mengepung kala ia memandang dan menyentuh bunga harapan ini baginya.

Nyala RenjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang