1.4. [Kisah yang Dibenci]

263 30 5
                                    

📌JANGAN LUPA KLIK BINTANGNYA!📌
Hope you like it🍀 

Jangan lupa juga sambil dengerin lagu di atas biar membantu dapat feel-nya

•••

"𝓗ey," Sebuah tepukan di bahu Meyra membuyarkan lamunan masa kecilnya.

Meyra menatap siapa pelakunya yang tak lain adalah Gibran. Sementara ia melihat Biru masih asyik bermain ayunan sendiri seraya tenggelam bersama kotak musik barunya.

Gibran lantas mengambil posisi duduk di sebelah Meyra yang hanya beralaskan rumput.

"Betah banget duduk di sini sendirian. Lagi memikirkan aku, ya?" celetuk Gibran dengan tawanya yang malah semakin mempertegas lesung pipinya yang dalam.

Meyra tertawa kecil, tak menjawab.

Ia malah mengamati pria di sampingnya, memandang guratan lelah di wajah sahabatnya. Tangannya pun beralih menggulung lengan kemeja putih Gibran.

"Thank you," bisik Gibran rendah pada sahabatnya itu.

"Seharusnya kamu itu langsung pulang aja, enggak perlu ke sini. Lagian, pasti capek banget, 'kan?" omel Meyra pada Gibran yang hanya terkekeh mendengar celotehan wanita di sisinya itu.

"Mana pernah capek kalo untuk kamu dan Biru. Hitung-hitung sebagai tebusan pagi tadi sekalian bawa hadiah buat Biru."

Gibran memberikan Biru sebuah kotak musik dengan figur seorang gadis tengah memainkan piano di dalamnya sebagai kado atas kemenangan lomba piano yang diikuti Biru. Jangan bertanya bagaimana gembiranya Biru saat menerima hadiah Gibran. Lihat saja sekarang.

Meyra hanya mengusap pelan bahu Gibran. Selanjutnya ia memangku wajah dengan kedua lutut yang ia tekuk seraya memandangi gemerlap langit kelam. Lukisan Tuhan malam ini tampak ramai ditemani sejumlah bintang dan bulan yang terhampar.

Dua manusia yang sedang duduk di atas rerumputan itu saling senyap. Larut dalam pikiran masing-masing.

Meyra menyelami perkataan Gibran sebulan yang lalu padanya ketika lelaki itu menemaninya melukis di taman ini juga.

"Menikahlah denganku, Mey."

Meyra seketika menghentikan tangannya yang sedang menyapukan kuas di atas kanvas.

"Bukan hanya pernyataan, itu juga pertanyaan,"

Ia menoleh. Satu detik dan berikutnya Meyra terhenyak. Kelopak matanya malah bersarang pada netra Gibran yang menyorot lembut namun tegas dalam satu waktu, keseriusan menggenapi obsidian lelaki itu yang tampak membesar. Entah kaget sebegitu hebatnya, bingung, tersesat dalam kebuntuan atau kehadiran rasa lain yang membentuk kabut gelap dalam benak Meyra kala itu.

Ia belum siap. Bahkan, ini juga perkara waktu. Perihal waktu yang masih belum mampu menutupi ruang hampa yang menjangkiti sanubarinya.

"Aaku belum bisa." tutur Meyra pelan seraya menundukkan kepalanya.

"Maaf, tapi aku belum kepikiran ke sana. Maaf, Iban."

Nyala RenjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang