2.4. [Ingat Aku Selalu]

90 26 4
                                    

📌JANGAN LUPA KLIK BINTANGNYA📌
Hope you like it🍀

•••

𝓐ku sudah di depan.

Meyra membaca pesan yang baru saja dikirim oleh Gibran dan menjatuhkan pandangan ke depan pintu masuk. Terlihat Gibran menurunkan kaca kiri mobil dan tersenyum ke arahnya dan David.

"David, aku harus pergi sekarang," ucap Meyra berdiri tegak. "Aku sudah ditunggu."

David ikut berdiri, "Olehnya?" tanya David melirik mobil hitam yang berhenti di depan pintu masuk.

Meyra mengangguk, ia tersenyum kecil.

"He looks great," ucap David tersenyum membalas Gibran yang juga menyapanya lewat senyuman. Meyra tertawa kecil mendengarnya.

"Sampai jumpa, sampaikan salamku pada istrimu." Meyra memeluk sesaat David yang juga menyambut rengkuhan teman lamanya itu.

"Tentu," jawab David melepas pelukan mereka.

Meyra mengangguk dan berjalan meninggalkan David. Namun, selintas sebelum mencapai revolving door, ia berbalik badan.

"Safe flight, David."

Meyra masih dapat mendengar seruan David padanya, "Can't wait to see you next time."

"Jangan menunggu." Meyra melambaikan tangannya, "Remember me always," serunya sendu. Cukup sedih sejujurnya bertemu kawan lawasnya di saat harus berpisah untuk waktu yang lama lagi.

Setelah melihat David mengangguk, Meyra masuk ke dalam revolving door yang membawanya keluar dan berjalan ke arah mobil Gibran.

"Cepat sekali," gumam Meyra ketika ia mengempaskan diri di kursi penumpang.

"Yah, jalanan sedang berbaik hati," kata Gibran kemudian melajukan mobilnya meninggalkan kantor penerbit Meyra.

"Pak Damar kamu suruh pulang?" tanya Meyra sembari memasang sabuk pengaman. Lalu ia menoleh pada Gibran yang menganggukkan kepala sambil melirik kaca spion.

Sekali lagi Meyra memandang lelaki yang tengah mengemudi di sampingnya. Kelihatannya Gibran seperti biasanya dan tak ada suatu hal yang aneh, tetapi Meyra bertanya-tanya mengapa lelaki itu tak menyinggung tentang David yang menunggu bersamanya tadi?

Tumben sekali.

***

Cukup butuh waktu lama untuk Meyra dan Gibran sampai di tempat makan yang dituju lelaki itu, kira-kira tiga puluh lima menit. Gibran membuka pintu restoran untuk Meyra, lalu dia menyusul masuk dari belakang.

Langkah Meyra mendadak terhenti sejenak. Pemandangan yang tersuguh di depan mata kelewat membuatnya terhenyak.

Sebuah restoran yang tak seperti biasanya ia kunjungi bersama Gibran. Ini pertama kali. Ah, sahabatnya itu memang senantiasa mengetahui apa saja yang ia suka.

Interior bergaya Italia dan Yunani kuno dipadu nuansa klasik era 1920 di Amerika yang mengusung representasi elemen kontemporer sungguh menipunya. Padahal eksterior restoran ini malah terbaluti garis-garis vertikal biru. Ia pikir bagian dalamnya bakal seperti toko roti Bliss yang ia bayangkan saat tenggelam dalam petualangan seru novel berwarna biru serial Bliss Bakery karangan Kathryn Littlewood.

Akan tetapi, ketika menginjakkan kaki ke dalam, ia serasa sedang berada di bawah tanah atau di sekeliling puing bangunan arkais meski langit-langit restoran ini berkubahkan kaca yang begitu tinggi. Kemudian jangan lupakan pencahayaan yang terlampau syahdu. Apalagi semakin mengesankan dengan hiasan mozaik-mozaik yang rumit di lantai bawah kubah justru menambah kebingungan Meyra. Ini serupa gedung opera atau katedralkah?

Nyala RenjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang