Jangan dulu menilai seseorang dari penampilan. Contohkan saja dari anak bergajulan. Meski pun mereka terlantar di jalanan, mereka juga memiliki hati untuk peduli. Hanya saja, kepedulian mereka terbatas. Mereka hanya peduli kepada yang peduli pada mereka. Selebihnya mereka tak peduli.
_Selamat Membaca_
Seusai membersihkan diri dan berganti baju cadangan. Bila mendongak menatap Bara yang sedari tadi enggan beranjak untuk meninggalkannya. Gadis itu tersenyum lembut yang dibalas delikan tanpa minat dari Bara.
Bukannya Bara marah, hanya saja ia tak suka jika Bila terlalu baik untuk membebaskan Nana. Sedangkan Nana telah menjerumuskan Bila dalam kebaikan semu yang sudah Nana ciptakan. Dan saat Bila percaya akan apa yang ditunjukan Nana, barulah gadis itu bertindak semaunya.
Bara cukup berterima kasih kepada dorongan hatinya yang seolah memberi petunjuk kalau Nana—si gadis picik itu tidaklah benar-benar baik. Di saat yang lain beranggapan Nana memang berinisiatif ingin menjadi baik. Bara berpikir kalau itu adalah hal mustahil.
"Bara?" panggil Bila sambil maju mendekati Bara, "kamu marah?" tanyanya lirih.
Bara memejamkan mata, menarik napas panjang lalu menjawab, "Aku nggak marah. Tapi cara kamu yang udah buat aku kecewa." Bara kemudian diam lagi.
"Kecewa kamu nggak sebanding kaya Nana, Bar! Mungkin dia gitu karena kamu," ujar Bila yang terdengar seperti menuduh.
"Aku?" beo Bara tak mengerti.
Bila mengangguk. "Kamu tahu Nana suka sama kamu. Tapi kamu nggak pernah ngehargain perasaan dia. Apa itu nggak sakit?" tanya Bila membuat Bara bungkam, "aku tahu kamu pernah rasain itu. Termasuk aku. Kecewanya Nana mungkin bertindak. Dia sadar nggak bisa dapetin kamu, makanya dia nggak suka orang lain yang dapetin kamu. Jadi aku udah terima resikonya dari awal."
Keduanya mengalihkan pandang, begitu bayang-bayang seseorang hampir melintasi mendekat.
Lelaki yang sudah lama tak menampakkan diri itu muncul. Siapa lagi kalau bukan Aren. Seolah tak melihat ada Bara dan Bila, Aren berjalan cepat dengan sebuah kertas di tangannya. Jangan salahkan Bara yang tanpa izin langsung menyerobot kertas tersebut secara tiba-tiba. Tapi salahkan Aren yang sudah menganjurkan kertas itu hingga membuatnya penasaran.
Aren terdiam. Tidak berontak saat kertas itu mulai terbuka dan dibaca dalam hati oleh Bara. Hanya saja, tangan Aren terkepal kuat atas perlakuan Bara yang menurutnya tidak sopan.
Bara meneliti pelan. Di kertas tersebut, tertera alamat rumah Bila. Tanggal pengiriman paket, dan hasil bahwa paket tersebut sudah diterima.
Aren ingin mengambil kertas itu kembali. Namun, Bara dengan sigap langsung menyembunyikannya di balik punggung. Sambil menyeringai, Bara melihat tanggal terakhir kalinya Bi Inem menelfon Bara melalui ponsel Bila. Bara tertegun sejenak, kepalanya kembali mendongak dengan raut wajah datar.
BUGH!!
"BARAA!!" pekik Bila yang langsung menahan Bara saat dia hendak memberi pukulan lagi pada Aren. Aren termundur memegang perutnya. "Bajingan! Jadi elo penerornya?!" sergah Bara. Bila yang masih belum mengerti melirik Aren yang masih meringis.
"Iya, gue yang ngelakuin itu." Aren maju setelah sekian lama terdiam memejamkan mata.
Tangan Bara terkepal kuat.
Tinjuan melayang. Kedua lelaki itu terbelalak saat mengetahui kalau yang tersungkur bukanlah Aren. Tetapi Bila yang membentengi tubuh Aren sehingga gadis itu yang terkena pukulan Bara.
Bila menangis pada posisi duduknya. Aren berjongkok, memandang Bila dan mengucap kata maaf berkali-kali sebelum akhirnya bahu Aren disingkir jauh oleh Bara. Bara menatap Bila gusar. Semestinya Aren dapat merasakan pukulan luar biasa yang belum pernah Bara tunjukan. Tapi, mengapa Bila mengorbankan tubuhnya untuk melindungi Aren? Bara bukan hanya cemburu, tapi Bara juga benar-benar marah. Dia telah menyakiti kekasihnya sendiri.
"Nggak usah cari perhatian bangsat! Lo sama aja munafik," ujar Bara sinis seraya membopong tubuh Bila yang sedari tadi menahan sakit.
Kaki Bara beranjak meninggalkan Aren yang diam bergeming tanpa arti. Kepala Aren menunduk, melihat kertas yang tadi terjatuh. Aren memungutnya. Dipandang lekat kertas itu. Aren kemudian meremasnya.
"Bara?" Bara menunduk saat suara lirih memanggilnya, "jangan sering mukul orang sembarangan! Aku takut kamu luka." Bila berpinta seraya merintih tanpa henti.
Bara tersenyum getir. Sedetik terlewati Bara sudah mengerti arti Bila melakukan ini semua. Tak lain, karena Bila tak mau Bara berkelahi dan nantinya terluka. Sekarang, apa Bara harus beruntung atau malah menyesal telah mengenal sosok Bila dalam hidupnya? Bara tentu bahagia, melihat Bila yang kerap bahagia bersamanya. Tapi, akankah ada tangis jika suatu saat Bara mau menuruti ujaran Ibunya?
Tanpa merespon. Bara kembali mempercepat langkah.
Sesampai di UKS Bara segera mendudukan Bila yang lemas dengan hati-hati. Napas Bara lagi-lagi terdengar gusar, matanya pun tak henti melirik Bila.
"Bila!" Bara dengan sigap mengambil tisu dari kotak P3K saat sadar kalau gadis itu mengeluarkan darah dari hidungnya.
Tak salah lagi, pukulan yang Bara berikan cukuplah keras. Apalagi seorang wanita yang terkadang lemah fisik akan mudah merasa sakit.
"Maaf," lirih Bara seraya teliti membersihkan darah dari hidung Bila. Bila tersenyum simpul. Bara memang terkadang suka seenaknya sendiri dalam bertindak. Itu lah yang Bila tak sukai dari Bara. Bila begini bukan untuk mengekang. Tapi Bila sangat menyayangkan kalau Bara akan terluka akibat ulahnya sendiri.
"BILAA?!" teriak Ranum setelah membanting pintu UKS dengan keras dan membuat kedua sejoli itu terkejut bukan main.
Bara menyingkir, membiarkan Ranum mendekat ke arah Bila. "Lo ke mana aja?" tanya Ranum, memegang pundak gadis itu kuat. Bila haya terdiam tak menjawab, "lo tau nggak, sih? Gue takut lo kenapa-napa!" Tanpa berkata pun Bila sudah tahu jawabannya.
Ranum tercekat setelah menelisik keadaan Bila. "Oh... gue tahu, pasti ini ulah si Nana, kan? Anjir, gue kesel!" umpat Ranum yang malah tambah keterusan.
"Nggak usah dipikirin, ya elah! Gue nggak papa." Bila menampilkan senyum.
Ranum terbelalak, meraih wajah Bila pelan. "Muka lo? Hidung lo juga kenapa mimisan gini?" tanya Ranum mulai cemas. Ranum berbalik saat Bara berdeham dan mendekat.
"Itu ulah gue," aku Bara.
"Hah?!" pekik Ranum. Gadis itu ternganga yang kemudian langsung menimpuk Bara dengan wadah tisu di sampingnya. "Lo gila, Bar? Lo mukul Bila apa nggak ngerasa salah?" sewot Ranum.
"Eh! Apaan, sih, lo? Udah!" Bila menarik Ranum membuat gadis itu berhenti dan menatapnya sebal.
"Bara keterlaluan, Bila!" ujar Ranum. Sambil membuang muka, Ranum bergumam, "tahu gini gue lebih restuin lo sama Aren kali."
"Emang lo beranggapan Aren gimana?" tanya Bara spontan yang tak sengaja mendengar gumaman Ranum.
Ranum melotot. "Anggapan gue ke Aren ya jelas beda, tolak belakang, jauh sama lo!"
Tangan Bara mengepal kuat. Kali ini Bara sangat sensitif jika ada yang membandinginya dengan orang lain. Terlebih lagi dibandingi dengan Aren.
Rasa penasaran kian merayap. Terlintas banyak pertanyaan dari benaknya. Apa yang istimewa dari Aren? Lelaki itu hanya lah lelaki munafik bagi Bara. Dia rasa Aren dan Nana memang sudah bersekongkol dari awal. Guna tertawa di atas penderitaan Bila yang sudah Bara anggap lebih dari bagian hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗗𝗶𝗳𝗳𝗶𝗰𝘂𝗹𝘁 ✔
Teen Fiction𝐒𝐞𝐛𝐚𝐠𝐢𝐚𝐧 𝐩𝐚𝐫𝐭 𝐝𝐢𝐩𝐫𝐢𝐯𝐚𝐭, 𝐟𝐨𝐥𝐥𝐨𝐰 𝐝𝐮𝐥𝐮 𝐬𝐞𝐛𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐚𝐜𝐚. Bila mencintai lelaki yang sampai sekarang belum bisa diterka perasannya. Sikap lelaki itu yang terlampau perhatian padanya, terkadang membuat Bila berh...