31 Oktober 2019
00:27Aku belum bisa tidur, tadi listriknya mati dan baru nyala. Gerah banget makanya aku gabisa tidur, padahal ngantuk banget dan tadi udah tidur sejam sebelum listriknya mati dan aku kebangun.
Random banget aku jam segini tiba-tiba kangen mama. Aku udah ngechat Mama sih, tapi kayaknya masih sibuk soalnya disana baru jam setengah 7 malem. Mama pasti baru pulang kerja.
Aku tiba-tiba keinget waktu pertama kali pindah lagi ke Jerman setelah Mama-Papa cerai. Aku yang biasanya dikelilingi keramaian, mendadak dipeluk sepi.
Nggak lagi aku tidur bareng sama kakak-kakakku, nggak lagi aku sarapan bareng sama kakak-kakakku. Aku lebih milih tidur sendiri, karena kayaknya Mama juga butuh waktu buat sendirian.Aku inget banget dulu sering denger Mama nangis malem-malem. Tapi aku nggak berani nyamperin, entah kenapa aku takut. Sekarang aku nyesel nggak peluk Mama waktu itu. Sekarang rasanya yang aku butuhin cuma Mama dan pelukannya.
Ya disini sih ada Papa, tapi beda.
Walaupun pelukan Papa juga sama hangatnya kayak pelukan Mama, tetep aja beda. Aku rasanya cuma butuh Mama sekarang.Aku udah chat mama sampe 5 bubble sih, tapi belum dibalas. Aku coba telpon juga ngga diangkat. Kayaknya masih sibuk.. atau tidur karena capek.
Random banget, tapi aku juga tiba-tiba flashback. Karena aku aja yang misah dari kakak-kakakku, aku kadang ngerasa left out. Kadang mereka ngobrolin sesuatu yang ngga aku ngerti dan itu bener-bener ngga enak.
Ya mereka sih selalu approach aku, selalu berusaha biar aku ngga merasa left out, tapi ya gitu, ngga bisa. Kalo aku buka album keluarga yang ada di rumah Jogja pasti banyakan foto mereka bertiga sama Papa, fotoku bisa dihitung jari. Ya aku sih nggak menyalahkan mereka karena mereka emang nggak salah, dan memang aku sendiri yang memutuskan untuk ikut Mama pindah ke Jerman.
Waktu itu aku ngira dalam beberapa bulan aku bakal pulang, nyatanya aku memang pulang ke Indonesia, tapi bukan pulang lagi namanya. Sejak saat itu setiap ke Indonesia disebutnya liburan, bukan pulang. Which is make a big impact untuk aku dan mentalku. Tempat yang selama ini aku anggap rumah, bukan lagi jadi rumahku. Walaupun aku masih menganggapnya Rumah, dia nggak lagi ngenalin aku.
Mirisnya, ketika aku sudah netap di Jogja pun, aku merasa tempat ini ngga mau disebut sebagai rumahku.
Passport sialan, aku jadi bingung 'kan.
***
Pernah waktu itu, Airlangga baru pindah ke Jogja buat kuliah. Emosinya masih labil karena dia memang baru 15 tahun. Masih puber. Airlangga tiba-tiba masuk kamar Papa jam 12 malem. Papa masih bangun, kayaknya masih banyak kerjaan.
"Kenapa dek?" Tanya papa dari balik meja kerjanya. Airlangga tidak menjawab, hanya diam dan duduk di pinggir tempat tidur milik Papa. Papa yang merasa ada yang salah dengan anak bungsunya, menghentikan kegiatannya dan menghampiri Airlangga. Berlutut di hadapannya, memandangi anak bungsunya dengan tatapan yang sangat lembut.
Airlangga mewek. Bibirnya melengkung, ingin menangis.
"Pengen pulang" ucap Airlangga sebelum air matanya berjatuhan.
"Pulang? Kangen Mama ya? Mau telpon Mama?" Tanya Papa, tapi Airlangga malah menggeleng.
"Mau pulang Pa..." ucapnya sekali lagi, diiringi dengan air mata bercucuran. Persis seperti anak SD.
"Pulang ya? Iya iya... besok pulang.. sekarang tidur dulu, besok pulang.. " Airlangga tau ucapan Papa hanyalah sekedar kalimat kosong untuk menenangkannya. Tapi ajaibnya, bisa benar-benar menenangkan Airlangga.
Persis seperti anak kecil yang dibujuk oleh Mamanya, keesokan harinya Airlangga sudah lupa bahwa semalam dia sangat ingin pulang ke Jerman.