Sekali pun aku salah. Mengapa kau tak beranjak saja?
_Selamat membaca_
Iris matanya memandang gadis itu lekat. Tersorot rasa kecewa dan ketidak percayaan dari binar matanya. Awalnya ia melambung tinggi berharap gadis itu akan kembali seperti semula. Tetapi kenyataannya, itu semua tak sesuai harapan dan hanya omong kosong belaka. Gadis itu telah mengambil langkah panjang untuk merampas kebahagiaan seseorang.
Tak habis pikir mengapa gadis itu melakukan hal sedemikian. Tapi satu, lelaki itu sudah terlanjur dihujani rasa kalut. Gusar yang senantiasa condong untuk berambisi tanpa terpaku, kini terpaku juga.
Lelaki itu tak bisa bertindak selain bersabar. Mencoba merendam emosi yang memuncak pada perasaannya.
Gadis itu menatap tanpa minat, membuat bibir lelaki itu mencebik sejenak. Kemudian, lelaki itu menyobek kertas yang sedari tadi berada di genggamannya ke hadapan gadis itu.
"Dapet untung apa lo lakuin ini? Lo bego, hm?" tanya Aren, terlampau sinis setelah menghamburkan kertas yang disobek jadi beberapa bagian itu ke wajah Nana. "Gue nggak nyangka omongan lo palsu, Na! Kenapa nggak sekalian aja lo nyalonin diri jadi Ayu ting ting?" ujar Aren mengundang kerutan tak mengerti dari Nana.
Bagai angin yang ditepis tanpa terlihat dan tanpa terasa. Nana tak merasa salah sedikitpun. Gadis itu memberi kerjapan agar Aren memberinya penjelasan.
"Tunggu dulu! Gue nggak ngerti apa yang lo omongin." Nana menggeleng pelan memandang Aren.
Aren tersenyum simpul yang terselip amarah dari balik sana. "Oktober 2019, kiriman diterima," gumamnya yang langsung menepik wajah polos Nana dan berganti kaget. Nana menutup mulutnya tak percaya.
Terpatri banyak pertanyaan di benak Nana. Nana yakin, waktu itu tak ada yang mengetahuinya. Namanya juga telah disamarkan. Jadi, bagaimana Aren bisa tahu?
"Aren," lirih Nana, "kayaknya lo salah orang, deh. Itu bukan gue," lanjutnya dengan sangat berhati-hati.
Aren meneguk saliva, mencoba menyetabilkan napasnya yang sudah terasa sesak. "Nggak ada yang salah kalau gue sendiri udah denger jawabannya. Gue udah tau dari pemegang pihak kantor pos-nya." Aren berbalik menepuk dada dengan raut wajah meringis. Napasnya sudah tak teratur.
"Aren," lirih Nana, lagi. Nana mengurungkan niat untuk membuka suara saat Aren mengangkat telapak tangannya ke udara. Mengintruksikan diam padanya.
Nana terdiam, begitu Aren beranjak meninggalkannya tanpa mau mendengar alasan yang terlontar dari mulut gadis itu.
Akhir-akhir ini, Nana sering melihat emosi Aren menguat. Aren senantiasa menggeram dalam hati yang membuat Aren merintih melawan sesak napas. Nana bertanya, Aren justru mendiamkannya. Tapi sejak hari itu, Nana baru tahu penyebab Aren mengalami hal seperti itu.
Melihat kebahagiaan Bila bersama Bara.
Awalnya Nana sempat berpikir untuk kembali menjadi dirinya yang dulu. Tapi setiap kali ingin melakukan, bisikan iblis selalu menghasut.
Melakukan hal yang mampu menyulitkan orang lain mungkin bisa sedikit memojokkan Bila agar gadis itu sengsara. Tapi selalu saja rencananya gagal. Sementara itu, rencana kedua kembali Nana lakukan. Gadis itu secara diam-diam memotret kedekatan Ranum dengan Bara, lalu mengirim foto tersebut pada Bila menggunakan nomor yang di privasi atau nomor yang hanya digunakan sekali. Selepasnya, Nana tak lagi menggunakan nomor tersebut. Karena Bila tetap saja bersatu dengan Bara.
Nana selalu berharap. Agar hubungan keduanya berakhir. Hingga celah menyinari jalan untuk Aren mendekat. Walau Nana juga masih mengharap Bara, tapi kebahagiaan yang utama dituju ialah; kebahagiaan Aren.
Aren menarik napas tak teratur, perlahan mengambil semprotan Ventolin dari sakunya dan kemudian menyemprotkannya ke dalam mulut. Diam sejenak, napasnya kembali teratur.
"Cara lo salah, Na," gumam Aren pelan.
°
Bila menatap tetesan hujan dari balik jendela kamarnya. Setiap derainya, selalu menciptakan kerinduan untuk Bila. Bila ingin terduduk di samping kedua orangtuanya. Seperti yang lain. Atau, dia ingin hidup selamanya dengan orang yang dia cintai.
Bila menatap ponsel yang terletak di atas meja belajar. Sudah lama sang Bunda atau Ayah tidak mengabari hingga membuat Bila merindu. Sebenarnya bisa saja Bila menghubungi lebih dulu, tapi takut mengganggu.
Bila mendengkus, memandang kembali air hujan yang semakin deras mengguyur darat.
Tubuh Bila condong membuka jendela kamarnya. Tangan kanannya kemudian terulur menikmati air yang membasahi.
Sedetik setelah itu, Bila kembali teringat akan perkataan Bundanya.
"Kenapa? Bukannya kamu kangen sama Bunda dan Ayah? Kenapa kamu nggak mau ikut? Bunda bisa ngurus kepindahan kamu nanti, sayang," ujar Bunda Bila dari balik telfon.
"Iya, Bila kangen sama Bunda. Sama Ayah juga. Tapi Bila pengen di sini."
Tak ada percakapan beberapa menit. Suara Bunda kembali terdengar. "Baguslah, Bunda juga udah milih seseorang buat jagain kamu di sana."
"Maksud, Bunda?"
"Anak temen Bunda bakal jagain kamu selama kamu tinggal di indonesia."
"Cewek?"
"Bukan, dia cowok. Dia bakal Bunda comblangin sama kamu." Hembusan napas terdengar. "Bunda cuma pengen kamu bahagia, nggak ngerasa kesepian. Bunda pengen kamu bahagia sama pilihan Bunda selama kamu sendiri. Tapi kalau emang kamu nurut sama Bunda dan mau tinggal di sini, terserah, kamu bisa tentuin pilihan kamu."
Air mata Bila lepas kendali. Ujaran Bundanya sungguh membingungkan hati. Sendiri di Indonesia ternyata bukanlah suatu kebebasan untuknya. Selain Bila takut terjerumus di dunia pergaulan bebas, ternyata Bunda yang jauh juga tipe pengekang. Kini Bila harus di hadapi dua pilihan. Tetap di sini tapi di comblang sang Bunda? Atau memilih pergi dan meninggalkan Bara?
"Woiy! Lo kenapa?" tanya Jovan yang tiba-tiba nongol dan masuk tanpa izin.
Mendengar suara Jovan, Bila buru-buru mengusap air matanya. Dia bosan jika harus diolok-olok oleh lelaki itu lalu dituduh masih jadi buciners yang doyan nangisin cowok.
Bila membuka mulut. Tapi entah mengapa mulutnya kembali bungkam.
Lebih baik, Bila tak berkeluh kesah untuk masalahnya dengan Bunda kepada Jovan.
"Kecipratan air anjir!" Alibi Bila seraya mengusap wajahnya. Bila meringis manakala Jovan memandangnya curiga.
"Mencurigakan," kata Jovan menaruh jari telunjuk didagu.
Bila mendecak, menggerutu dalam hati. "Gue berasa diinterogasi sama lo, deh," jawabnya setelah itu tak peduli lagi pembicaraan Jovan selanjutnya.
Bila meraih ponsel. Menatapnya lama sambil menimbang-nimbang perkataan sang Bunda. Selalu saja salah jika membantah. Apa yang mesti Bila lakukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗗𝗶𝗳𝗳𝗶𝗰𝘂𝗹𝘁 ✔
Teen Fiction𝐒𝐞𝐛𝐚𝐠𝐢𝐚𝐧 𝐩𝐚𝐫𝐭 𝐝𝐢𝐩𝐫𝐢𝐯𝐚𝐭, 𝐟𝐨𝐥𝐥𝐨𝐰 𝐝𝐮𝐥𝐮 𝐬𝐞𝐛𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐚𝐜𝐚. Bila mencintai lelaki yang sampai sekarang belum bisa diterka perasannya. Sikap lelaki itu yang terlampau perhatian padanya, terkadang membuat Bila berh...