Airlangga sedang duduk diam di salah satu bangku di kantin fakultas sambil memandangi kertas yang bertuliskan not balok lagu yang akan dia tampilkan untuk resital akhir. Ia memandangi jemarinya. jemarinya tidak cantik seperti milik mas Ghaza. Kukunya pendek, jarinya penuh goresan dan kulit yang mengeras akibat gesekan dengan senar sejak ia berusia 5 tahun. Beberapa jemarinya agak bengkok akibat bermain biola. Entah sudah berapa lembar plester yang ia kenakan selama 14 tahun terakhir.
Kini, jemarinya masih akan menari dan bergesekan dengan senar biolanya, memainkan sebuah lagu favoritnya; Zigeunerweisen.
Sebuah lagu karya Sarasate yang merupakan lagu favorit sebagian besar violinist, termasuk Airlangga.
Airlangga butuh satu tahun penuh untuk menguasai lagu itu, butuh puluhan jam tidur dikorbankan agar penampilannya saat resital tidak mengecewakan.Airlangga yang cenderung tidak bisa diam saat bermain biola kini harus berusaha untuk tidak bergerak, karena menurutnya, zigeunerweisen adalah sebuah lagu yang sangat sakral. Dia harus bermain sesuai dengan partitur, tidak boleh meleset, harus sempurna-walaupun kesempurnaan hanya milik Tuhan.
Airlangga ingin menangis saat itu juga, dia takut.
"Kamu kenapa, Airlangga?" Sebuah suara membuat Airlangga mendongak, mengalihkan pandangannya dari kertas keramat. Ten baru saja duduk sambil membawa piring di tangan kanan dan segelas es teh di tangan kiri.
"Aku takut..."
"Bisa?"
"Apa?"
"Kamu bisa takut?"
"Bisa lah! Aku 'kan juga manusia"
"Tapi Airlangga yang aku kenal sih ngga punya rasa takut. Jadi, kamu siapa ya?" Ucap Ten sambil tersenyum, kali ini bukan senyum jahil. Benar-benar senyuman yang tulus.
"IH JANGAN GITU DONG" Airlangga merengek layaknya bayi.
"Kamu maunya gimana dong? Kami kasih semangat juga kayaknya nggak akan ngaruh. Kamu akan tetep khawatir" Airlangga mengangguk, dia tidak tau mengapa sebanyak apapun kata semangat yang ia terima tidak bisa benar-benar membangkitkan semangatnya. Dia takut, dan ketakutannya semakin besar seiring berjalannya waktu.
Beberapa hari ini Airlangga terbangun dengan perasaan sesak di dadanya, seperti ada yang ingin melompat keluar dari dadanya, tapi tidak ia ijinkan.
"Kenapa mengkhawatirkan hal yang belum tentu terjadi sih?" Tanya Ten sembari meneguk es tehnya.
"Namanya manusia" jawab Airlangga asal.
"Aku kira kamu malaikat"
"DIEM. AKU GELI" melihat respon Airlangga, Ten tertawa terbahak-bahak dan Airlangga hanya memasang muka masam.
"Khawatir secukupnya. Jangan terlalu dipikirin ah. Ngopi aja udah kita" ucap Ten, Airlangga menggeleng. Dia ada jadwal latihan bersama Kun sore ini. Iya, Kun akan mengiringi Airlangga pada resitalnya sebagai pianis.
"Aku pusing ini lho, please give me secercah harapan.. secercah petunjuk" Airlangga mengeluh sambil meletakkan kepalanya di meja.
"APASIH. Kamu tuh kenapaaa?!?! Nggak dapet poinnya aku daritadi duduk disini dengerin kamu sambat" keluh ten yang memang sedari tadi hanya mendengar Airlangga berkeluh kesah bertanya pada dirinya sendiri apa yang harus ia lakukan.
"What if i fail?" Tanya Airlangga yang kini dapat tatapan serius dari Ten.
"What if you fly?"
Airlangga diam mendengar jawaban Ten.
Disini Airlangga, berdiri di tengah panggung dengan lampu yang menyorot padanya dan seorang pianis dibelakangnya; Kun.
Airlangga menarik napas dalam-dalam, memandang Kun dan keduanya mengangguk seakan-akan berkata "ayo".
Kun menekan not pertama, Airlangga memejamkan matanya membayangkan bahwa dia tengah berada di dunia fantasi, lalu semuanya terjadi dengan begitu cepat.
Bagai terseret kembali ke dunia nyata, Airlangga membuka matanya, dan mendapati penonton seisi gedung berdiri dan memberinya tepuk tangan meriah, sesuatu yang ia tidak tahu ia rindukan. Ia menoleh kebelakang dan mendapati Kun sudah berdiri dan memberi hormat.
Airlangga tersenyum, memberi hormat dan mendapati sosok familiar yang berada di salah satu bangku di hadapannya. Papanya. Masih berdiri, bertepuk tangan dan meneteskan air mata.
Airlangga bergegas turun dari panggung dan duduk di lantai sembari memeluk biolanya. Lalu menangis tersedu-sedu.
"You've worked so hard Airlangga" ucap Ical sambil memeluk Adik semata wayangnya "everyone is so proud of you"
Mendengar perkataan Ical membuat tangis Airlangga mengeras hingga membuat beberapa panitia panik, tapi Ical berhasil meyakinkan mereka bahwa Airlangga baik-baik saja. Tangisan Airlangga saat itu merupakan tangisan paling bahagia yang pernah dia rasakan seumur hidupnya, selama 19 tahun ini. Tangisan yang penuh dengan kelegaan.
Bonus :
Ini lagunya kalo ada yg penasaran :