52. Kesedihan

1.5K 77 5
                                    

Bukalah matamu! Aku rindu tatapan cinta yang dulu sering kamu tunjukkan padaku. Tapi entah untuk dini, matamu pasti akan menyiratkan benci.

Andai kamu tahu, aku rindu bersamamu.

®BaraDanendra

_Selamat membaca_


Suara monitor pasien berdentum, menyelemuti keheningan di antara mereka. Bara sudah lama terduduk di samping bangkar Bila. Gadis itu sedang tertidur dan tak kunjung ingin membuka matanya. Padahal, Bara sudah memanggil nama gadis itu berkali-kali dalam lirihnya.

Bila, ayo pulang! Bara tak ingin kehilanganmu hanya karena kamu nyaman di dalam mimpi.

Apakah banyak cinta di sana sampai pada akhirnya kamu tak kunjung ingin membuka mata?

Atau kamu memang benci terbangun jika yang kamu lihat hanyalah pemberi luka? Jika iya, Bara siap menghilang untuk membuatmu tersenyum.

Bara sosok yang dikenal tegar itu pun akhirnya menangis. Lebih erat meremas jemari Bila, seolah ia tak mau kehilangannya. Salahnya sendiri karena tak tahu bahwa malam itu Bila tengah mencarinya, tapi ia justru lebih mementingkan lari dari masalah dan melampiaskannya kepada Jesika.

Bara tahu, maaf tak bisa menggantikan nyawa gadis itu. Namun, apa perlu Bara juga ikut terjun ke jalanan agar bisa terlindas kendaraan? Bara yakin, yang dilakukannya nanti hanyalah kebodohan. Biarkan Bila sendiri yang menentukan pilihannya sendiri.

Tentang bagaimana gadis itu akan menghukum Bara.

"La ... bangun." Suara parau Bara kembali terdengar. Bara menunduk dalam, berusaha menahan isak tangisnya. "Nggak masalah kamu benci aku, tapi aku mohon sama kamu. Tolong bangun! Aku pengen ngungkapin perasaan aku ke kamu sekali lagi. Maaf," lirih Bara yang kian memelan.

Bara menarik tangan Bila pelan lalu mengecup punggung tangan gadis itu. Tangan satunya ia gunakan untuk mengusap lembut wajah Bila yang memucat.

"Hei! Kok nggak bangun-bangun? Apa di mimpi kamu ada yang lebih ganteng dari aku?" Bara kemudian tertawa hambar. "Kalo mau cari yang baru, carinya di sini aja, Bila ... jangan di mimpi! Biar aku tau mana yang baik buat kamu," ujarnya sembari meringis, "nggak kayak aku."

Bara tak peduli sekarang dirinya sedang bicara dengan Bila atau justru hanya bermonolog sendiri. Karena tak ada tanda-tanda Bila ingin membuka mata.

Hal itu membuat Bara kecewa.

"Bila? Kalo aku pulang kamu bakal sedih nggak?" tanyanya, "Aku jadi kangen dicegah kamu setiap kali mau pulang." Bara terdiam lama, lalu bangkit dan mencium kening Bila selama beberapa menit. "Pangeran udah cium putri tidur. Aku pulang, ya? Maaf soal kesalahan aku selama ini."

Bara mengambil jaket yang ia taruh di punggung bangkar tersebut. Dengan gundah, Bara terpaksa meninggalkan Bila dan membiarkan gadis itu beristirahat.

Yang bisa Bara lakukan hanyalah berdoa.

Dan tanpa lelaki itu sadari, jari telunjuk Bila perlahan bergerak, dengan mata yang mulai terbuka. Gadis itu bergumam, entah apa yang ia gumamkan.

•───────────••───────────•

"PUKUL GUE, ANJING! PUKUL GUE!!" pekik Bara seraya menarik kerah baju Agam. "LO PACAR JESIKA, SEMESTINYA LO NGGAK TERIMA NGELIAT DIA JALAN SAMA GUE! JADI, AYO PUKUL!!" teriaknya sekali lagi.

Dion yang berada di belakang Bara berusaha menarik lelaki itu mundur. Sementara Raka dan Gabriel mencoba melepaskan tangan Bara yang sudah mencengkram baju Agam.

"LO BUDEK, HAH?! PUK—"

Bugh!

Sesuai permintaan Bara, Agam akhirnya memberi tinjuan keras pada Bara tepat di rahang lelaki itu. Agam sama sekali tidak masalah atas kencannya Bara dengan Jesika, karena gadis itu sempat menjelaskan apa yang terjadi terhadap Bara dan cukup bisa ia maklumi. Namun, melihat Bara yang sudah kalang kabut, membuat Agam tanpa segan memberinya pukulan.

Bara akhirnya tersungkur. Matanya terpejam. Dion, Gabriel, Raka, dan tentunya Agam jadi khawatir saat lelaki itu tak bergeming.

"Bar, lo kenapa, sih?" Gabriel memberanikan diri berjongkok dan bertanya.

Sepulang dari rumah sakit tadi, Bara tak berniat untuk pulang ke rumah. Kebetulan Gabriel mengajaknya ke markas Grandasi tanpa tolakan sama sekali. Bara langsung meluncur ke sana. Begitu sampai, lelaki itu malah mencari keributan.

Mukanya yang sudah babak belur, kini semakin bertambah parah.

"Wow! Bar, lu nangis?" tanya Raka heboh begitu melihat bulir air mata menetes dari pelupuk matanya.

"Diem, Bangsat!" ujar Agam sewot.

"Bila lagi? Lo masih nggak terima dia selingkuh sama adik lo?" Lagi, Gabriel bertanya pada Bara.

"Maksud lo Reno?! Wah—"

"Gue bilang diem!" ujar Agam memotong perkataan Raka, makin sewot.

"Bukan," jawab Bara lemas. "Bila masuk rumah sakit, dan itu salah gue," lanjutnya sambil berdiri dan pergi begitu saja. Ternyata Bara memilih duduk di sofa yang tak jauh darinya.

Dion menepuk Agam dan Raka untuk tidak ikut campur. Lalu melirik Gabriel dan mengisyarakatkannya untuk menghampiri Bara. Karena dari mereka, hanya Gabriel yang paling dekat dan satu sekolah dengan Bara. Sementara yang lain kebanyakan sekolah di SMA Radika—sekolah bermusuh dulu.

"Sejak kapan Bara yang keliatan galak mendadak cengeng gini?" tanya Gabriel yang segera dihadiahi lemparan botol dari Bara.

"Mending pergi, dah, lo. Daripada ngebacot malah bikin pusing." Bara menghembuskan napasnya dalam. "Entar malem ikut nggak?"

"Wih, lo ngajak gue ngedate?"

"Serius, Nyet!"

"Iya, iya. Santai, Bos!" katanya menenangkan. "Ke mana?"

"Club."

Gabriel melengos kasar, memandang Bara yang tampak tak masalah dengan perkataannya. Sudah cukup kelakuan Bara dulu membuat nyawa sahabat dekatnya terenggut hingga menyebabkan persahabatan SMA Jaya Raya dengan SMA Radika jadi terpecah belah.

Gabriel tak ingin kejadian lama terulang lagi. Atau Bara membahayakan dirinya sendiri.

"Kaga usah gila! Lo lupa kejadian dulu?!"

"Gue inget."

"Nah, ya, gitu!" kata Gabriel mengiyakan, "Bar, sefrustasi apapun lo, jangan coba deketin apa yang bisa bikin keadaan nambah ancur. Lo bisa selesain masalah pake cara yang sehat. Kalo Bila tau, dia juga pasti bakal marah besar sama lo. Jadi, pikirin mateng-mateng!"

Bara hanya mengangguk singkat. Terlihat jelas dia sedang malas menanggapi.

Decakan keras terdengar begitu ponselnya berdering. Jujur saja, sebenarnya Bara tidak ingin diganggu. Namun, mana tahu telpon itu penting, alhasil Bara mengangkatnya.

"Halo, Bar! Bila sadar!!" ujar Ranum yang terdengar begitu senang.

Bara agak terlonjak saat mendengarnya. Rasa senang tak karuan mulai merasuk tubuh yang sedari tadi lesu. "Lo serius?!"

"Ya iyalah, mana ada gue bohong. Tapi, Bila lagi di-check up. Lo jenguk dia besok aja ..." Ranum terdiam, "... sekalian lo tahu sendiri apa yang lebih sakit daripada Bila ngebenci lo."

Setelah itu Ranum langsung memutuskan teleponnya sepihak. Berbagai teka-teki langsung saja menghinggap di pikiran Bara tanpa henti.

𝗗𝗶𝗳𝗳𝗶𝗰𝘂𝗹𝘁 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang