3.1. [Hero Biasa]

89 32 10
                                        

📌JANGAN LUPA KLIK BINTANGNYA📌
Hope you like it🍀

•••

𝓜alam ini purnama menyapa dari balik kaca jendela yang membatasi kesanggupan mata.

Meyra sedari tadi menuangkan kekosongan dalam pandangannya pada rupa keemasan itu. Sedang pikirannya hanyut mengunjungi tahun-tahun yang telah karam, terdampar tepat di atas permukaan masa-masa seseorang itu berlabuh datang. Segala ini terasa tak masuk akal, memukul telak ulu hatinya. Bahkan air mata tiada kuasa mewakili lirihan batin.

Selama ini dia berpura-pura, seperti tak takut apa yang terjadi selanjutnya. Kini ia lelah. Ingin rasanya memberontak, menentang jalan hidupnya yang begini. Satu per satu direnggut darinya, tanpa peringatan. Namun, pada akhirnya akal selalu menyadarkan, untuk apa?

Bukankah inilah yang dinamakan hidup?

Tapi apakah salah jika segenap yang dia pinta semata-mata tuturan selamat tinggal dan sampai jumpa?

Kenapa Ibu, Ayah, dan sekarang dia tak diizinkan meninggalkan kecupan perpisahan untukku, Tuhan? Aku hanya inginkan penutup kenangan pada penghabisan napas yang bisa kudekap.

Aku menyayanginya, Tuhan. Sungguh mencintainya.

Meyra mengerang sesak. Ia menghembuskan napas perih. Lalu diraihnya lemah sebuah buku bersampul biru tua yang teronggok di atas meja kerja pada sudut kamarnya, tepat di sebelah jendela yang ia renungi sejak tadi. Jangan salah paham, itu bukanlah buku hariannya. Melainkan novel terakhir yang ia tulis dan besok adalah hari peluncuran karya dalam genggamannya sekarang.

Jemari Meyra menyusuri uliran kasar yang merangkai judul novelnya. Mungkin setelah ini dia butuh istirahat yang panjang. Dia sendiri pun tidak tahu kapan akan mampu menulis lagi dalam waktu dekat. Ada yang hilang darinya untuk ditorehkan dalam kalimat.

Kemudian Meyra menyandarkan kepala di kedua tangan, menatap novel yang menggunakan namanya sendiri sebagai tokoh utama dengan sorot mata putus asa. Lalu berbisik pelan, "Ini tentang kita. Untukmu."

Ada enam atau tujuh menit kesunyian kembali menghampiri, hanya ada suara sentuhan kulit di atas sampul depan roman karangannya, sampai akhirnya Meyra membuka lembaran bagian awal gubahannya itu.

Dia menyesapi tulisannya.

Telah kubuka hati untuk mencecap manis-pahit rasamu, aku bahkan rela menelannya mentah-mentah dalam kesakitanku.
Kamu, si lelaki biru yang menjelma Suryaku.

Entah berapa lama sepasang manusia itu saling senyap hanya mengamati langit malam dengan pikiran masing-masing yang berbeda. Meski ada satu yang sama-sama mereka lakukan, ialah menatap angkasa yang menjadi saksi betapa mereka semakin jauh melangkah dari kelaluan hingga tanpa sadar telah berhasil menjalani hidup, melewati kesakitan-kesakitan yang tercipta atas duka kepergian seseorang yang berarti di kehidupan mereka. Memang tepat untuk mereka dipasangkan sebagai pasangan sebab sama-sama memiliki nestapa yang serupa meski tak sama.

"Mey," tutur sang lelaki memecah keheningan mereka bersama malam, ia mengalihkan pandangannya pada ketulusan mata yang selalu saja menjadi favoritnya.

"Aku tak berharap menjadi superheromu. Aku hanya ingin coba semampunya menjadi hero biasa di hatimu."

Andai saja dua manusia di tepian dermaga itu sadar bahwa koloni air laut dan bintang mengaminkan ucapan sang lelaki. Meski tidak dengan purnama, sebab purnama terlanjur trauma akan kembali mengecewakan hati para insan pemujanya, yang setiap ia mengaminkan suatu pinta terkadang Sang Pencipta lebih memilih suatu hal lain, kehilangan contoh kecilnya.

Nyala RenjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang