2.1. [Bisikan Laut]

94 23 4
                                    

📌JANGAN LUPA KLIK BINTANGNYA📌
Hope you like it🍀

Don't forget to listen the song above.

•••

𝓚e mana lagi kamu, Mey?

"Ohh, tunggu Gib," helaan wanita di seberang telepon merebak.

Gibran masih menyimak.

"Kalau enggak salah dengar, tadi Meyra ada bilang sedang kangen orang tuanya,"

"Baiklah. Terima kasih banyak, Mbak," tandas Gibran, ditaruhnya ponsel di atas kursi di sampingnya.

"Ya Tuhan," gumam Gibran mengerang risau.

Meyra tidak mungkin ke sana sendirian, 'kan? Namun, satu-satunya tempat yang memungkinkan memang hanya di sana.

Gibran menyapu muka kasar. Pelipisnya berdenyut sekarang. Tiada lagi lelah, terganti gelisah.

Lekas dia mundurkan mobil keluar dari pekarangan dan melaju cepat. Akalnya tak bisa diajak kompromi untuk baik-baik saja.

Jelas ini salahnya. Harusnya lusa lampau Gibran tak memutuskan sepihak sambungan telepon dengan Meyra. Mestinya dia mampu melumpuhkan sentimennya. Meyra pasti salah paham, menerkanya marah. Sungguh sepatutnya, dia tetap mengabari Meyra dan meminta untuk menanti dirinya pulang, lalu mereka berdua akan pergi bersama hari ini.

Kembali disekanya wajah kalap.

Tanpa peduli angka yang tercatat di speedometer, tiga puluh menit pun berguling pergi dalam kelam yang berkecamuk. Fokusnya hanya satuーMeyra.

Beberapa kali seruan bising klakson oleh pengemudi lain memekik kepadanya. Persetan, tak sekelumit pun teguran itu diindahkan oleh Gibran. Persisten bertahan dalam dirinya. Kesemuaan kendaraan yang ada di depannya, dia langkahi tanpa ragu. Alhasil, lebih kunjung dari semestinya, bentangan laut berjejer di bibir jalan raya menyambut di kanannya.

Namun, kala pandangan bersinggah ke sisi kiri tak jauh di depan, netranya memucat. Sekonyong-konyong, Gibran menginjak pedal rem. Decitan silu mendesak keluar.

Sebuah sedan putih tertambat menepi, berstagnasi di pinggir jalan yang kian melucuti gelegar kalang kabut di dadanya. Tak salah lagi.

Oh, Tuhan!

Seharusnya tak begini.

Bersicepat Gibran melesak turun dari mobilnya. Diketuknya lekas kaca mobil yang gelap di sisi pengemudi sedan putih itu.

Pintu mobil tersingkap. Sesuatu menghempasnya gemetar.

"Oh God, Mey, kamu membuatku khawatir setengah mati." Dihunjamnya puncak kepala perempuan dalam dekapannya itu dengan beberapa kecupan. Bukan main dia rasakan tubuh wanitanya bergetar. Ia dapat menyadari denyut jantung Meyra yang membubung deras.

Gibran menyesali dirinya.

Meyra masih kerasan di keheningan. Tak ada isakan, tak ada suara, hanya tubuhnya yang menggigil. Tak tahu lagi apa yang melingkupi Meyra.

Gibran mengusap punggung Meyra yang mendekapnya kuat, "Tenanglah," bisik Gibran sendu di telinga Meyra.

"Aku ada di sini." Gibran melekatkan bibirnya di kening sahabatnya itu.

Tak lama, tidak Gibran rasakan lagi tangan bergetar yang membelenggunya.

"Kamu kenapa berhenti di sini?" Dicapainya pergelangan tangan Meyra, lalu mengelus pelan punggung tangan sahabatnya, menawarkan kehangatan.

Nyala RenjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang