"NINA!!!!" Seru seseorang saat aku mendorong pintu kelas. Kulihat Ify berlari mendekatiku. Nafasnya terengah - engah.
"Kemarin kenapa? Katanya kamu pulang duluan dari acara Bryan? Trus kamu dikejar sama Andre ya?" Pertanyaan beruntun dari seseorang yang kemarin tidak ikut acara Bryan dengan alasan sakit. Ya, Ify.
"Salahmu sendiri tidak ikut ke acara Bryan. Lagipula bagaimana kamu tau aku pulang duluan dan lainnya?" Tanyaku acuh tak acuh. Ify menyernyitkan dahinya.
"Dari Rio" kulihat Rio dari kejauhan dengan tatapan membunuh, sementara orangnya hanya memberikan tanda peace kepadaku sambil nyengir kuda.
"Hhh saat istirahat saja ya."
Ify Meilati. Sahabatku dari SD sampai sekarang. Manusia sempurna, memiliki mata bulat, pipi kemerahan, bibir yang berwarna pink tanpa diolesi lipstick atau sebagainya, rambut lurus tanpa memakai hair dryer dan perawatan yang mengeluarkan kocek uang yang jumlahnya cukup besar. Alami. Sifatnya selalu ceria, walau terkadang ia murung. Sampai sekarang ia tidak pernah menceritakan kesedihannya pada siapapun termasuk aku.
"Yasudahlah. Tapi cerita ya!" Kugigit bibir bawahku. Aku tak mau menceritakan tentang aku jadian dengan Andre. Aku sudah berjanji. Aku melihat Andre yang juga menatapku. Ia mengangkat bahunya. Mungkin tak apa kalau aku beritahu semuanya pada orang yang sekarang berada di depanku.
"Yeah. Baiklah." Ucapku pasrah. Aku pun duduk di mejaku yang di depannya terdapat Andre. Ia membalikkan badannya. Menghadapku.
"Pagi" senyuman yang indah. Well, bagiku.
"Pagi." senyumku yang tak kalah mautnya.
"EHEM!" Rio berdeham, yang sekarang duduk di samping Andre.
Kami berdua salah tingkah. Aku menaruh tas ku di meja dan berbalik pergi.
***
Ini aneh. Semenjak istirahat pertama setelah aku bercerita pada Ify. Kenapa Andre menjadi cuek begini? Aku menghela nafas panjang. Hal yang biasa aku lakukan jika tertekan. Kucolek punggungnya. Kebetulan guru sedang absen dari kelas. Punggung itu tidak berbalik. Kucolek lagi. Ia pun berbalik. Tatapannya begitu dingin menatapku. Tak seperti biasanya... Aku bergidik ngeri.
"Apa?" Katanya. Tatapannya seperti aku mengganggunya.
"Ndre..." Aku memegang tangannya. Tapi ia menepisnya.
"Ada apa sih Nin?" Tanyanya tak sabaran. Ia membuang mukanya dari tatapanku.
"Kok kamu berubah?" Itu saja yang bisa kulontarkan di bibirku yang sekarang bergetar.
"Gak apa - apa." Sahutnya sembari membalikkan badannya. Rio melirik kami berdua dan kembali menoleh ke arah lain. Tidak berusaha ikut campur. Ify yang di sebelahku langsung menepuk pundakku.
"Sabar ya Nin..." Ujarnya lirih.
***
Padahal sudah sebulan semenjak hari kami jadian. Tapi dia tetap saja begitu. Telepon di reject, pesan gak dibalas. Padahal aku sangat menyukainya. Hari ini aku sudah membeli gantungan kunci berbentuk bola futsal. Kuharap ia menyukainya karena ia gemar bermain futsal. Aku tak sabar, hari ini ia bertanding dengan sekolah lain. Aku akan memberinya ini. Senyum simpul berkembang di wajahku mengingat tepat sebulan yang lalu kami jadian.
Kutatap gantungan kunci itu lalu menggenggamnya erat - erat, seakan tidak ingin kehilangan gantungan itu.
Sekolah sudah pulang dari tadi, aku pun berlalu menuju ruang olahraga indoor tempat Andre bertanding. Aku tak sabar melihatnya.
Ternyata pertandingan sudah berlangsung 10 menit yang lalu. Kulihat Andre sedang menggiring bola menuju ke gawang lawan. Tapi ternyata ia dijegal oleh lawannya. Ia mengoper ke Rio. Andre pun berlari sambil melihat arah gerak Rio. Rio kembali di jegal, Rio mengoper ke Andre dan...
"Oh ayolah!" Seruku bersemangat.
GOAL! Tepat di atas kepala kiper Andre memasukkan bolanya. Hingga 30 menit pertandingan berlangsung, akhirnya tim Andre menang. Aku yang sedang berada di barisan penonton pun berlari mendekatinya.
Kulihat dari jauh, ia sedang membuka botol mineralnya dan menegaknya. Baju futsalnya berwarna hijau cerah, sama dengan baju teamnya. Aku memanggilnya. Jantungku berdetak 2 kali lebih cepat.
