"Anda tidak menginginkannya." Kata Sakura parau. Entah mengapa, padahal ini bukan tubuh aslinya tapi perasaan yang selalu berdatangan seolah terjadi pada dirinya.
"Aku tak pernah mengatakan itu." sahut Sasuke cepat. Masih membelakangi Sakura.
"Soal perjanjian itu." Sakura memulai. "Anda bisa mempercepat prosesnya."
Sasuke berbalik cepat, meneliti ekspresi apa yang direncanakan Istri pertamanya.
" Lalu?"
"Yang Mulia, Anda hanya tak perlu menahan kami lebih lama di Kekaisaran." Ucap Sakura mantap, soal nama dia bisa dengan mudah menggantinya dipengasingan. Pikirnya.
"Kami? Maksudnya kau dan Sarada?" Sasuke menggeleng yakin.
"Tidak, Sakura. Kau pergi tanpa Sarada." Sakura menatap kosong, gundukan guling didepannya, pikirannya bingung. Bukankah ia akan tetap hidup untuk mencari keluarga baru untuk Sarada, jika begini apa yang harus dia lakukan. Dia telah membunuh Ibu Sarada ditubuh lamanya. Lalu, sekarang, apakah tidak satu dia berguna untuk membantu Ibu dan Anak itu. Jika ia memilih meninggalkan Sarada memang akan mudah untuk proses bunuh dirinya. Tapi Sarada di Kastil tanpa perlindungan dan perbedaan kasta keturunan adalah kemalangan.
Tak sedikit pun Sakura membuat plant kedua, jika di dunia dulu ada namanya sidang perebutan hak asuh anak. Tapi disini, jika pun memang ada, lawannya adalah Kaisar. Kaisar.
"Ra.. Sakura.." Sasuke mengguncang tubuh Sakura yang membeku. 'Apakah dia tertekan?'
"Berbaringlah." setelah mendapatkan respon. "Kau sangat lelah." Sebenarnya Sasuke tahu sejak awal, namun dia kira tak separah ini. Dan Sakura yang tidak berontak saat akan dipisahkan dengan Sarada cukup mengganggu Sasuke. 'Sakura tertekan' vonisnya. "Tidurlah." saat Sakura mengikuti perintah Sasuke untuk berbaring. Sasuke melihat Sakura masih hanyut dengan pikirannya sendiri.
"My Lord." Panggil Sakura, dengan meraih tangan Sasuke saat akan beranjak pergi meninggalkan ranjang.
"Hn." berbicara sekarang hanya akan melukai Sakura lebih jauh. "tidurlah, masih ada waktu."
"Adakah penawaran lain untuk Sarada." Sakura tak mengindahkan.
Sasuke berpikir, dia salah jika tidak berontak tentang perpisahan dengan Sarada. Sakura tetap lah Sakura. Perempuan cerdas karena rajin membaca. "tidak akan. Dia bukan barang."
Sakura mengangguk. "Saya harap Anda menyayanginya, seperti kata Anda tadi, dia tetap darah daging Anda walaupun perempuan. Meskipun saya telah mengutuk bahwa Anda tak akan pernah menjadi bagian dari Sarada. Jangan membuat saya menjadi sia-sia karena melahirkannya tidak mudah tanpa rasa Sakit."
Sasuke memandang Sakura yang sedang menutup mata lelah. Ada perasaan aneh karena Sakura menyerah begitu saja. Tapi bukankah ini yang dia inginkan untuk membuat Lady pertama turun. Menyayanginya? Bahkan dia tidak pernah tahan berada ditengah anak kecil. Akan jadi apa putri sulungnya itu tanpa Sang Ibu. Baru satu hari. Namun Sasuke sudah menyaksikan pemandangan yang hangat saat putrinya yang lahir telah melahap rakus makanan dari ibunya. Melihat bayi yang merengek dan ditenangkan dipangkuan Ibunya. Mendengar celotehan lucu Ibu untuk anaknya. Selaku seorang Ayah yang telah terhipnotis pada pandangan pertama pada mata onyx kecil nan cantik, ia bahagia bisa melihat Sarada mendapatkan kasih sayang yang melimpah di Kastil Blossom. Pertanyaannya, apakah ia puas Sakura terusir dari Kekaisaran. Ahh nanti juga Sasuke akan punya setidaknya satu dengan Hinata.
"Selamat malam, Paduka. Semoga segala yang terbaik menghampiri Kaisar Sarada."
Sasuke memandang Sakura penuh arti, kemudian beranjak pergi setelah Sakura tertidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reborn, My Lord
RandomKesengsaraan yang harus dibayar. "Anda telah membebaskan beban saya, My Lord. Saya senang" "Kecerobohan Saya karena terlalu terburu-buru, jadi Saya selamat. Lagi." #WattpadFanficID #TrueFanficIndo .