"Andre!!!" Seruku. Ia menoleh lalu membuang muka lagi.
Aku tak menghiraukan itu. Aku mendekatinya sampai aku berhadapan dengannya persis.
"Maaf Nin, tapi aku... Aku gak bisa ngelanjutin hubungan kita. Maafkan aku." Andre pun berlalu begitu saja. Meninggalkan aku yang membeku di tempat.
Hatiku seperti ditusuk jutaan pisau. Anehnya tidak luka. Hahaha kuharap luka saja, walaupun luka mungkin aku tidak merasakan sakitnya. Mataku pedas. Sangat pedas. Dia pergi, dia sudah jauh berlalu di belakangku. Meninggalkanku tanpa mau mendengar protesku. Semua terasa buram di mataku. Kulihat Bryan mendekatiku. Hei jangan menatapku seperti itu. Bryan temanku sejak kecil, pasti sekarang ia tahu aku sedang menahan tangis. Bryan... Dia memelukku. Erat. Kudengar bisikannya di telingaku.
"Jangan memasang muka seperti itu"
Kueratkan gantungan kunci di tanganku. Aku tidak jadi memberinya hari ini, mungkin besok, atau lusa, atau bulan depan, atau setahun, entahlah... Aku terisak di bahu Bryan yang menenangkan aku. Mataku berair karena tangisan yang tidak dapat kuhentikan.
"Aku sedih ngeliatnya tahu!"
Isakanku makin menjadi. Lututku lemas. Aku sudah tidak memperdulikan keadaan sekitar. Bryan menuntunku keluar dari ruang olahraga indoor.
"An, kau akan selalu ada untukku?" Tanyaku saat kami berjalan untuk pulang sekolah. Perumahan rumah kami sama, tapi beda komplek. Jadi setiap hari aku selalu bersamanya.
"Selalu" Bryan merangkul pundakku. Aku hanya bisa menunduk sambil menangis dan mengisak. Susah untuk menghentikan tangisan ini.
"Hey Bryan, kau sudah tahu kalau Andre jadian denganku?" Seketika tubuhnya membeku. Sepertinya ia tidak tahu. "Tapi sekarang aku sudah putus dengannya" sambungku. Terdengar helaan nafas lega dari mulut Bryan. "Jadi tadi kau menahan tangis karena itu?" Katanya bertanya yang kuanggap sebagai pernyataan. Membuatku semakin sedih. "Maaf" katanya saat melihat reaksiku. "Lebih baik aku beristirahat" kataku saat rumahku berada di depan mataku. Aku tersenyum padanya. "Terimasih An." Aku pun berbalik dan melangkah masuk.
"Hm... Cepat masuk. Masuk ke kelas dan semua selesai"
"Ayolah masuk, kau takut banget sih!"
"Satu... Dua... Tiga..."
Gumamanku sendiri, tak tahu kenapa aku tidak berani memasuki kelas. -kautahukenapaalasannya- aku tidak mau bertemu dia. Apalagi aku harus melewatinya untuk sampai ke mejaku.
"Oh comeon!"
Aku membuka gerendel pintu. Nafasku serasa terhenti. Tangan yang berada digerendel pintu ditangkup oleh satu tangan besar dan hangat. Kutolehkan kepalaku ke arah orang yang sedang menangkup tanganku. Andre. Kulihat ia juga menatapku, sedikit kaget lalu melepas tanganku.
"Ce- cepat buka pintunya"
Tanpa ba-bi-bu aku membuka pintu. Tidak menolehnya lagi sama sekali. Aku sakit saat melihat tampangnya. Aku bergegas menuju bangku dan mejaku, lalu keluar dari kelas yang terasa pengap itu. Menuju perpustakaan.
Aku suka membaca. Bahkan aku bercita - cita menjadi penulis. Aku mencari - cari buku di deretan rak perpustakaan. Sepertinya ada yang menarik. Kutarik buku itu dari deretan rak. 'Cara awal menjadi penulis'. Aku membaca buku itu sekilas. Dikatakan bahwa jika tata bahasa ingin lebih bagus, diawali dengan menulis buku harian, surat - surat kecil, membuat blog dan lainnya. Bel berdenting tanda jam pelajaran pertama dimulai. Aku menaruh buku tadi dan mengingat untuk membacanya lagi suatu saat nanti. Aku berlari kecil meninggalkan perpustakaan.---
Read my another story :
1. Royal Academy
2. A-B-C-D Love
3. Princess Series [1] : The Overweight Princess
KAMU SEDANG MEMBACA
How Can I Move On?
Teen FictionDisclaimer: Cerita ini adalah cerita pertamaku yang memiliki banyak kekurangan. Harap dibaca dengan bijak :) --- Nina harusnya tahu sejak awal. Sejak mereka bertemu. Sejak dia tersenyum pada Nina. Sejak dia tertawa. Sejak dia tidak bisa menghilang d...